101 Tahun Chairil Anwar, Ciri Khasnya Patut Diteladani Kawula Muda

101 Tahun Chairil Anwar, Ciri Khasnya Patut Diteladani Kawula Muda
Salah seorang seniman sedang membaca puisi dalam peringatan 101 tahun Chairil Anwar di Ruang Tengah Pos Bloc Medan, Sabtu (29/7). (Analisadaily/Cristison Sondang Pane)

Analisadaily.com, Medan - Sastrawan dari lintas generasi dan disiplin ilmu, dengan penuh hormat dan percaya diri, mengeluarkan ekspresi pikiran dan perasaan untuk memperingati 101 tahun kelahiran Chairil Anwar di ruang tengah Pos Bloc Medan pada Sabtu (29/7) malam.

Tidak sedikit buah pikiran yang berhasil dieksplorasi dari diri seorang Chairil Anwar, penyair legenda Indonesia, kelahiran 26 Juli 1922 di Kota Medan, Sumatera Utara, itu. Mulai dari karya-karya puisi hingga sosoknya memang patut untuk diteladani setiap orang, apalagi yang menggandrungi dunia tulis menulis sastra.

Hasan Al Banna, penulis buku ‘Malim Pesong’ mengatakan hal penting yang harus diketahui dan dipahami dari Chairil Anwar adalah keotentikan dan keunikannya dalam berbahasa. Dia berani menawarkan keotentikannya kepada orang di luar sana, sekalipun dia tahu bahwa mereka itu akan menolak keotentikannya.

“Chairil Anwar itu berani menjadi manusia satu persen, dan itu menurutku ciri khas yang sangat melekat dengan Medan khususnya. Tidak ada suku yang dominan, lebur menjadi satu dan kemudian menunjukkan identitas kita sebagai orang Medan,” kata Hasan kepada Analisadaily.com usai menjadi pembicara dalam acara tersebut.

“Inilah yang menurut saya perlu diteladani dan dimodifikasi oleh kawula muda khususnya, jika ingin berkutat di dalam dunia tulis menulis. Di luar itu adalah bagaimana kau menjadi dirimu sendiri. Bukan berarti ‘be yourself’ itu aku tidak mau tau apa yg terjadi di luar, tidak,” sambung pegawai Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara tersebut.

Dia lanjut menjelaskan, tetapi bagaimana yang di luar sana diserap, kemudian melebur dengan karakter diri sendiri untuk dikeluarkan sebagai produk sendiri. Apapun disiplin ilmunya, dalam konteks ini, kepenyairan Chairil Anwar dengan perangkat kebahasaannya berhasil menawarkan bahasa Medan di Jakarta atau di tingkat nasional.

“Berkembang dan jadi patokan bagaimana bahasa bertenaga, bukan hanya tentang ritme, tapi juga soal maknanya. Sastrawan yang berkumpul di sini ingin memperlihatkan, bahwa orang Medan punya identitas dan ciri khas,” tutur Hasan.

Di samping itu, Hasan menambahkan, digitalisasi yang terjadi sekarang menjadi peluang besar bagi para sastrawan dalam mempublikasikan karya-karya nya, terlepas sebelumnya banyak diterbitkan di koran-koran.

“Jadi sekarang, ruang-ruang yang tersedia itu, seperti media sosial atau platform media elektronik, seharusnya semakin massif dimanfaatkan, termasuk penulis dari kawula muda. Menurut saya, memang mainannya mereka saat ini, itu. Sarana teknologi ini pasti akan mempercepat perluasan karya sastra anak muda. Terlepas dari tantangan itu semua, para penyair tidak boleh menyerah,” tegas Hasan.

Peringatan ini tidak hanya menyediakan ruang dialog, tetapi juga panggung kreasi yang menampilkan penyair-penyair muda, kelompok sastra dan pemuda-pemuda yang giat dalam dunia literasi.

“Bagi kami ini sarana berefleksi, mendalami pesan Chairil Anwar lewat puisinya. Dia membicarakan kemerdekaan dalam ‘Karawang Bekasi’, tapi sampai saat ini menurut kami itu belum terealisasi. Tapi, ada banyak poin penting yang dapat kita teladani darinya, diantaranya dia karya sastranya berdampak besar,” kata Adi Mardiansyah (26) setelah membaca puisi ‘Terawang Hari Ini’ bersama rekannya Rizky Aathifa (25) dari ‘Tadaburasa’’.

Adi menilai, Chairil mempunyai semangat yang tinggi, benar-benar percaya pada dirinya sendiri, bahasa Medan dia terus bawa.

“Kita harus bangga dengan kultur kita, bahasa kita,” tutur Adi.

“Cara Chairil menyuarakan perlawanannya berbeda dari yang lainnya. Pesan-pesannya selalu menyentuh,” sambung Rizky.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi