Alumnus doktoral USU, Sabriandi Erdian (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Merebaknya persoalan ujaran kebencian di negara Indonesia dan berujung pada suatu tindak pidana, dikarenakan dari berbagai aspek. Satu di antaranya, kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia dalam mempergunakan bahasa, sehingga kalimat atau kata yang dipergunakan berhubungan dengan hukum berakhir masuk ke ranah pengadilan, sebagai contoh ujaran kebencian.
Hal itu dibeberkan alumnus doktoral USU, Sabriandi Erdian kepada awak media, setelah diwisuda sebagai doktor di Kampus USU, Selasa (13/9). Maka dari itu, ia menyebutkan pentingnya masyarakat memahami linguistik forensik agar tidak terjerat dalam permasalahan ujaran kebencian.
"Nah, sebelum berbicara panjang lebar, saya kasih tahu terlebih dahulu, apa itu linguistik forensik. Linguistik forensik merupakan cabang dari linguistik yang menganalisis atau meneliti kebahasaan yang digunakan sebagai alat bantu pembuktian di peradilan dan bidang hukum," kata Dosen Jurusan Bahasa Inggris, Politeknik Negeri Padang, Sabriandi Erdian.
Jadi, Sabriandi menjelaskan alasan mengapa masyarakat harus mengetahui linguistik forensik, agar masyarakat mengerti dampak dari butir-butir ujaran kebencian dan dampak kalimat yang dipergunakan bisa mengakibatkan ujaran kebencian.
"Jadi, ada sikap kehati-hatian dalam berbicara atau mempergunakan kalimat dalam berbicara dan membuat status di media sosial. Hal itu bisa diterapkan, bila mereka (masyarakat) mengerti secara umum atau pentingnya linguistik forensik ini," ujar Sabriandi yang akrab disapa Bandi.
Diungkapkannya, salah satu kasus yang dikajinya di Disertasi yang bertajuk, "Bahasa Persidanagan Terbuka di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Kajian Linguistik Forensik." Dalam kajian itu, ia menemukan kalimat yang berupa sinyal sikap tidak kejujuran pada persidangan terbuka di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, soal kasus korupsi kepala daerah tingkat II di salah satu daerah di Sumut.
"Meski pernyataan ini tidak boleh dijadikan sebagai acuan, tetapi penting menjadi sebuah sinyal kepada publik bahwa jenjang pendidikan tidak menjamin kejujuran, khususnya dalam hal korupsi. Oleh karena itu, perlu diteliti secara serius dengan teori linguistik forensik, tentang faktor-faktor apa saja penyebab atau pendorong munculnya tindak pidana korupsi," tuturnya.
Ia juga menyebutkan, berbahasa atau peristiwa kebahasaan adalah salah satu unsur penting dalam pengusutan sampai ke persidangan tindak pidana korupsi. Dimulai dari penyidikan sebagaimana terangkum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sampai pengadilan dan penjatuhan vonis tersangka pidana korupsi tidak terlepas dari peristiwa kebahasaan.
"Sangkaan, tuntutan, pembelaan, sampai kepada pembuktian bersalah atau tidaknya tersangka korupsi dikomunikasikan melalui medium bahasa. Bahasa, baik verbal maupun nonverbal, merupakan alat komunikasi yang mempunyai maksud dan tujuan antara penutur dan petutur," ujarnya.
"Namun, pada praktiknya, berbahasa sebagai ekspresi komunikasi manusia tidak selalu ideal dalam hal tercapainya maksud dan tujuan semula. Banyak hal yang menyebabkan terhambatnya pencapaian maksud dan tujuan praktik berbahasa dan semestinya ini mendapat perhatian khusus dari para ilmuan di bidang kebahasaan. Maka dari itu juga, dari kasus ini, kita sebagai masyarakat harus sadar untuk mengetahui soal linguistik forensik, agar mengerti maskud dan tujuan dari perkataan orang dan diri sendiri," sambungnya menuturnya.
Lanjutnya mengucapkan juga, seusai mengemban gelar doktor di bidang Linguistik Forensik, dirinya berjanji akan melaksakan penelitian dan mengedukasi masyarakat tentang linguistik forensik.
"Tujuannya, untuk mencerdaskan masyarakat bangsa, kshusunya mahasiswa Peliteknik Negeri Padang, dari segi linguistik forensik. Agar nantinya, masyarakat cerdas dalam memilah kalimat untuk berbicara dan menulis status sehingga tidak terjerat Undang-undang ITE dan pelanggaran ujaran kebencian yang bisa merugikan masyarakat hingga diri sendiri," pungkasnya.
(RZD)