Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS(K) (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Pemerintah bersama DPR telah resmi mengesahkan Omnibus Law RUU tentang Kesehatan menjadi undang-undang. Pengesahan undang-undang itu dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-29 DPR masa persidangan V tahun sidang 2022-2023 pada Selasa (11/7) lalu.
Hanya saja pengesahan tersebut menuai kontroversi. Banyak pihak menilai UU kesehatan yang disahkan tersebut bertentangan serta membuka peluang besar masuknya institusi kesehatan asing dan mengancam keberadaan institusi kesehatan di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS(K). Selaku tenaga ahli kesehatan dengan bidang ilmu Bedah Saraf, dirinya menilai UU yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal itu banyak melahirkan pertentangan.
"Mulai dari pendidikan kesehatannya. Kemudian belum lagi masalah tentang jadi super body-nya Kementrian kesehatan terhadap ikatan dokter, atau katakan ya organisasi profesi. Jadi itu tidak memungkinkan untuk dijalankan sebenarnya," kata Prof Ridha saat diskusi dengan Sekretaris Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI) Sumut, Selasa (8/8) malam.
Prof Ridha menyampaikan, masalah mandatory spending yang dihapuskan.
"Jadi nanti gak adalagi kewajiban pemerintah untuk membantu institusi pelayanan kesehatan atau rumah sakit atau klinik-klinik pemerintah. Akhirnya institusi tadi harus bisa membiayai dirinya sendiri. Padahal pelayanan kesehatan itu adalah kewajiban pemerintah," ujarnya.
Hal lainnya, Prof Ridha menyatakan, dampak yang hadir dari UU Kesehatan adalah institusi pelayanan kesehatan tidak lagi berfikir sebagai pelayanan masyarakat, tapi berfikir sebagai satu perusahaan milik negara akhirnya.
"Kalau mereka gak mampu gimana? Bisa hancur atau di situlah masuk institusi-institusi asing yang akan mengambil peran atau share bagi saham atau apalah. Akhirnya pelayanan kesehatan di Indonesia itu adalah bagian dari bisnis negara asing," ucapnya.
Untuk itu dirinya meminta agar pemerintah segera membatalkan UU kesehatan.
"Solusi terbaiknya adalah batalkan UU Kesehatan," tegasnya.
Tak hanya mengancam institusi pelayanan kesehatan, UU Kesehatan Omnibus Law No 06 Tahun 2023 menurut Syaiful Amri tak berpihak kepada buruh.
"Buruh yang baru sekarang ini, perusahaan tidak wajib mendaftarkan dia dan keluarganya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Itu hal yang kami tentang di luar daripada pasal-pasal kontroversi menurut para tenaga ahli kesehatan," tutur pria yang akrab disapa Amri itu.
Selain itu banyak juga pasal-pasal yang dianggap bertentangan pada pasal UU Omnibus law. Dari keberpihakan kepada pengusaha, mempermudah keberadaan buruh asing, hingga hak pekerja yang mulai terabaikan.
"Pasal yang paling menonjol dalam PP 34, 35, 36 dan 37 sangat merugikan bagi kami. PP 34 contohnya, pekerja asing di mana dulu hanya boleh ditempatkan bidang tertentu tapi sekarang semua bidang bisa dan tidak mensyaratkan tenaga asing berbahasa Indonesia. Akhirnya banyak komunikasi tidak berjalan dan berdampak kepada produksi yang bisa berujung pada kekisruhan," ucap Amri.
UU sekarang menurut Amri mempermudah tenaga kerja di PHK. Sebelumnya, Penempatan buruh kontrak yang diatur dalam PP 100 Tahun 2004, hanya boleh di tempat tertentu. Selain itu, buruh hanya boleh dikontrak dua tahun diperpanjang setahun lalu dijadikan karyawan tetap.
"Sekarang kontraknya 5 tahun dan diperpanjang 5 tahun. Jadi boleh dikontrak 10 tahun dan semua sektor diperbolehkan. Mempermudah perusahan memutus kontrak burruh. Jika di bilang ini solusi terbaik untuk pengangguran adalah salah bagi kami. Data kita saja, dari terbitnya UU tersebut sudah 300 anggota kita di PHK jadi ini bukan memperbaiki," tambahnya.
(JW/RZD)