Ondak Kemano? Ke Kebun Lado

Ondak Kemano? Ke Kebun Lado
Dulunya sekitar abad 17, kawasan ini merupakan primadona penghasil lada terbesar untuk wilayah Sumatra, seiring berjalan waktu, alih fungsi lahan, nilai bisnis, dan berubahnya vegetasi iklim. Lada kini hanya menjadi kenangan. (Analisadaily/qodrat al qadri)

KABAR suara munculah ramai

Puan dan tuan gelak bercanda

Soal rempah banyak di Binjai

Tentulah dia si Kebun Lada

Pantun di atas bercerita tentang masa yang telah lewat. Binjai di masa lalu memang menjadi salah satu titik penghasil sekaligus jalur rempah di Sumatra Timur. Dan, kawasan yang bernama Kebun Lada adalah bukti yang tersisa.

Kini, Kelurahan Kebun Lada, Kecamatan Binjai Utara merupakan salah satu daerah yang padat penduduk. “Dulu daerah itu perkebunan lada. Orang dulu kalau ditanya ‘Ondak kemano?’ Pasti jawabannya ‘Ke kebun lado’,” tutur Wardika, warga Binjai yang pernah menginisiasi untuk terbitnya buku Sejarah Binjai.

Di Kelurahan Kebun Lada saat ini, tak satu pun pohon lada yang bisa dijumpai. Sekarang, kelurahan ini malah terkenal dengan daerah pembibitannya. Mayoritas penduduknya malah berniaga lewat pembibitan buah. Pada abad ke-17 penghasilan utama warga sekitar bahkan warga Sumatra Timur lainnya adalah lada. Komoditi ini diekspor ke Semenanjung Malaya seperti Malaka dan Pulau Pinang. Bahkan bagi pasar Eropa dan Timur Tengah, komoditi ini sangat mahal dan paling dicari.

Lada yang memiliki rasa pedas dan dapat menghangatkan tubuh, menambah citra rasa masakan serta dapat mengawetkan makanan, menjadikannya mahal di pasar Eropa. Maka dari itu, dari Binjai lada diekspor melalui Sungai Bingei lewat Pelabuhan Tanjungpura, Pelabuhan Pangkalan Brandan, Pelabuhan Baboen, dan Pelabuhan Tanjung Beringin hingga akhirnya tembus ke pasar Eropa.

Lada yang dihasilkan dari wilayah Binjai adalah lada hitam dan lada putih. Kualitas lada dari Sumatra Timur khususnya Binjai terkenal baik. Dari bukunya Karl J Pelzer yang berjudul Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947 disebutkan bahwa awalnya yang membudidayakan lada di Sumatra Timur adalah orang Karo dan orang-orang Aceh yang migrasi dan bermukim cukup lama di wilayah tersebut.

“Jadi, lada dari Binjai atau Langkat dilayarkan dengan boat (perahu mesin) ke Penang (Pulau Pinang). Jika saya tidak salah, memang belum ada riset tentang Kebun Lada,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Prof Budi Agustono.

Tetapi kata Budi, jika menghubungkannya dengan Aceh maupun Aceh Timur yang berdekatan dengan Binjai sebagai penghasil lada, maka lada yang diproduksi di Binjai dan Langkat berkaitan dengan perkembangan lada di Aceh.

Berkembangnya lada di Binjai besar kemungkinan kemudian menjadi kebun lada. “Jadi awalnya kebun lada itu dimiliki oleh penguasa Aceh termasuk uleebalang, penguasa lokal setempat yang mempunyai hubungan dagang dengan Penang, Semenanjung Malaya,” ucapnya.

Dari situ lada dijual ke pedagang Tionghoa. Dari Penang lada dipasarkan ke Eropa. Aceh Timur saat itu salah satu penghasil lada. Para pedagang yang sebagian besar Tionghoa Penang mencari lada tidak saja ke Aceh tetapi juga ke Binjai dan wilayah Langkat.

Budi melanjutkan, Binjai terutama Langkat termasuk jalur rempah dari kota-kota di Pantai Sumatra. Kala itu, para Sultan Melayu tidak saja dikenal sebagai penguasa lokal tetapi juga akrab dengan laut. Mereka ini mempunyai banyak kapal dagang yang mengangkut barang dagang dari satu tempat ke tempat lain termasuk Penang.

Menariknya dalam sebuah skripsi sarjana, Bimasyah Sihite, Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara, Medan, 2018, di wilayah Tanjungpura, Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, Stabat, Besitang, Langkat Hulu, Pulau Kampai, serta Teluk Haru hampir keseluruhannya ditanami tanaman lada. Untuk pernyebaran lahan tanaman lada juga terdapat di daerah-daerah seperti Serangjaya, Pantai Buaya, dan Sei Sedapan.

Saat itu, transportasi perdagangan dalam mengangkut hasil produksi lada menggunakan dua bentuk jenis transportasi yakni, transportasi yang menggunakan jalur air sebagai lalu-lintas perdagangan dengan menggunakan jalur sungai sampai ke laut dan transportasi yang memanfaatkan darat lewat jalur jalan raya sebagai lalu-lintas perdagangan dengan menggunakan hewan ternak, roda angkut pedati (gerobak), serta yang kedua adalah tranportasi darat yang dikendalikan dengan menggunakan teknologi pengangkut mesin.

Pada umumnya, pengangkutan komoditi lada lebih banyak menggunakan jalur air dibandingkan menggunakan jalur darat, hal tersebut dikarenakan pasar tujuan akhir pengangkutan lada adalah ekspor ke luar daerah dengan menggunakan pelabuhan di pesisir pantai.

Bagi masyarakat Melayu hampir di seluruh wilayah Sumatra Timur pengangkutan barang dan penumpang banyak mempergunakan alat transportasi sungai sebagai jalur transportasi air maupun bantuan hewan dan alat gerobak sebagai transportasi darat. Sungai-sungai di Sumatra Timur semuanya berawal dari pegunungan Bukit Barisan yang kemudian bermuara ke hilir di Selat Malaka.

Di Langkat, selain Sungai Wampu dan Sungai Langkat terdapat sungai-sungai yang berperan penting menjadi jalur untuk mengangkut hasil-hasil produksi lada rakyat, di antara Sungai Ular, Sungai Babalan, Sungai Besitang, Sungai Salahadji, Sungai Sesirah Besar, Sungai Sekoendoer, Sungai Toengkam, Sungai Djaja, Sungai Tanjung Kramat, dan Sungai Batang Jerangan.

Pelabuhan Pangkalan Brandan, Pelabuhan Baboen, dan Pelabuhan Tanjungpura menjadi pintu terakhir tempat pengangkutan hasil-hasil pertanian rakyat, termasuk lada rakyat sekaligus menjadikan wilayah Langkat sebagai basis ekspor komoditi lada terbesar di kawasan Sumatra.

JALUR PERDAGANGAN REMPAH:Aliran Sungai ini merupakan saksi bisu jalur perdagangan rempah, sekaligus penggerak ekspor lada terbesar dari sumatra di abad 17. Analisadaily/qodrat al qadri
Timur ke wilayah Semenanjung Malaya

Hal ini sama dengan yang diutarakan Wardika. “Jadi dulu kan ceritanya tiap persimpangan sungai ini dikuasai sultan. Nah, rempah-rempah yang mau dikirim itu, dimintai cukainya oleh sultan. Salah satunya di Sungai Bingei ini,” ucapnya.

Seiring perkembangan zaman, Sungai Bingei tak menjadi jalur rempah lagi. Tak ada aktivitas ekonomi di sungai tersebut. Yang ada, hanya dipergunakan beberapa bocah untuk mandi dan masyarakat sekitar sebagai tempat membuang sampah. Revitalisasi yang dilakukan pemerintah kota terhadap sungai juga bisa dibilang tak ada.

“Pemerintah Kota (Pemko) Binjai pernah mau menginisiasi penerbitan buku Sejarah Binjai. Kala itu sudah sempat kita godok dan mengumpulkan penulisnya. Tapi saat sudah proses pengumpulan data, tiba-tiba Pemko membatalkannya. Bukunya jadi tidak terbit,” kata Wardika yang merupakan salah seorang penulis buku tersebut.

Jika mundur ke belakang, timpal Budi, sewaktu kolonisasi Barat mencaplok kekuasaan Melayu, perlahan-lahan jalur rempah memang mengalami kemunduran. Jalur rempah yang identik dengan jalur laut dan jalur dagang berganti dengan jalur darat.

“Pergantian jalur rempah ke jalur dagang menunjukkan runtuhnya jalur dagang yang diperlihatkan dengan kemunduran perdagangan lada di antaranya di Langkat,” ujar mantan Dekan FIB USU tersebut.

Banyak faktor yang menjafi penyebab kemunduran lada di Binjai dan Langkat. Sebut saja munculnya ekspansi tanaman seperti tembakau, karet, kopi, kelapa, kopra, dan pinang. Munculnya komoditas tersebut adalah ulah kolonial Belanda maupun usaha yang dikembangkan oleh masyarakat sendiri.

“Untuk mengembalikan masa emas lada memerlukan transformasi cara pikir menyeimbangkan jalur darat dan jalur dagang (lada). Jika pemerintah setempat masih mengarusutamakan kelapa sawit maka tidak ada lagi ruang terbuka untuk menggelorakan lada sebagai komoditi tanaman ekspor seperti masa sebelumnya,” ujar Budi.

Bukan hanya itu, untuk menghidupkan kembali semangat jatah ruh jalur rempah, pemerintah daerah dalam hal ini Pemko Binjai dapat memfungsikan dan mendayagunakan sungai sebagai sumber kebudayaannya.

Penulis:  Nirwansyah Sukartara
Editor:  Bambang Riyanto

Baca Juga

Rekomendasi