Mayoritas masyarakat Tolak Kompensasi PT Rapala

Mayoritas masyarakat Tolak Kompensasi PT Rapala
Perangkat dan warga Kampung Perkebunan Sei Iyu, Kecamatan Bendahara saat menyambut LSM LembAHtari jelang turun Pansus Komisi I dalam rangka penyelesaian sengketa lahan HGU perkebunan sawit PT Rapala di Aceh Tamiang, Rabu (5/7/2023) (Analisadaily/Dede Harison)

Analisadaily.com, Kuala Simpang - Mayoritas masyarakat yang berdomisili dalam HGU kebun sawit belum mau terima kompensasi dari perusahaan. Kompensasi berkedok 'uang kerohiman' senilai Rp20 juta tersebut dinilai sebagai taktik untuk mengusir mereka.

Pasalnya, jika mereka ambil uang tali asih maka harus kosongkan rumah alias angkat kaki. Kini nasib warga pribumi dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Peristiwa pelik ini terjadi di Kampung Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang. Kampung yang berada di "lingkaran merah" kebun sawit tersebut didera masalah sengketa lahan selama bertahun-tahun tak kunjung usai.

"Kalau ngambil uang kompensasi kami harus keluar dari sini," kata Datok Penghulu Kampung Perkebunan Sungai Iyu, Ramlan saat ditemui, Rabu (5/7).

Diakui datok Ramlan sejak kesepakatan itu dibuat hanya enam orang warganya yang tidak kompak memilih mengambil kompensasi tersebut. Saat ini ke enam eks warga Perkebunan Sie Iyu tersebut sudah hengkang meninggalkan rumahnya.

Menurut Ramlan kesepakatan uang kompensasi Rp20 juta tersebut tertuang dalam berita acara Nomor: 1/KOM.I/V/2023 hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPRK Aceh Tamiang yang digelar pada 22 Mei 2023. Sedikitnya ada enam poin dalam kesimpulan rapat penyelesaian sengketa lahan masyarakat versus PT Raya Padang Langkat (Rapala).

Pada poin kedua pihak pertama (perusahaan) menawarkan akan mempekerjakan warga yang menempati perumahan dinas karyawan sebagai salah satu syarat agar mereka tetap bisa tinggal di rumah Afdeling eks PT Parasawita tersebut.

Namun apabila pihak kedua (warga) tidak bersedia bekerja di perusahaan pihak pertama (PT Rapala) maka pihak kedua wajib mengosongkan dan menyerahkan perumahan karyawan tersebut secara sukarela.

"Untuk itu pihak pertama akan memberikan tali asih/kompensasi berupa uang kerohiman senilai Rp20 juta per kepala keluarga/KK kepada pihak kedua," bunyi kesimpulan RDP tersebut.

Sementara dua pekan kemudian muncul isu pihak perusahaan akan mengeksekusi objek perumahan untuk dikosongkan. Tindakan ini diambil sesuai poin tiga dalam surat kesepakatan tersebut, bahwa pihak pertama berhak mengambil alih perumahan tersebut yang merupakan asset perusahaan.

Ironinya pihak kedua yang notabene warga kampung justru tidak mengetahui sama sekali isi berkas kesepakatan tersebut. Namun berita acara tersebut sudah terlanjur ditanda tangani Ramlan selaku datok penghulu/kepala desa setempat.

"Saya terpaksa tanda tangan karena tiba-tiba selesai RDP disuguhkan berkas," sebut Ramlan.

Diketahui dalam RDP Komisi 1 tersebut, selain pimpinan kolektif dan anggota dewan juga turut dihadiri segenap unsur Forkopimda dan perwakilan perusahaan PT Rapala.

Adapun yang meneken berita acara kesepakatan yang dibuat terkesan sepihak tersebut masing-masing Fadlon (Wakil Ketua I DPRK Aceh Tamiang), AKBP Muhammad Yanis (Kapolres), Joko Wibisono (Kajari) dan Letkol Czi Alfian Rachmad Purnamasidi (Dandim).

Kemudian Sandi Suhendri (Camat), Miswanto (Ketua Komisi 1), Zulkifli (perwakilan perusahaan/Direktur Operasional), Ramlan (Datok Penghulu), Suriono (Ketua MDSK), Tgk Khairuddin (Tuha 8 Wali Nanggroe) dan M Yusuf (Kepala Mukim).

Ramlan yang mengaku bingung pada saat itu dengan berat hati juga ikut membubuhkan tanda tangan. Keraguan Ramlan ditambah lagi dengan tidak dihadirkannya Pj Bupati selaku penguasa teritorial desa. Ia pun curiga Pj Bupati Meurah Budiman tidak ada diundang.

"Kalau ada Pak Bupati saya berani ngomong dan ambil sikap, ini yang hadir orang-orang hukum (instansi vertikal) semua.

Namun datok berpikir bahwa hasil RDP tersebut bersifat tidak baku tidak bisa dijadikan pegangan. Kemudian berkas itu dibawa pulang ke kampung untuk dimusyawarahkan kepada warganya.

"Saya pemimpin desa bukan perusahaan. Kita sebagai pemimpin di desa harus menyelesaikan masalah dengan mengedepankan kearifan lokal. Harus mendengarkan bukan seperti sistem perusahaan," ujar Ramlan.

Belakangan datok bersama warganya sering didesak kapan kosongkan rumah. Warga yang sudah pasrah akan diusir berinisiatif akan mendirikan tenda tinggal di tengah kebun sawit. Aksi warga ini dicegah oleh Camat sehingga perusahaan mengurungkan niat eksekusi.

"Kami sudah kemas-kemas keluarin barang-barang. Namanya saya punya atasan lapor ke camat. Akhirnya Forkopincam tidak mau masyarakat tidur di tenda," terangnya.

Di sisi lain warga merasa heran dan kecewa dengan saran unsur Forkopincam yang seolah menggiring warga untuk mengambil kompensasi. Artinya bahasa mereka netral tapi terkesan membela perusahaan karena setuju kalau warga angkat kaki dengan menyuruh ambil kompensasi.

"Kami dengar-dengar pihak perusahaan memending eksekusi kosongkan rumah tapi tidak ada sampaikan ke kita. Seharusnya manager jangan gengsi jumpai kami bilang ini enggak jadi," pungkasnya.

Informasi diperoleh hari ini, Kamis (6/7/2023) tim Pansus Komisi I DPRK Aceh Tamiang turun ke Kampung Perkebunan Sei Iyu. Tim Pansus diminta harus melibatkan petugas Kanwil BPN Provinsi Aceh karena kewenangan kebun HGU ini ada di provinsi merek masuk dalam tim.

"Kita kan, mau lihat fisiknya 34,9 hektare untuk warga itu dimana. Di antaranya lahan sekolah kita sudah tau oke, tapi sawah dan lahan permukiman yang akan dibangun itu yang mana fisiknya," kata Direktur Eksekutif LembAHtari Sayed Zainal selaku LSM pendamping warga Perkebunan Sei Iyu.

Kecuali lanjut Sayed, kalau dewan menyurati Kanwil BPN tapi mereka tidak bisa hadir, harus minta menunjuk BPN kabupaten masuk dalam tim, kemudian tim Pansus harus didamping pemerintah daerah.

Menurut Sayed Zainal sumber persoalan sengketa lahan di Kampung Perkebunan Sei Iyu, Kecamatan Bendahara karena terjadi dua kali pelepasan HGU sejak masa eks PT Parasawita masih beroperasi dan setelah beralih ke PT Rapala.

"Di dalam surat PT Rapala untuk di Pansus 34,9 Ha tersebut sesungguhnya mereka tidak keberatan. Jadi Pansus hari ini pihak perusahaan tidak punya hak menghambat," sebut Sayed.

Sayed Zainal menekankan, Pansus Komisi 1 DPRK Aceh Tamiang harus fokus bicara tentang pusat administrasi Desa Perkebunan Sungai Iyu. Dia berpendapat kasus sengketa lahan ini dari awal yang benar harus mengacu pada SK Gubernur Nomor: 103/2013 tentang Kode Nama Kemukiman Kampung.

"Harusnya pada 2014-2015 harus dikeluarkan dari HGU. Tapi itu tidak diperdulikan pejabat terkait. Saya bilang terutama yang tidak peduli itu adanya di Kantor BPN, mereka tidak mempertimbangkan itu," ungkap Sayed Zainal.

(DHS/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi