Mekanik difabel Dede Kurniawan sedang memeriksa kerusakan sepeda motor pelanggan di bengkelnya, Kamis (27/5). (Analiaadaily/Dede Harison)
Analisadaily.com, Kualasimpang - Hari hampir siang. Tapi, mekanik itu belum mendapat satu pun konsumen. Mengisi waktu luang, dia bercengkerama bersama istri dan anaknya di teras bengkel. Terlihat satu beca motor yang biasa digunakan untuk transportasi putri sulungnya yang menderita sakit bawaan.
“Kami bergantian mengasuh anak. Dari pagi hingga siang saya yang mengasuh sambil bekerja,” tutur sang mekanik, Dede Kurniawan (37), kepada Analisadaily.com di bengkelnya, jalan Kota Lintang-Kampung Landuh, Kompleks Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Pembina Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (27/5).
Saat itu, istrinya baru pulang kerja dari SLB dan menjemput anaknya untuk dibawa pulang. Keluarga ini tinggal di Kampung Tupah, Kecamatan Karang Baru, sekitar 10 kilometer dari bengkelnya.
Belakangan ini, pelanggan agak sepi, tapi bukan karena dampak pandemi Covid-19. “Kalau pagi sepi, biasanya siang banyak pelanggan datang bahkan sampai malam,” ucap pria yang karib disapa Iwan ini.
Selain di bengkel SLB, Dede Kurniawan juga buka jasa mekanik di rumahnya, Kampung Tupah, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, Sabtu (29/5).
Ayah tiga anak ini berkisah, tidak mudah merintis usaha itu, apalagi di lokasi kurang strategis, seperti di Kompleks SLB ini. Dia mengaku sering dilecehkan akibat stigma negatif dan diskriminasi. Dede seorang difabel. Sejak lahir, kaki kirinya lebih kecil dibandingkan ukuran normal. Dia harus menggunakan kruk untuk membantu berjalan.
“Ada orang terang-terangan melarang temannya memperbaiki motornya di sini karena mekaniknya orang cacat. Saya dengar sendiri. Saya tidak kenal. Akhirnya, calon pelanggan pindah ke bengkel lain,” kenangnya.
Meski demikian, dia berpandangan, suatu kekurangan akan ditutupi kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
“Jadi, tidak masalah. Hanya kepada Allah SWT saya berpegangan. Walaupun di lingkungan SLB ini, rezeki selalu ada,” tuturnya optimis.
Menimba Ilmu di Solo
Dede Kurniawan dan Zuraidah mengasuh tiga anaknya sambil bekerja di bengkel SLB Negeri Pembina Aceh Tamiang, Kamis (27/5).
Dede punya catatan menarik. Dia ternyata mekanik tuna daksa lulusan Rehabilitasi Centrum Prof dr Soeharso, Solo, Jawa Tengah. Dia menimba ilmu di tempat ini selama dua tahun. Pada 2006, dia diberangkatkan oleh Kepala SLB Aceh Tamiang, Muttaqin. Sebelum mematangkan bakatnya di kampung Presiden Jokowi itu, Dede memang sudah memiliki keahlian otomotif.
Hobi otomotif dilakoninya sejak sekolah dasar (SD). Saat mendaftar di salah sekolah teknologi menengah (STM, kini SMK) di Aceh, dia sempat kecewa karena ditolak. Alasannya, tidak ada jurusan otomotif di sekolah itu. Hanya ada jurusan teknik elektro. Praktiknya, antara lain, panjat-memanjat.
“Karena saya cacat, guru takut saya jatuh. Baru sekolah dua bulan, saya disuruh pulang, tidak boleh masuk lagi,” kata dia.
Dia melanjutkan pendidikan ke SMA. Tapi, dia tidak fokus belajar karena hobi otomotifnya tak tersalurkan. Dia pun berpindah-pindah sekolah dan tidak tamat. Tapi, dia akhirnya mengikuti ujian paket C, setara SMA dan lulus.
Selesai belajar di BBRSPDF Soeharso, Solo, Dede pulang kampung pada 2008. Dia diterima bekerja di salah satu dealer dan bengkel resmi pabrikan motor di Kualasimpang, Aceh Tamiang. Hanya sebulan, dia lalu merantau ke Banda Aceh dan membuka bengkel. Berselang beberapa bulan, dia ingin membuka bengkel sendiri di kampungnya.
“Pulang dari Banda Aceh saya sempat bekerja lagi, kemudian membuka bengkel sendiri di Alur Manis, Kecamatan Rantau,” terangnya.
Selain di bengkel SLB, Dede Kurniawan juga buka jasa mekanik di rumahnya, Kampung Tupah, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, Sabtu (29/5).
Mengelola Bengkel SLB
Setelah lama menggeluti bakatnya, Dede mendapat tawaran dari Kepala SLBN Pembina Aceh Tamiang, Muttaqin, untuk mengelola bengkel di Kompleks SLB. Seluruh alat perbengkelan dibantu SLB dan Pemkab Aceh Tamiang. Di tangannya, bengkel SLB mampu bertahan sampai sekarang.
Dia sempat pesimis merintis bengkel yang dipandang remeh itu. Apalagi, berada di wilayah perkotaan dan banyak pesaing. Tapi, dia tak kuasa menolak tawaran Muttaqin yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri.
“Saya tanya kepada Pak Muttaqin apa ada pelanggan yang datang? Dijawabnya, jalankan saja. Allah SWT yang memberi rezeki, bukan manusia. Alhamdulillah, sampai sekarang saya bisa menafkahi keluarga, tidak kelaparan dan tidak mengemis,” ujarnya bersyukur.
Baginya, bengkel itu juga punya sejarah penting. Di sini, dia menemukan jodohnya. Istrinya, T Zuraidah (35), adalah guru bantu TK di SLB itu. Mereka sudah dikaruniai tiga anak.
Ujian Berat
Tuhan YME menguji Dede dan Zuraidah. Putri sulung menderita disabilitas akibat lumpuh layu sejak lahir. Hasil pemeriksaan medis menyebutkan, putrinya mengalami disabilitas kategori orang dengan kecacatan berat (ODKB).
“Saya hampir putus asa. Saya sudah cacat, anak cacat juga. Untuk makan saja dia tidak mampu, apalagi duduk dan berjalan. Seharusnya anak pertama kami sudah masuk SD, tapi ini hanya bisa terbaring,” tuturnya.
Namun, dia tak ingin larut dalam kesedihan. Disadarinya, setiap cobaan selalu ada hikmahnya. Anak kedua dan ketiga terlahir normal. Setiap hari, pasangan suami istri ini mengasuh ketiga anaknya di bengkel karena tak punya pengasuh di rumah. Saat ini, Dede butuh kursi roda khusus untuk putri sulungnya itu agar bisa duduk. “Tubuhnya makin besar dan tidak mungkin digendong terus,” ujarnya.
Raih Apresiasi
Setiap hari, ada konsumen datang ke bengkelnya. Minimal, lima orang. Diakui, penghasilannya tidak stabil. Bila ramai pelanggan, dia bisa memperoleh pendapatan Rp250 ribu-300 ribu per hari.
Mengelola bengkel ini, Dede sempat dirundung malang. Tiga kali bengkelnya dibobol maling. Seluruh peralatan bengkel raib. Dia terpaksa berutang untuk membeli peralatan kerja baru. Utang itu dibayar secara mencicil. “Akibat peristiwa itu, sekarang kompleks SLB ini dijaga,” katanya.
Awalnya, Dede sempat merekrut dua pekerja. Tapi kini, dia kerja sendiri. Kadang, dibantu siswa SMK yang magang. Pelanggan tetapnya datang dari sejumlah wilayah di Aceh Tamiang. Dia juga sering mendapat panggilan memperbaiki motor hingga Kota Langsa. Untuk ke sana, dia mengendarai sendiri motornya.
Zulfitra (37), teman sekolah dan warga sekampung Dede, mengakui kecerdasan Dede. Dia sering diundang dalam ajang pelatihan mekanik sepeda motor di luar daerah. Selain mekanik andal, Dede juga paham elektronika. Banyak warga kampung yang mempercayakan perbaikan peralatan elektronik mereka kepadanya.
Pengakuan serupa disampaikan lembaga pendamping kelompok disabilitas di Aceh Tamiang. Malah, Dede dinilai layak diangkat sebagai kepala mekanik khusus difabel. “Belum lama ini dia menjadi instruktur pelatihan mekanik selama sepekan yang digelar Dinsos Aceh Tamiang. Selain itu, usahanya juga menarik minat siswa SMK untuk rutin magang. Kemampuannya telah mengikis stigma dan diskriminasi terhadap kelompok difabel,” ungkap Ketua LSM Boemi, Sugiono.
LSM Boemi bekerja sama dengan Skill Develoment Center (SDC) bentukan Disnakertrans Aceh Tamiang berperan pada pengorganisian kepesertaan dan pendampingan penyandang disabilitas. Lembaga ini mencatat, jumlah difabel di Aceh Tamiang mencapai 1.900 orang. Tapi, mereka belum mendapatkan perhatian selayaknya orang normal.
Utamakan Karakter
Sekarang, Dede mulai menikmati kerja kerasnya. Dia tak lagi disepelekan. Dia dikenal memiliki keahlian menangani mesin motor injeksi. Dia tak segan berbagi tips kepada konsumennya dalam merawat mesin motor injeksi.
Dua tahun terakhir, jebolan Balai Besar Rehabilitasi Solo ini meraih sejumlah penghargaan. Misalnya, sebagai narasumber/instruktur pelatihan bagi penyandang disabilitas untuk keterampilan mekanik yang digelar Dinas Sosial Aceh Tamiang (2019).
Kemudian, penghargaan dari Kementerian Ketenagakerjaan Dirjen Pembinaan Pelatihan Produktivitas Balai Latihan Kerja (BLK) Banda Aceh sebagai peserta Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) program servis sepeda motor konvensional dan injeksi III kejuruan otomotif (2020).
Dede Kurniawan bukan mekanik otodidak lagi. Dia bahkan menjadi salah satu kandidat kepala mekanik khusus penyandang disabilitas di “Rumah Kreasi” yang tengah dibangun salah satu badan usaha milik negara (BUMN) di Aceh Tamiang.
“Kalau memang ditunjuk, saya siap. Tapi, seandainya bukan saya, akan saya dukung sepenuhnya karena untuk masa depan penyandang disabilitas juga,” tegasnya.
Menurutnya, di bengkel Rumah Kreasi nanti, para difabel akan menunjukkan kemampuan. Mereka tidak mau pelanggan datang karena empati. Bukan untuk menyaingi bengkel lain, tapi membuktikan diri bahwa difabel mampu berkarya selayaknya orang normal. Selain mutu dan profesionalitas, kuncinya adalah jujur kepada konsumen.
“Jangan sampai ada onderdil masih bisa dipakai dibilang rusak supaya barang di bengkel kita terjual. Itu tidak boleh,” pungkasnya.
Kepala SLBN Pembina, Muttaqin, yang mengirim Dede untuk belajar ke Solo menilai, Dede Kurniawan adalah penyandang disabilitas berprestasi sehingga bisa mendidik difabel lainnya.
“Di samping tujuan awalnya supaya dia mandiri, sekarang bisa lebih dari itu. Khusus untuk perbengkelan motor, dia sangat bagus. Ukurannya mudah saja, yakni pelanggannya ada terus,” pujinya
Berita kiriman dari: Dede Harison