Ilustrasi (Pixabay)
Analisadaily.com, Medan - Indeks bursa saham pada akhir pekan kemarin mengalami penurunan kinerja yang buruk. Bukan hanya di Indonesia, tetapi setiap negara di belahan dunia yang lain juga mengalami nasib yang serupa. Kekhawatiran munculnya Omicron (varian baru Covid-19) membuat pelaku pasar khawatir dengan potensi kemungkinan memburuknya kinerja pasar keuangan global.
Pasar saham menjadi salah satu yang paling menderita. Di mana kemunculan Omicron telah membuat kinerja pasar keuangan global terpuruk cukup dalam. Respons dari beberapa negara yang melakukan lockdown menjadi awal akan ada banyak kinerja perusahaan yang kembali mengalami penurunan.
Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut) Gunawan Benjamin menilai, investor di pasar saham akan kembali selektif dalam memilih sahamnya. Sektor farmasi, rumah sakit, maupun saham yang memiliki hubungan kuat dengan dunia kesehatan berpeluang untuk kembali mengalami kenaikan.
“Jadi pelaku pasar akan kembali masuk ke sektor-sektor tersebut seiring dengan memburuknya kondisi ekonomi global akibat kemunculan omicron. Jadi bisa saja indeks bursa saham dunia tanpa terkecuali IHSG berpeluang untuk mengalami koreksi,” ucapnya, Minggu (28/11).
Akan tetapi di sisi lain, sejumlah saham tertentu tetap akan berpeluang mencetak keuntungan. Investor akan beralih fokusnya ke saham-saham yang berpotensi memberikan keuntungan tersebut. Salah satunya adalah sektor kesehatan dan sektor lain yang berhubungan baik langsung atau tidak langsung.
Selain saham, investor akan melihat juga kinerja mata uang sebagai acuan selanjutnya di pasar keuangan. Sejauh ini, kinerja mata uang Rupiah mengalami tekanan seiring kekuatiran investor saat kemunculan omicron. Di sisi lain US Dolar juga berpeluang untuk mengalami penguatan seiring meningkatnya laju tekanan inflasi ditambah dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan, dan kebijakan pengurangan pembelian aset oleh pemerintah AS (tapering).
“Pasar keuangan global berpeluang untuk mengalami guncangan jika penyebaran omicron terus memburuk dan mengakibatkan tindakan penguncian wilayah di banyak negara. Hal ini berpeluang menjadi kabar buruk bagi siapapun. Jadi mata uang menjadi fokus kita selanjutnya untuk melihat perubahan yang mungkin memberikan dampak ataupun pukulan bagi kinerja aset yang lainnya,” terang Gunawan.
Di pasar domestik, pelemahan Rupiah akan lebih dikaitkan dengan kenaikan resiko memburuknya sejumlah instrumen investasi. Walaupun sejak pandemi covid 19 berlangsung, Rupiah sempat melemah di atas 16 ribu per US Dolar, tetapi Rupiah mampu berbalik menguat.
“Namun, Omicron telah menciptakan ketidakseimbangan baru. Apa saja mungkin terjadi nantinya,” sebut Gunawan.
Antara Omicron dan Inflasi AS, Harga Emas Membingungkan
Diterangkan Gunawan, kinerja mata uang US Dolar belakangan ini menjadi fokus investor yang gemar bertransaksi di emas. Bagaimana tidak, Amerika Serikat terus menunjukan kinerja inflasi yang secara kasat mata akan merubah kebijakan Bank Sentral AS (The FED). Sejauh ini, pemulihan ekonomi di AS mulai terlihat. Akan tetapi bukan di situ kabar baiknya.
Pemulihan ekonomi di AS justru bisa berakibat pada penurunan kinerja sektor keuangan di tanah air dan penurunan harga emas. Jika AS melakukan penyesuaian terhadap besaran suku bunganya (naik), maka US Dolar yang menguat justru bisa membuat harga emas terkulai.
“Hanya saja, belajar dari kinerja harga emas selama pandemi. Harga emas cenderung membaik saat Covid-19 merajalela. Nah, berasumsi dulu aja, kalau misalkan nanti omicron mampu membuat masalah yang sama persis seperti varian Covid-19 sebelumnya. Maka harga emas berpeluang untuk naik. Secara fundamental seperti itu. Tetapi bicara teknikal potensi penguatan harga emas akan dibayangi level psikologis $ 2.000 per ons troy,” terangnya.
Selanjutnya berasumsi yang lain, jika The FED justru terlihat akan menaikkan suku bunga lebih cepat, atau kebijakan tapering dilakukan dengan penurunan pembelian aset yang lebih besar. Maka akan ada pertarungan antara ekspektasi kenaikan suku bunga The FED, atau justru omicron lebih berkuasa dalam merusak tatanan ekonomi dunia.
“Jadi investor emas akan dibuat bimbang dan was-was. Emas juga akan terombang ambing. Harga emas akan berfluktuasi dengan ritme yang lebih pendek. Tren pergerakannya belum akan mampu menunjukan bagaimana nantinya emas bergerak secara meyakinkan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan harga emas domestik yang dipengarui kinerja mata uang Rupiah,” jelasnya.
Gunawan menuturkan, investor harus faham betul bahwa harga emas dunia yang bergejolak belum tentu akan memicu gejolak yang sama dengan harga emas di tanah air. Sebagai contoh, harga emas dunia saat ini bertengger di level $ 1.790-an per ons troy. Kalau harga emas naik, tetapi justru Rupiah menguat, ini bisa saja tidak memberikan dampak kenaikan pada harga emas domestik.
Nah, lanjutnya, jika investor lebih membeli emas di tengah ancaman Omicron seperti saat ini, dan misalkan saja harga emasnya mengalami kenaikan. Membeli emas batangan juga tidak menjanjikan keuntungan. Karena selisih harga beli dan jual emas yang lebar setiap gramnya, akan membuat investasi kita membutuhkan kenaikan emas yang signifikan baru bisa mendapatkan untung.
“Investor harus berhati hati jika ingin membeli logam mulia. Saat ini situasinya membingungkan. Dan jangan sampai kita terjebak dalam situasi yang merugikan. Harga emas berpeluang bergerak dengan arah yang tidak pasti dalam jangkan pendek. Jadi berhati-hati kalau berinvestasi emas sampai ada arah pergerakan harga yang lebih jelas,” tandasnya.
(RZD)