Chief Marketing Officer PINTU, Timothius Martin (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Tahun 2022 menjadi tahun yang kurang bersahabat bagi investor kripto. Banyak sekali guncangan yang terjadi dan menyebabkan harga aset crypto menurun hingga lebih dari 70%.
Adapun beberapa faktor penyebab menurunnya harga aset kripto seperti Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) di antaranya, kasus Terra Luna, Three Arrows Capital (3AC), hingga bangkrutnya bursa kripto FTX.
Namun, melihat besaran return instrumen investasi, pergerakan aset kripto sejalan dengan indeks saham AS dan global selama tahun 2022 dan bahkan lebih baik daripada obligasi AS.
Chief Marketing Officer PINTU, Timothius Martin, Kamis (12/1) mengungkapkan, “Peristiwa yang terjadi dimulai sejak pertengahan tahun 2022 menjadi pengalaman berharga bagi semua pihak, tidak hanya investor, melainkan kami sebagai bursa untuk terus konsisten dalam memberikan keamanan dan kenyamanan berinvestasi.”
Timo menambahkan, “Terlepas dari volatilitas pasar kripto dan volume perdagangan yang rendah, dapat dilihat bahwa adopsi kripto secara institusional meningkat pada tahun 2022. Tetapi survei Institutional Investor baru-baru ini menunjukkan bahwa investor masih percaya kripto akan bertahan, terlepas dari volatilitas harga atau peristiwa yang tidak menguntungkan disebabkan oleh beberapa pihak.”
“Melihat kejadian di tahun kemarin, ketertarikan investor saat ini akan lebih tertuju pada aset kripto yang dinilai lebih berkualitas tinggi seperti Bitcoin dan Ether dan lebih memperhatikan faktor-faktor fundamental seperti tokenomik, kematangan ekosistem masing-masing project, dan likuiditas pasar,” ujar Timo.
Melihat di sisi lain, meskipun harga aset kripto mengalami penurunan, nyatanya adopsi terhadap aset kripto justru terus tumbuh dan semakin banyak negara-negara di dunia yang meregulasi aset kripto.
“Regulasi kripto merupakan hal yang baik untuk investor dan industri. Hal ini dapat memberikan potensi yang baik untuk melindungi investor jangka panjang, mencegah aktivitas penipuan dalam ekosistem kripto, dan memberikan panduan yang jelas untuk memungkinkan perusahaan berinovasi. Selain itu, kejelasan regulasi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat luas pada kripto,” papar Timo.
Investasi kripto masih menarik perhatian masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) hingga tahun 2022 jumlah investor kripto telah mencapai 16,55 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp296,66 triliun.
Selain itu dari sisi regulasi terdapat lebih dari 10 negara di antaranya Afrika Selatan, Inggris, Australia, Ukraina, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Brazil, Itali, Prancis, Kanada, Filipina, Korea Selatan, Turki, Mexico, India, Thailand, Vietnam, Argentina, Iran, dan Indonesia yang telah meregulasi investasi aset kripto yang berkaitan dengan bursa, pajak, perlindungan konsumen, dan lain sebagainya.
“Sektor industri kripto terus tumbuh dan matang, sehingga regulator di seluruh dunia perlu memberikan kejelasan serta panduan dalam menyikapi masifnya peningkatan tersebut. Selain itu, regulasi tersebut juga membantu membangun kepercayaan dan akan mendorong adopsi lebih besar lagi,” sebut Timo.
“Di Indonesia sendiri kami sangat mengapresiasi pemerintah melalui Bappebti, yang kemudian akan dilanjutkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang telah mendukung berkembangnya industri ini. Kami menyambut hal tersebut dengan baik untuk memastikan kemajuan industri kripto di Indonesia,” ujar Timo.
Timo menambahkan, “Kemajuan industri kripto di Indonesia juga ditandai oleh adopsi teknologi blockchain pada berbagai institusi besar yang tertarik dan sudah mulai berinvestasi ke aset kripto dan memanfaatkan teknologi blockchain seperti misalnya perusahaan fintech PayPal dan Square, kemudian Tesla hingga Bank Indonesia yang beberapa waktu lalu meluncurkan whitepaper Central Bank Digital Currency (CBDC) yaitu Proyek Garuda.”
“Arus perhatian yang sangat besar dari berbagai institusi ternama tentunya akan menarik banyak pihak dan semakin mendorong positif pertumbuhan industri kripto dari waktu ke waktu,” lanjutnya.
Secara global, kepemilikan aset kripto terus meningkat. Triple A sebuah perusahaan blockchain yang berbasis di Singapura mengestimasikan jumlah kepemilikan aset kripto di seluruh dunia mencapai 320 juta users atau rata-rata 4.2% dari populasi masyarakat dunia yang mencapai 8 miliar orang. Adapun Asia menjadi negara dengan kepemilikan aset kripto terbanyak mencapai 130 juta orang disusul oleh Afrika dengan 53 juta, dan Amerika Utara dengan 51 juta.
“Di balik signifikannya jumlah investor aset kripto di seluruh dunia, jelas tahun 2023 pasti penuh dengan tantangan. Mulai dari kenaikan suku bunga, inflasi, isu resesi, hingga kondisi geopolitik yang masih belum stabil tentu perlu menjadi perhatian khusus bagi investor,” ungkap Timo.
“Namun aset kripto dan teknologi blockchain terus membentuk ekosistem yang matang meski secara usia masih terbilang baru akan tetapi ribuan inovasi telah lahir dengan use-case yang mampu mendisrupsi berbagai industri seperti non-fungible tokens (NFT), Decentralized Finance (DeFi), hingga Web 3.0 dan memberikan dampak yang positif bagi penggunanya,” tutup Timo.
(REL/RZD)