Foto bersama usai diskusi tentang risiko perdagangan orang terhadap pengunsi Rohingya (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Dalam upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sekaligus penanganan penyelundupan manusia yang melibatkan pengungsi Rohingnya di Kota Medan, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Medan.
Dalam diskusi yang dilakukan secara virtual pada Selasa (12/10), dihadiri oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3AM) Kota Medan, Badan Kesbangpolinmas Kota Medan dan steakholder lainnya.
Deputy Chief of Mission IOM Indonesia, Theodora Suter, mengatakan diskusi yang mereka lakukan merupakan rapat koordinasi peningkatan kesadaran dan membangun kapasitas pemangku kepentingan tentang migrasi aman dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang di Kota Medan.
"Saya mengucapkan apreasiasi atas nama Organisasi Internasional untuk Migrasi kepada seluruh pembicara dan peserta diskusi, termasuk Pemerintah Kota Medan yang telah mendukung dan berkolaborasi dalam merespon isu TPPO dan penyelundupan manusia bersama IOM," katanya.
Theodora menjelaskan bahwa perdagangan orang merupakan masalah yang signifikan di Indonesia. Seperti diketahui bersama, Indonesia bukan hanya negara asal dan transit, tetapi juga negara tujuan perdagangan orang lintas batas dan dalam negeri.
"Meskipun kasus TPPO kebanyakan melibatkan perempuan dan anak-anak, namun TPPO semakin diakui terjadi pada semua orang, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan, termasuk pengungsi Rohingya," jelasnya.
Menurut Theodora banyak pengungsi Rohingya termasuk perempuan dan anak-anak menghadapi risiko yang signifikan selama proses migrasi dan kebanyakan dari mereka melintasi perbatasan melalui jalur migrasi yang tidak teratur. Hal tersebut menempatkan mereka pada risiko tinggi, seperti pekerja anak, penculikan dan tuntutan tebusan, pemerasan, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.
"Pengungsi Rohingya dapat menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di tengah perjalanan penyelundupan ke negara yang diinginkan, ketika perantara perjalanan memanipulasi posisi rentan mereka. Situasi ini mencerminkan keterkaitan yang melekat antara migrasi tidak teratur, praktik kriminal penyelundupan manusia dan TPPO, yang membuat pengungsi Rohingya lebih rentan terhadap eksploitasi dan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi," ucapnya.
Theodora mengungkapkan, pada 2020 terdapat dua kali kedatangan pengungsi Rohingya melalui laut dengan total 395 orang yang turun di Lhokseumawe, Aceh, antara Juni hingga September. Sebagian pengungsi kini berada di Medan dan juga terkena dampak pandemi kesehatan global (Covid-19).
"Mereka adalah salah satu kelompok yang paling terpengaruh dalam Pandemi, dan pembatasan perjalanan internasional ditambah dengan tekanan ekonomi yang menurun terus membuat lebih banyak orang rentan terhadap iming-iming dan risiko perdagangan manusia," ungkapnya.
"Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk mengatasi risiko perdagangan manusia secara lebih komprehensif, termasuk inisiatif pencegahan dan penanggulangan yang dapat mengurangi kerentanan para migran dan komunitas setempat terhadap perdagangan manusia," sambung Theodora.
Untuk meningkatkan respon cepat dan efektif terhadap penanganan dan penanggulangan TPPO, kata Theodora kepada para migran, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik dari petugas garda depan yang meliputi unsur pemerintah, termasuk perwakilan dari Gugus Tugas TPPO maupun Gugus Tugas Refugee, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
"Peningkatan kapasitas dan penyadaran bagi petugas garda depan tentang TPPO dan penyelundupan manusia akan menjadi kegiatan yang harus diprioritaskan," terangnya.
Theodora mengatakan, pertemuan multi-stakeholder sangat penting untuk mengidentifikasi, menilai, dan memetakan lebih lanjut strategi untuk merancang kegiatan peningkatan kesadaran dan peningkatan kapasitas yang efektif bagi kelompok rentan, termasuk komunitas Rohingya di Kota Medan.
"Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua peserta. Saya menantikan kolaborasi kami, serta mendengarkan refleksi dan pengalaman rekan-rekan saya yang terhormat yang bergabung dalam pertemuan," katanya.
Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Medan, Arjuna Sembiring mengatakan bahwa Kota Medan merupakan kota multi etnis. Di mana, masyarakat harus memiliki ketahanan nasional yang dapat mengatasi masalah keamanan.
"Artinya, kita sebagai satu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan dapat menghadapi serta mengatasi segala tantangan dan ancaman baik dari luar maupun dari dalam," ucapnya.
"Selain itu, kita juga memiliki tugas di bidang fasilitas kewaspadaan nasional seperti penanganan konflik sosial, penangan potensi ancaman, tantangan dan gangguan di daerah melalui deteksi dini dan cegah dini melalui pembentukan tim kewaspadaan dini. Kita juga membuat pemberdayaan forum kewaspadaan dini masyarakat (FKDM) dan penguatan pengawasan orang asing, organisasi masyarakat asing, lembaga asing dan tenaga kerja asing," terang Arjuna.
Sementara itu, Sekretaris DP3A-PM kota Medan, Mariance menambahkan bahwa pasca rapat dan kegiatan tersebut, mereka akan melakukan beberapa rencana tindak lanjut yaitu melakukan revisi SK Walikota Medan Nomo: 463/670.K/IV/2013 tentang susunan anggota pengurus gugus tugas TPPO, Menyusun Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan orang sesuai peraturan perundang undangan.
"Dan kami juga mengembangkan sistem informasi dan database tentang penanganan korban," tambahnya.
(JW/EAL)