Pakar Hukum Pidana, Dr. Ariman Sitompul (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Keputusan merupakan suatu pemecahan masalah hukum yang dilakukan melalui pemilihan satu dari beberapa alternatif.
Hal itu disampaikan pakar hukum pidana, Dr. Ariman Sitompul., ST.,S.H,.M.H., CPLC, CPCLE, ACIArb, dalam menyikapi vonis empat tahun yang dijatuhkan kepada Habib Rizieq Shihab dalam perkara hasil tes swab Rumah Sakit (RS) Ummi Bogor di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (24/6) lalu.
Menurutnya pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah dengan fungsi pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun kelompok, baik secara institusional maupun organisasional.
Mengenai keputusan majelis hakim yang menjatuhkan hukuman pidana terhadap Rizieq Shihab selama empat tahun penjara atau lebih rendah dari tuntutan jaksa selama enam tahun penjara dalam kasus swab tes RS UMMI, Ariman menyebut hal itu merupakan ranah hukum pidana.
"Hukum pidana bisa diartikan sebagai peraturan berupa norma ataupun sanksi yang sengaja dibuat untuk mengatur segala tingkah laku manusia. Tujuannya untuk menjaga keadilan, ketertiban dan meminimalkan tindak kejahatan," kata Ariman, Selasa (29/6).
Secara garis besar, sambungnya, hukum pidana memiliki tujuan untuk melindungi segala kepentingan umum, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Ariman menyebut hukum selalu memiliki implikasi secara langsung kepada masyarakat luas, di mana jika terjadi suatu tindak pidana, maka akan berdampak buruk pada keamanan, kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban umum di lingkungan masyarakat.
"Artinya hukum pidana ini bersifat ultimatum remedium atau bentuk upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara di lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu, ada sanksi yang bersifat memaksa ketika peraturan dilanggar yang berdampak dijatuhinya pidana kepada pelanggarnya. Hal ini berbeda dengan hukum perdata yang lebih privat," jelasnya.
Lebih jauh Ariman menjelaskan bahwa hukum perdata sifatnya menitikberatkan pengaturan hubungan antara orang perorangan atau kepentingan perseorangan. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bahwa akibat dari adanya segala ketentuan dalam hukum perdata yang terdapat dalam KUHPerdata hanya berdampak pada pihak terkait. Hukum ini tidak berakibat secara langsung pada kepentingan umum.
"Terkait penjatuhan vonis empat tahun kepada Habib Rizieq Shihab dimana beliau dinyatakan bersalah melanggar Pasal 14 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sesuai Pasal 196, Habib memiliki hak menerima atau menolak atau mengajukan banding. Kedua, hak untuk pikir-pikir dahulu selama tujuh hari untuk menentukan sikap dan ketiga mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden dalam hal Habib menerima putusan atau disebuit Grasi," ungkap Direktur Lebahmadu Sumut ini.
Hal tersebut menurutnya adalah bentuk hak dari Rizieq Shihab untuk menentukan pilihan. Artinya hukum pidanapun memiliki pintu masuk lain dalam mencari keadilan.
Ariman menjelaskan sanksi hukum terhadap Rizieq Shihab berupa hukuman empat tahun penjara sudah tepat bila dikaitkan dengan tujuan dari hukum pidana yaitu melindungi segala kepentingan umum.
"Dalam hal ini kepentingan yang dilindungi negara adalah kesehatan masyarakat karena saat ini dunia diguncang dengan virus Covid-19," ujarnya.
"Terkait pendapat hukum lain selain sanksi penjara yang dijatuhkan, seperti denda terhadap kasus tersebut, pendapat itu sah-sah saja. Namun jika dikaitkan dengan hukum pidana, pelanggaran tersebut dapat berimbas pada kepetingan umum dan pidana itu bersifat ultimatum remedium, berbeda dengan hukum perdata yang tidak berakibat secara langsung pada kepentingan umum," sambungnya.
"Jadi, peletakan sanksi penjara maupun denda, seharusnya sesuai dengan bilik hukumnya dikomparasi dengan fakta persidangan. Sehingga hakim sudah berpendapat tepat dalam menentukan keputusan, tapi juga tidak menutup kemungkinan upaya hukum lain dilanjutkan untuk mencari keadilan," papar Ariman.
Menurutnya majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman tersebut cukup tepat, dimana hakim diharapkan menemukan hukum baru yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan.
Dalam hal tersebut pun sudah jelas jaksa menuntut enam tahun dan hakim memutus empat tahun dengan segala pertimbangannya. Memang dalam keputusan sah-sah saja ad pro dan kontra, sebab hakim pun manusia biasa dan bukan alat pemuas. Oleh sebab itu ada upaya lain seperti banding atau kasasi untuk mencari keadilan," tukasnya.
(EAL)