Opini

Mengingat Kembali Para Pejuang Rakyat Nias dalam Pergerakan dan Perjuangan Kemerdekaan NKRI

Mengingat Kembali Para Pejuang Rakyat Nias dalam Pergerakan dan Perjuangan Kemerdekaan NKRI
Ilustrasi kemerdekaan. (Analisadaily/Istimewa)

MENJELANG peringatan hari ulang tahun ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, saya ingin menyegarkan ingatan kita akan para pejuang rakyat Nias melawan penjajah di kepulauan Nias, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari wilayah NKRI.

Hal ini saya anggap penting bagi generasi muda Nias sebagai motivasi untuk melaju terus bersama dengan komponen bangsa lainnya menuju Indonesia maju.

Kalaupun hingga saat ini belum ada satupan dari suku Nias yang tercatat sebagai pahlawan nasional, bukan berarti tidak ada pejuang rakyat Nias yang ikut berjuang melawan dan mengusir penjajah terutama di wilayah kepulauan Nias.

Dari hasil penelitian Tim penyusun sejarah perjuangan masyarakat Nias yang dibentuk oleh Bupati Nias pada Tahun 1983 dan 1987 yang lalu, terungkap beberapa nama dan peristiwa bersejarah untuk mempertahankan wilayah kekuasaan mereka dari serbuan pasukan penjajah. Salah satu rekomendasi Tim ialah agar pemerintah daerah mengusulkan beberapa nama untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Para pejuang rakyat Nias dimaksud adalah:

1. Siulu SaÕnigeho Fa’u (1861-1908)

A. Identitas :

• Tempat/tahun lahir : Orahili 1818
• Nama ayah : Laowo Fa’u
• Tempat/tahun meninggal : BawÕmataluo 1931

B. Keterampilan :

1) Bela diri tradisional Nias

2) Hombo batu

Saat melompat dapat membawa peralatan perang antara lain gari (keris), tolÕgu ( pedang khusus) Toho (tombak) dan baluse (perisai). Saat sedang melompat berada di udara dapat menombak, menebas dan menangkis serangan musuh.

C. Kepemimpinan :

Dapat menjalin komunikasi dan mempersatukan para si’ulu untuk mempersiapkan tenaga pasukan perang dan dapat menggerakkan para si’ulu untuk berperang dibawah kendalinya sebagai pemimpin perang. Adapun para si’ulu dimaksud yaitu;

1) Si’ulu Faosi’aro Dakhi dari HilisimaetanÕ
2) Si’ulu Rajo Sesolo Dari Hiliamaeta
3) Si’ulu Haka Sarumaha dari Hiligeho.
4) Si’ulu SidÕfa dari BawÕlowalani.
5) Si’ulu dari Siwalawa
6) Si’ulu Fauduaro Ziraluo dari BotohÕsi
7) Si’ulu dari BawÕganÕwÕ
8) Si’ulu dari Hilifalawu.
9) Barani Dakhi dari HilisimaetanÕ
10) Balugu Tuhalalai Daeli dari LahÕmi
11) Balugu BalÕhalu dari Ma’u
12) Balugu NitanÕ Halawa dari Huruna

13) Balugu Saitambaho dari Siwalawa

D. Kisah Perjuangan

1) Siulu SaÕnigeho selalu bersama dengan ayahnya LaowÕ Fa’u, selaku pemimpin perang Orahili (1961) yang dibantu oleh adiknya TuhobadanÕ Fa’u sebagai panglima perang. Setelah ayahnya meninggal, SaÕnigeho melanjutkan perjuangannya dan semakin dendam kepada penjajah, sejak adik ayahnya TuhobadanÕ Fa’u tewas dalam peperangan di Hiligeho.

Perang diawali setelah dibunuhnya Doulenbern seorang petugas topografi yang berencana membuat peta Pulau Nias pada tahun 1846 di teluk Lagundri. Mendengar kejadian itu, belanda mengirim pasukan dengan menggunakan 3 kapal melakukan penyerangan, namun dihadang oleh pejuang dari Hilizondrege’asi dibawah pimpinan Tuha’luluÕ ge’e. Pasukan Belanda berhasil lolos dan menuju arah kampung Hilizamofo. Di pintu gerbang mereka dihadang oleh warga dibawah pimpinan Si’ulu Sesolo Ge’e (anak sulung Tuha LuluÕ Ge’e) dan berhasil membunuh kapten Kroesen (wakil komandan pasukan). Setelah membakar semua rumah penduduk, pasukan Belanda kembali ke kapal menuju Gunungsitoli dan warga Hilizamofo mengungsi dikampung Orahili.

2) Pada tahun 1854 terjadi perselisihan antara si’ulu BotohÕsi dan si’ulu Orahili melawan si’ulu BawÕmaenamÕlÕ ( HilisimaetanÕ ) dan si’ulu Hilizondrege’asi yang mengakibatkan si’ulu TuhamaenamÕlÕ menjadi korban.

Situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengirim pasukan dengan tujuan seakan-akan mengamankan perang saudara dan membasmi perbudakan.

Sesampainya di teluk Lagundri pasukan tidak dapat didaratkan karena tidak diizinkan oleh si’ulu Hilizamofo, TuhaluluÕ Ge’e dan si’ulu Rajo Sesolo. Belanda mengundang TuhaluluÕ Ge’e keatas kapal utuk menerima bea masuk, namun dengan akal licik Belanda menangkap dan menawan TuhaluluÕ Ge’e dikirim ke negeri Belanda dan meninggal di sana.

Setelah itulah pasukan Belanda dapat mendarat atas kerjasama dengan beberapa warga yang bersedia membawa senjata dan perbekalan perang kearah Orahili. Dalam perjalanan mereka terhalang oleh ranjau yang telah dipasang oleh warga antara lain tanah yang telah digali dan didalamnya telah dipasang bambu runcing dan ditutupi dengan dedaunan, BÕlÕdi dan BÕzi’ohi.

Selain itu, disepanjang jalan telah dipasang kayu penghalang yang diujungnya telah diikatkan lamaeha (sejenis periuk) yang didalamnya dipenuhi dengan abu, sehingga bila tersentuh maka lamaeha pecah dan menaburkan abu yang mengganggu penglihatan pasukan Belanda dan pada kesempatan itulah pejuang Nias menyerang. Banyak tentara pasukan Belanda yang tewas, sehingga mereka mundur ke pantai Lagundri.

Pada tanggal 6 juni 1856 pasukan belanda kembali menyerang dan saat mendekati benteng Orahili mereka terhalang oleh pertahanan benteng yang berlapis-lapis yaitu :

a) ÕlitanÕ dan tanÕ niko’o setinggi 1,5 meter.
b) Õli bure (sejenis kayu berduri)
c) Õli lato (sejenis rumput jelatang beracun dan berbisa)
d) Õli lewuÕmondroi (pagar bambu duri yang ditanam)
e) lÕsu-lÕsu ( tanah yang digali yang didalamnya telah dipasang bambu runcing dan sukha (bambu yang ditajamkan seperti duri)

Pada saat itu terjadi perlawanan yang heroik dari pejuang Nias sehingga 22 orang pasukan Belanda tewas dan selebihnya melarikan diri kembali menuju kapal. Beberapa senjata pasukan Belanda tertinggal dan dikuasai oleh pejuang Nias. Serangan itu dipimpin oleh TuhabadanÕ Fa’u dibantu oleh Lahelu’u Fa’u dan FÕnaoliÕ Fa’u.

3). Serangan berikutnya dilakukan oleh pasukan Belanda, namun kali ini pun gagal, sehingga sisa-sisa pasukan mundur dan berlindung dikampung HilimbÕwÕ. Si’ulu Orahili, marah besar dan mengancam apabila pasukan Belanda bertahan lama di HilimbÕwÕ, maka Si’ulu HilimbÕwÕ dianggap musuh. Akhirnya pasukan Belanda terusir dari HilimbÕwÕ dan semua alat perang disita oleh Si’ulu Orahili.

4). Pada tanggal 25 mei 1863 pasukan Belanda melakukan serangan dan dekat HilimbÕwÕ mereka menembaki rumah penduduk, sehingga rumah terbakar dan warga mengungsi ke hutan melakukan serangan gerila. Pada tanggal 28 mei 1863, pasukan Belanda mendekati benteng Orahili, tetapi karena penjagaan sangat ketat, maka pasukan Belanda menyerang dari arah lain. Di tempat ini juga mereka terhalang oleh ranjau dan lobang yang sudah terpasang, sehingga terjadi perang frontal dengan pejuang rakyat. Di pihak belanda tercatat beberapa korban tewas yaitu Letnan II Sonemberg, Letnan I Brodo, Zenimenzioli, Kartodiwongso, De Buck, Plistir, Atmawijoyo, van bick, Yunus dan Nolyopodo. Di pihak pejuang rakyat, Si’ulu TuhobadanÕ Fa’u tewas dan Orahili dikuasai pasukan Belanda sehingga warga mengungsi di hutan. Pasukan Belanda melanjutkan penyerangan ke kampung Botohosi dan membakar rumah warga.

Pada tanggal 9 juni 1863 si’ulu Lahusa, BawÕmaenamÕlÕ dan Hiligeho menyerah. Tanggal 12 juni 1863 pasukan Belanda kembali ke kampung HilimbÕwÕ dan membakar rumah warga. Pada tanggal 16 juni 1863 pasukan menuju LÕlÕwau, Sirombu dan kembali ke Gunungsitoli.

Pada tahun 1864 si’ulu Orahili mulai mendirikan rumah dan pada tahun 1880 semua penduduk berkumpul kembali dan mendirikan kampung BawÕmataluo.

5). Pada saat rombongan Marveld ( kepala Onder Affdeling Gunungsitoli) berkunjung ke Nias bagian selatan dan mendarat di Luaha Wara ( Teluk Dalam) tiba-tiba diserang oleh si’ulu HilimbÕwÕ dan si’ulu Hiligeho ( Haka Sarumaha) sehingga pasukan Belanda banyak yang tewas dan yang masih hidup terpaksa kembali ke Gunungsitoli.

6). Pada saat saudagar China ditangkap di BawÕganÕwÕ, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Lijsten melakukan penyerangan untuk membebaskan saudagar China tersebut, tetapi tiba-tiba mereka diserang oleh si’ulu BawÕmaenamÕlÕ, Faosi’aro Dakhi dibantu oleh si’ulu Onolalu dan si’ulu HilisatarÕ, yang mengakibatkan beberapa orang tentara Belanda tewas.

7). SaÕnigeho diangkat menjadi Panglima Perang

Memperhatikan perkembangan serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, mendorong siulu BawÕmataluo melaksanakan musyawarah (famagÕlÕ) di Lahusa dengan mengundang si’ulu BawÕmaenamÕlÕ Faosi’aro Dakhi, si’ulu BotohÕsi Fauduaro Ziraluo, si’ulu Hiliamaeta Rajo Sesolo, si’ulu Hiligeho Haka Sarumaha, si’ulu BawÕlowalani SidÕfa Sarumaha, si’ulu Siwalawa, si’ulu BawÕganÕwÕ, si’ulu Hilifalawu, dengan menyepakati beberapa hal antara lain:

a). SaÕnogeho diangkat menjadi Panglima Perang.
b). Bila pasukan Belanda melintas maka dilakukan serangan, di pimpin oleh Si’ulu masing-masing kampung dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada SaÕnigeho.
c). Serangan di pusatkan di Hiligeho di bawah pimpinan Haka Sarumaha, dengan memberitahukan kepada SaÕnigeho dan Si’ulu sekitar.
d). SaÕnigeho diminta untuk menghubungi TuhenÕri GaramÕ Tambaliwaha Laia menyiapkan 12 orang “Laimba sabÕlÕ” ( pasukan kuat yang sering di kerahkan bila terjadi peperangan ).

8). Pada bulan Juli 1908, pasukan Belanda kembali tiba di Lagundri, namun karena dilarang oleh warga, maka mereka kembali ke kapal dan mendarat di Luaha Wara (Teluk Dalam) tanpa diketahui oleh pejuang Nias. Pada saat itu pemerintah Belanda ingin mengedarkan surat fasi (semacam KTP ) di Hiligeho, maka dengan berpura-pura, Haka Sarumaha menyambut dan menghidangkan makanan. Namun atas persetujuan si’ulu SaÕnigeho pasukan yang sudah di persiapkan oleh Haka Sarumaha mengepung Hiligeho pada malam harinya. Namun siasat ini sudah diketahui oleh mata-mata Belanda (Orang Nias) dan memberitahukannya kepada pasukan Belanda.

Akibatnya Pasukan Belanda menembakkan meriam menyerang pejuang Nias sehingga mereka berserak menyelamatkan diri, namun ada yang berani maju dan menjadi sasaran peluru, termasuk wanita dan anak-anak yang kebetulan melintas.
Melihat keadaan itu, Haka Sarumaha mendekati pemimpin pasukan Belanda Letnan I Holst Pellekan dan menikamkan keris ke perut yang bersangkutan hingga tewas. Setelah perang berlangsung seharian Belanda mundur ke Luaha Wara.
Pada pertempuran itu tercatat beberapa orang Belanda tewas termasuk mata-mata Belanda (Orang Nias) sementara di pihak pejuang Nias korban Amilita Dakhi dari HilisimaetanÕ, Tuha SofarÕdÕwu Laia dari Hiligewo termasuk wanita dan anak-anak. Selain itu ada yang terluka antara Lain, Nuyu Dakhi, Barani Dakhi dan keluarga si’ulu HilisimaetanÕ.

9). SaÕnigeho ditangkap dan ditahan.

Setelah memperoleh informasi bahwa pimpinan perang adalah Si’ulu SaÕnigeho maka pasukan Belanda menyerang BawÕmataluo dan mengancam akan membakar kampung serta menangkap SaÕnigeho. Atas musyawarah warga, SaÕnigeho dapat diserahkan asalkan kampung BawÕmataluo tidak dibakar dan Saonigeho tidak diasingkan ke luar Pulau Nias. Selanjutnya Saonigeho ditahan di Gunungsitoli selama 5 bulan. Kemudian di bebaskan Belanda dengan syarat:
a) Ditebus dengan uang 3000 perak gulden.
b) Jalan Lagundri ke Luaha Wara dibatui dan bebas dilalui oleh Belanda. Setelah syarat itu di penuhi maka Saonigeho kembali ke tengah-tengah rakyatnya.

2. Balugu BalÕhalu Waruwu (1862-1915)
A. Identitas:

  • Tempat/tanggal lahir : Sisarahili Ma’u 30 April 1828
  • Nama ayah: Balugu Erematua Waruwu
  • Keterampilan:
B. Keterampilan

  • Bela diri dan kebatinan
  • Fatele
  • Membuat benteng pertahanan
  • Mahir menyerang perorangan,kelompok dan gerila
C. Kepemimpinan: sebagai seorang TuhenÕri.

D. Kisah Perjuangan
Ketika ada informasi bahwa ada pengangkutan 40 orang tenaga kerja dari lÕlÕwau ke Aceh, pemerintah Belanda melakukan penyergapan ke markas pejuang Nias di Hili’onohadumba dengan pimpinan BalÕhalu Waruwu. Pada tanggal 18 Februari 1862 pasukan Belanda mendekati dan melakukan penyerbuan. Mereka melihat pejuang Nias menari-nari mengejek pasukan Belanda dan melemparkan batu dari atas bukit sehingga dua orang tentara Belanda tewas. Kemudian pasukan Belanda melakukan penembakan di segala arah, namun tidak satupun yang mengenai warga. Pasukan BalÕhalu membalas dengan serangan tombak sehingga 12 orang pasukan Belanda tewas termasuk Letnan Meijer. Karena pejuang Nias terus melakukan perlawanan, maka pasukan Belanda mengalihkan serangan ke benteng Hilimagai. Seorang wanita bernama Bowogowi Halawa tewas tertembak dan seorang bernama Siwa’aro Ndruru tewas dihujani peluru, namun yang bersangkutan tidak roboh. Kesempatan inilah yang di manfaatkan oleh warga melarikan diri ke hutan.

Selanjutnya tanggal 30 april 1902 BalÕhalu berhasil dibujuk untuk damai dan diizinkan mendapatkan pasukan pengawal 6 orang serdadu. Oleh karena pemerintah Belanda mulai mengedarkan surat “fasi” maka BalÕhalu menyusun kekuatan pasukan dengan mengadakan pertemuan yang diikuti oleh:

1) NitanÕ Halawa, Tuheneri Huruna.

2) Tuha Laimba Ndruru, Wakil Tuheneri Ulunoyo
3) Saefa Maria Ndruru, Salawa Huruna
4) Waha SanuwÕ,Tuheneri Uluoyo.

Hasil kesepakatan ialah:
1) mengusir penjajah dengan berperang
2) memilih pemimpin perjuangan yaitu:
a) Balugu BalÕhalu sebagai pemimpin

b) NitanÕ Halawa sebagai wakil pemimpin
c) Tuha Laimba Giawa sebagai Panglima perjuangan I
d) Saefa Maria Ndruru sebagai Panglima perjuangan II
e) Waha SanuwÕ sebagai Kepala persenjataan

3) biaya perang dikumpulkan dari warga untuk membiayai 1000 orang pasukan selama 3 bulan perang.
4) menetapkan starategi perang :
a) Õri Ma’u menghadapi dan menahan serangan Belanda yang datang dari arah Gunungsitoli

b) Õri Huruna menghadapi dan menahan serangan Belanda yang datang dari arah Lahagu
c) Õri Ulunoyo menghadapi dan menahan serangan Belanda yang datang dari arah Teluk Dalam

5) Membuat Pertahanan:
a) di Hilimegai Õri Ma’u benteng pertama
b) di Hilionohadumba Õri Huruna benteng terakhir

6) Alat persenjataan:
a) besi niogasÕ dijadikan sebagai range ( perisai dari besi)

b) baru siÕli ( baju besi)
c) tombak dan pedang

Akibat adanya penghianat yang membocorkan kesepakatan ini, maka Belanda melakukan penyerangan dan berhasil menangkap NitanÕ Halawa. Selanjutnya pasukan Belanda menyerang benteng Hilionohadumba. Di pihak Belanda korban satu orang opsir dan puluhan tewas sedangkan di pihak pejuang Nias 20 orang tewas antara lain, Faedueho GulÕ, Daiso Halawa, Karisa GulÕ. Pasukan Belanda mundur dengan meninggalkan jenazah Sekingen sehingga kepalanya di penggal oleh pejuang Nias dan dijadikan Binu ( alas kepala balugu yang meninggal).

Pada tanggal 18 juni 1863 pasukan Belanda melakukan penyerangan namun Zaebu Halawa ( Panglima perang) keburu mendengar dan memerintahkan semua warga untuk bersembunyi di hutan karena ada serangan mendadak dari Belanda. Sementara Zaebu Halawa melakukan penyerangan sendirian dengan melemparkan batu dari atas benteng Onohadumba sampai ia tewas tertembak peluru. Benteng Onohadumba dibakar dan pemimpin pasukan Nias seperti BalÕhalu dan lain-lain di tangkap dan di jatuhkan hukuman berat serta di asingkan di Tarutung. BalÕhalu meninggal disana dan tidak diketahui kuburannya.

3. Balugu Tuhalalai (1870-1934)

A. Identitas:

  • Nama Kecil: SambÕrÕ Daeli
  • Nama ayah: Balugu Yawalangi ( Ama Ndraso Daeli) saat usia 15 tahun ayahnya meninggal.
B. Kisah Perjuangan.
Latar belakang perlawanan:
a) menentang perubahan hukum adat leluhur oleh orang asing.
b) menentang pembayaran pajak kepada orang asing karena mereka bawa ke negerinya
c) menentang pemberlakuan surat PAS

d) menentang tindakan-tindakan penyiksaan rakyat.

Kesepakatan ini diambil bersama tokoh lainnya untuk melakukan perlawanan di kampung masing-masing dan di mana saja ketemu dengan Belanda mereka harus dibunuh. Tuhalalai merekrut dan melatih 60 orang murid untuk belajar beladiri dan kebatinan.

Pada waktu pelaksanaan rodi dan pemungutan pajak oleh pihak Belanda, Tuhalalai sebagai TuhenÕri memukul kentongan dengan tujuan mengingatkan warga agar meninggalkan rumah dan bukan untuk berkumpul sesuai dengan rencana Belanda. Atas petunjuk Tuhalalai, murid-muridnya membunuh Kumandu dan misionaris yang kuburannya masih ada hingga sekarang.

Suatu saat pada rencana pembagian surat fasi untuk 1000 orang warga, Tuhalalai memberi petunjuk agar semua pemuda rakyat menyiapkan pisau kecil ukuran sejengkal dan saat Belanda menyerahkan surat fasi mereka ditangkap oleh pemuda dan membunuhnya dengan pisau kecil tersebut. Taktik ini sempat di dengar oleh Belanda sehingga acara tersebut di tangguhkan.

Pada waktu Belanda pulang ke Gunungsitoli melalui Lahagu, mereka diserang oleh Atumbukha GulÕ (Ama Mbohou) sehingga menewaskan 11 orang Belanda dan 3 orang tewas di pihak Atumbukha ( peristiwa horÕ dawa di MoroÕ). TuhaLalai menjadi buronan pasukan Belanda namun tidak pernah tertangkap.

4. Atumbukha Gulo (1876-1910)

  • Nama : Balugu Atumbukha GulÕ
  • Tempat/tahun lahir: Sisobahili MoroÕ 1857
  • Meninggal: 1910
  • Nama ayah: Balugu Gawi GulÕ

B. Kisah Perjuangan:

Suatu ketika pemerintah belanda melaksanakan pendaftaran penduduk ( surat fasi ) dengan penjelasan:
a) surat fasi di maksudkan untuk di akui sebagai warga negara Belanda dan yang tidak memiliki dianggap sebagai emali ( penculik). Surat fasi tersebut di masukkan dalam seruas bambu, lalu ditutup dan di gantung di leher.

b) yang sudah memiliki surat fasi membayar pajak kepada pemerintah.
c) setiap warga yang telah memiliki fasi wajib ikut kerja membuka jalan.

Mendengar hal tersebut si LIMA INA yang terdiri dari:
a) Mado GulÕ
b) Mado Zebua
c) Mado Hia
d) Mado Waruwu
e) Mado Zai
mereka tidak sependapat dan di anggap menghina dan menyinggung perasaan warga karena bertentangan dengan fondrakÕ leluhur.

Pada tanggal 10 juli 1910, 12 orang pasukan Belanda tiba di rumah Atumbukha GulÕ dan yang bersangkuatan ditangkap, setelah melakukan perlawanan sengit. Dalam perjalanan ke Gunungsitoli pasukan Belanda singgah dan bermalam di rumah Ina Lahine dengan menawan seisi rumah. Atumbukha diikat di tiang tengah rumah dengan tangan terikat di belakang. Untuk memperdaya pasukan Belanda tiba-tiba Aso’ala GuloÕ adek kandung Atumbukha GulÕ datang dengan penuh hormat menyuguhkan seekor babi yang sudah di masak untuk makanan pasukan Belanda sementara pejuang yang lain bersembunyi di sekeliling rumah. Saat ada isyarat antara keduanya, Atumbukha GulÕ pura-pura berteriak sakit perut dan saat itu digunakan oleh aso’ala GulÕ melompat dan memutuskan tali pengikat dan menyerahkan sebilah pisau kepada Atumbukha. Secepat kilat Atumbukha GulÕ meloncat menikam hingga tewas komandan Letnan Heri Risten dan yang lainnya ditikam oleh pejuang Nias sehingga 11 orang pasukan Belanda tewas dan 3 orang pejuang Nias tewas yaitu, Atumbukha Gulo, Asoala Gulo, dan Ko’o Gulo tewas tertembus peluru. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa HorÕ dawa.

Pasukan Belanda mundur dan ke 3 orang korban pejuang Nias dikubur oleh warga sedangkan ke 11 orang jenazah pasukan Belanda di seret dan kepalanya di penggal untuk di jadikan binu dan ditanam dibawah kepala jenazah leluhur serta tubuh mereka di seret dan di buang ke lobang tanah.

Setelah berbagai cara di tempuh oleh Belanda maka tercapai perdamaian HorÕ dawa yaitu:

1. pejuang Nias harus menyerahkan 11 kepala pasukan Belanda yang telah tewas dan bilatidak, akan di denda 1000 perak gulden per kepala
2. pejuang Nias harus mengembalikan senjata Belanda.
3. seluruh penduduk MoroÕ harus menerima surat fasi dan membayar pajak

4. pejuang MoroÕ harus membayar 1000 perak gulden sebagai ganti kerugian pihak Belanda selama perang
5. penduduk MoroÕ harus tunduk di bawah pemerintah Belanda dan melaksanakan kerja rodi

6. penduduk MoroÕ jadi pemeluk Agama Kristen

Korban-korban HorÕ dawa:
1. Letnan Hier Rusten
2. Kaporals
3. Partodiwirjo
4. Dittrich
5. Marechhansesseess
6. Sinah
7. Togiman
8. Sadjan
9. Harjo
10. Rebo
11. Montarip

Kesebelasan orang mayat tentara belanda ini dikuburkan dalam sebuah liang kubur dan telah diberi tugu oleh pihak pemerintah penjajahan Belanda yang sampai sekarang masih utuh di desa TetehÕsi Lolozasai, sekitar 300 meter dari tepi jalan umum.

Dari pihak-pihak pejuang Nias MoroÕ:
1) Balugu Atumbukha GulÕ alias ama Mbohou GulÕ
2) Balugu Aso’ala GulÕ ( adik kadung balugu Atumbukha GulÕ)
3) Ko’o GulÕ dan
4) balugu Ta’ila GulÕ, tewas ditembak dirumahnya di Hiligoe dan puluhan yang lainnya tewas ditembak karena terperangkap oleh tentara Belanda, dan banyak pejuang-pejuang Moro’Õ lainnya yang telah korban dan tidak di ketahui nama-nama mereka sampai saat ini.

Setelah tercapainya perdamaian pihak tentara Belanda masih terus melacak pejuang-pejuang Nias Moro’Õ dan menangkap mereka lalu dihukum dan di buang keluar daerah, antara lain:
a. Dari Hiligoe.
1) Ama Wune GulÕ meninggal di Gunungsitoli
2) Faudubawa GulÕ dihukum 21 tahun dan meninggal di Hiligoe
3) Ama Lofahulo GulÕ di hukum 10 tahun dan meninggal di Hiligoe
4) Sa’amao GulÕ dihukum 11 tahun dan meninggal di Hiligoe
5) Ama Ngaroroi GulÕ meninggal di pembuangan.
6) Hohou GulÕ meninggal di pembuangan.
7) Atumbukha Ama Gole GulÕ, dihukum 2 tahun dan meninggal di Hiligoe
8) Ngona GulÕ meninggal di Hiligoe setelah kembali dari pembuangan
9) Ama Mbolono GulÕ, meninggal di Gunungsitoli dalam masa hukuman
10) Taromali GulÕ alias Ama Lofahulo
11) Angerata GulÕ
12) Ta’ofasi GulÕ
13) Arutua GulÕ
14) Ama watoro GulÕ.

b) Dari Iraonogambo.
1) Tuwu’aro GulÕ alias Balugu Lasozihono ( Ama Wangaoso).
2) Ifa GulÕ alias Ama Zimoluo.
3) Batowaya GulÕ.
4) KanÕtoifa GulÕ.


Demikian sekilas perjuangan rakyat Nias melawan penjajah yang dikutip dari laporan tim penyusun sejarah perjuangan masyarakat Nias tahun1988 dan berbagai sumber lainnya. Saya menyadari di sana-sini masih ada kekurangan dan untuk itu saya mohon maaf serta berharap ada pihak-pihak tertentu yang mau menyempurnakannya sehingga sejarah ini lebih lengkap dan dapat mendorong berbagai pihak untuk berinisiatif mengambil langkah yang tepat agar para pejuang Nias dapat tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan NKRI dan di antaranya ada yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

Semoga bermanfaat kepada generasi muda untuk melaju bersama komponen bangsa lainnya menuju Indonesia maju. Merdeka! Yaahowu!

Penulis: Drs. Baziduhu Zebua (Ama Cece)

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi