Abdon Nababan (kiri) dan para aktivis gerakan lingkungan hidup (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Media massa dan jagat media sosial baru saja dihebohkan dengan peristiwa bentrok antara masyarakat adat Rempang Batam, Kepulauan Riau, dengan ribuan petugas kepolisian dan tentara.
Peristiwa bentrok terjadi karena protes masyarakat adat Rempang atas pengamanan eksekusi pematokan lahan masyarakat untuk kepentingan menarik investasi pembangunan Eco-city Rempang.
Puluhan warga Rempang dan petugas kepolisian luka-luka, dan harus dirawat di rumah sakit, termasuk anak-anak sekolah yang terkena semprotan gas air mata.
Abdon Nababan yang dikenal belasan tahun sebagai tokoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama beberapa aktivis gerakan lingkungan hidup ketika ditemui jurnalis di sebuah kafe di Medan Johor, Rabu (13/9) malam, menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa yang terjadi.
“Saya menyesalkan sikap dan tindakan BP Batam dan Pemerintah yang mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat Rempang dan ruang hidupnya. Hak konstitusional yang diabaikan itu berwujud hak asal usul atau hak tradisional yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 18 b (ayat 2) dan pasal 281 (ayat 3) UUD 1945,” kata Abdon dengan tegas.
Lebih jauh Abdon mengungkapkan bahwa cukup banyak bukti-bukti sejarah meriwayatkan tentang 16 Kampung Tua di pulau Rempang dan Galang yang sudah ada ratusan tahun sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan.
“Bukti-bukti sejarah ini semestinya menjadi pertimbangan utama bagi Negara untuk melindungi masyarakat adat Rempang dan ruang hidupnya dari segala macam upaya penggusuran atau relokasi yang mengatasnamakan kepentingan apa pun, apa lagi dengan pendekatan represif yang potesial menimbulkan korban,” pungkas Abdon.
Abdon Nababan yang juga merupakan calon DPD Sumatera Utara pada Pemilu 2024 ini, menyatakan, isu penghormatan dan perlindungan masyarakat adat dan ruang hidupnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi perhatian penting dari sesiapa yang berhasrat menjadi bagian dari pengambil keputusan di negara ini.
Sementara itu, Rajidt Malley, aktivis gerakan lingkungan hidup yang bersama Abdon, menyatakan, membangun proyek dengan investasi besar, melibatkan jumlah tenaga kerja banyak, potensial menggusur masyarakat, serta mengubah bentang alam yang luas, seperti pabrik kaca dan panel surya di Rempang, Kepulauan Riau, meniscayakan kajian ilmiah dan dialog intens para pemangku kepentingan.
“Tak ada informasi memadai tentang ada-tidaknya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tentang rencana industri tersebut. Kok, tiba-tiba mau menggusur masyarakat adat Rempang yang diimbuhi bentrok pula,” sebutnya.
Rajidt yang bergelar Datuk Mangguyang Alam, dan merupakan salah satu pemuka suku Melayu Minangkabau, mengingatkan Pemerintah harus berhati-hati menangani kasus Rempang.
“Rempang merepresentasikan juga puak Melayu. Peristiwa Rempang bisa jadi isu penggusuran etnik Melayu dari tanah ulayatnya. Puak Melayu dimana pun akan berempati. Satu Hati, Satu Rasa. Takkan Melayu Hilang di Bumi, adalah tunjuk ajar orang Melayu bernada aporisme heroik untuk berjuang bersama!” ungkap Rajidt menutup tuturannya dengan mimik serius.
(REL/RZD)