Irfania Lubis, Animator, yang Kembangkan Desa Sejahtera (Analisa/Nirwansyah Sukartara)
“Kalau saya milih animasi, saya sendiri yang senang. Tapi kalau saya milih terjun ke tenun, dampaknya lebih besar. Pelestarian budaya tidak akan mungkin berhenti di sini,”
Butuh dua tahun bagi Irfania Lubis (27) untuk memutuskan fokus terhadap pelestarian Songket Deli. Dari kecil, ia tidak pernah bermimpi untuk mengembangkan tenunan songket. Tanggung jawab moral akhirnya membawa lulusan Animasi dari Binus University tersebut terjun ke dunia warisan leluhur tersebut.
Senin (13/10) siang, hentakan suara mesin tenunan saling bersahutan. Ada sepuluh penenun yang sedang fokus mengerjakan tenunannya. Mereka berasal dari tiga desa di Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut) yang dikumpulkan di Kampung Berseri Astra yang berada di Jalan Kutilang, Dusun VI, Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Seituan.
Kampung Berseri Astra ini hadir di desa ini sejak 2019 lalu. Kampung ini hadir dari usulan masyarakat untuk merespons Program Desa Sejahtera Astra. Di kampung ini, masyarakat dari tiga desa yakni Desa Bandar Khalipah, Klipa, dan Desa Sei Rotan dilatih, dibekali ilmu dan bekerja sebagai penenun. Pelatihan ini penting, karena di zaman modern saat ini, bukan hal mudah mencari seorang penenun. Apalagi penenun songket Deli, yang notabenenya baru pertama kali ini dikembangkan oleh pengusul program Irfania Lubis.
“Orang biasanya hanya tahu songket Batubara atau songket Palembang. Tenunan kita ini beda. Khusus songket Deli,” ujar putri ketiga dari Tengku Syarfina tersebut.
Sri Wahyuni, penenun di Kampung Berseri Astra di Desa Bandar Khallipah Percut Seituan
Ibunya yang berdarah Melayu dan bapaknya yang berdarah Mandailing membuat Fani, sapaan akrabnya untuk fokus mengembangkan songket tersebut. Banyak nilai seni yang tidak diketahui banyak orang dari songket Deli tersebut. Apalagi generasi muda seperti dia. “Jangankan nilai seninya. Mencari penenunnya pun sekarang susah. Lantas, apakah pelestarian berhenti di sini? ujarnya sambil bertanya.
Bagi Fani, pelestarian budaya itu tidak bisa berhenti di sini. Bersama orangtuanya, Fani mencari orang di desa tersebut yang bisa menenun. Syukurnya ia bertemu dengan Novi (45), warga Desa Bandar Khalipah yang tidak buta dengan tenunan. Novi pernah belajar menenun dari orangtuanya yang juga bersuku Melayu. Tak hanya Novi, Fani juga menemukan Sri Wahyuni, wanita kelahiran Batubara yang puluhan tahun telah menenun songket Batubara bersama orangtuanya.
“Akhirnya kita ketemu orang yang bisa nenun dan kita latih sepuluh orang perempuan di desa ini untuk belajar menenun. Inilah pelestarian itu,” ucap wanita berkacama tersebut.
Novi dan Sri Wahyuni mendapat penghasilan per bulan dari Program Desa Sejahtera Astra tersebut. Lewat keterampilan yang mereka punya, mereka mengajarkan warga di tiga desa tersebut dari yang belum pandai menenun jadi pandai menenun songket Deli. Sekarang, jumlah penenunnya bertambah menjadi 20 orang. Astra menambah warga dari tiga desa lainnya di Deliserdang, Sumatera Utara untuk ikut belajar menenun. Ketiga desa yang ditambah itu yakni Desa Bandar Setia, Desa Tembung dan Desa Sambirejo Timur.
Menariknya, tenunan warga dari desa Kampung Berseri Astra ini tidak menggunakan tenunan yang motifnya digambar dari tangan. Sang pengusul yang merupakan sang animator menggeser budaya tersebut. Ia menggunakan motif digital design sebagai panduan penenun sebelum menenun songket Deli. “Pembeda kita itu di sini. Kita bisa kasih customer dengan servis memberikan motif dan pilihan warnanya lebih dulu. Jadi mereka dapat gambaran setelah selesai ditenun itu kainnya songketnya seperti apa,” ujarnya.
Dengan digital design tersebut pula para penenun lebih efisien bekerja. “Kalau sudah saya design sesuai dengan ukuran kainnya, saya print kemudian tinggal kasih ke penenun. Atau saya foto kirim dari Whatsapp. Dan ini lebih menghindari kesalahan penenun juga,” sebutnya.
Bukan hanya itu, anak ketiga dari empat bersaudara tersebut juga mengutarakan bahwa motif dari kain songket Deli ini juga bisa diminta (request) langsung oleh konsumen. Dari motif ini pula mereka mengedukasi masyarakat terhadap budaya Melayu khususnya Melayu Deli. Untuk menghadirkan motif ini, Fani yang usianya masih tergolong milenial tersebut terus belajar mendalami budaya Melayu Deli. “Melayu Deli itu kan terkenal dengan tembakau dan Istana Maimunnya. Tembakau Deli itu pernah diekspor mahal dan menjadi sumber pendapatan utama orang Melayu. Dari sini terus kita gali dan pelajari motif-motif apa yang harus kita buat untuk songket Deli tersebut,” ujarnya.
Buku-buku dari John Anderson menjadi refrensi bacaannya. Terkadang, untuk melahirkan motif-motif songket Deli lainnya ia ambil dari reproduksi kain-kain Sultan seperti pucuk rebung dan lainnya. Bukan hanya itu, corak-corak Melayu Deli seperti rumput raja, limau sekupang, hingga lembayung raja juga terus didalami Fani untuk pelestarian budaya Melayu Deli tersebut. “Intinya saya tidak pernah nyesal terjun ke sini. Ini pilihan yang tepat bagi saya, walaupun dulunya saya bercita-cita menjadi sang animator film,” ujar perempuan keturunan Sultan Deli tersebut.
Sejak wisuda dari Binus University 2014 baginya tidak ada yang sia-sia ia menimba ilmu empat tahun di jurusan Animasi. “Kalau saya milih animasi, saya sendiri yang senang. Tapi kalau saya milih terjun ke tenun, dampaknya lebih besar. Pelestarian budaya tidak akan mungkin berhenti di sini,” ucapnya.
Dua tahun menjadi animator freelance baginya sudah cukup mengaplikasinya ilmu yang dipelajarinya di bangku kuliah selama empat tahun. Kembali ke kampong asalnya Kota Medan dan mengembangkan warisan dari budaya ibunya adalah pilihan yang paling tepat. ‘Karena saya rasa dua-duanya tidak bisa dijalani bersamaan,” sebutnya.
Sekarang yang menjadi targetnya adalah songket Deli bisa mendapat pasar di berbagai lapisan masyarakat. Bukan hanya kepala daerah, pejabat maupun putri Indonesia saja yang memakain kain warisan leluhur tersebut.
“Selama ini yang paling sering order ke kita itu adalah gubernur, istri gubernur, dan pejabat lainnya. Harapannya ke depan songket Deli ini masuk ke semua lapisan masyarakat,” tambah Novi, penenun dari Desa Bandar Khalipah Deliserdang.
Novi yang sempat bekerja di perusahaan tersebut memiliki harapan besar dengan kembalinya ia ke dunia tenun tersebut. “Karena saya sempat kerja di perusahaan. Kemudian diajak Fani untuk fokus di sini lagi. Saya merasa punya semangat lagi,’ ucapnya.
Dalam sebulan, desa mereka bisa memproduksi 30 kain songket Deli. Saat ini produksinya juga sudah ke berbagai daerah di Tanah Air. Songket Deli sudah terbang ke Jakarta, Bandung, Gorontalo dan berbagai daerah lainnya. “Harapan saya ini juga bisa diterima lapisan masyarakat,” sebutnya.
Selain mereka, Sri Wahyuni sangat merasakan manfaat dari Program Desa Sejahtera Astra tersebut. Dua tahun berada di Kampung Berseri Astra tersebut, Yuni mampu membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dari bekerja di Kampung Berseri Astra, Yuni bisa mendapatkan penghasilan Rp2 juta perbulan. Penghasilan ini cukup menambah biaya sekolah ketiga anaknya. “Saya dari kecil diajari nenun sama orangtua di Batubara. Ibu saya penenun dan nenek saya juga penenun. Setelah menikah ikut suami ke desa ini terhenti sama sekali,” katanya.
Syukurnya sekarang bakat tenun dia itu bisa dikerjakannya lagi saat ini. Harapan ia ke depan semakin banyak orang yang mencintai songket Deli. Bukan hanya itu, semakin banyak lagi generasi muda yang mau belajar tenun. “Karena dulu saat kecil saat sudah kenal tenun. Tapi sekarang, anak saya malah handphone saja mainnya. Jangan sampai budaya kita ini tidak dilestarikan,” ucap wanita tamatan SMA tersebut.
Penulis: Nirwansyah Sukartara
Editor: Bambang Riyanto