Nurul Khadijah dan Elisabet Siahaan. (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Nurul Khadijah dan Elisabet Siahaan*
Pada tahun 2023, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 6 yang membawa perubahan terhadap praktik outsourcing di tanah air. Perubahan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan lebih baik kepada pekerja outsourcing, sekaligus menjawab kebutuhan industri akan fleksibilitas tenaga kerja. Namun, seperti halnya kebijakan lainnya, UU ini menghadirkan harapan sekaligus tantangan baru.
Sebelumnya, dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, outsourcing dibatasi hanya pada pekerjaan yang bersifat penunjang (
non-core), seperti pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan utama perusahaan. Namun, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menghapus batasan tersebut, memungkinkan semua jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan utama (
core) dapat dialihdayakan?.
Outsourcing atau alih daya merupakan praktik di mana perusahaan menggunakan jasa pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu yang sebelumnya dilakukan oleh pekerja internal. Praktik ini diadopsi oleh banyak perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya operasional. Namun, di sisi lain, praktik ini sering kali menimbulkan permasalahan terkait kesejahteraan dan keamanan kerja bagi para pekerja yang dialihdayakan.
Pada Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2023, pengusaha diizinkan untuk melakukan outsourcing atau memperoleh tenaga kerja dari perusahaan lain, yang berpotensi mengurangi hak-hak para pekerja dan buruh, seperti tunjangan dan jaminan sosial. Artinya, perusahaan dapat mengontrak atau memperoleh tenaga kerja dari perusahaan lain untuk melaksanakan bagian-bagian tertentu dari pekerjaan mereka. Ini memberikan fleksibilitas kepada perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja dengan keterampilan atau spesialisasi tertentu tanpa harus merekrut secara langsung. Hal ini berpotensi mengurangi hak-hak pekerja yang tidak mendapatkan perlindungan dan manfaat yang sama seperti pekerja tetap, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan ketidakamanan kerja.
Berdasarkan kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2023, terdapat jaminan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Sebelumnya, banyak pekerja terutama di industri tidak mendapatkan haknya secara penuh dari perusahaan yang melakukan PHK. Namun, UU Ciptaker menetapkan bahwa setiap pekerja yang kehilangan pekerjaan akan mendapatkan manfaat dari program jaminan kehilangan pekerjaan, yang mencakup kompensasi, manfaat tunai, pelatihan, dan penyaluran kembali ke pasar kerja. Selain itu, hak-hak pekerja perempuan seperti cuti hamil dan cuti haid tetap dijamin oleh undang-undang ini.
Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2023 juga terdapat perubahan signifikan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Salah satu perubahan tersebut adalah bahwa PKWT kini dapat diberlakukan hingga maksimal 5 tahun, termasuk perpanjangannya. Hal ini merupakan perpanjangan dari aturan sebelumnya yang hanya memperbolehkan kontrak PKWT maksimal selama 2 tahun dengan perpanjangan 1 tahun (total maksimal 3 tahun).
Perubahan ini memberikan perusahaan lebih banyak fleksibilitas dalam mengatur hubungan kerja dengan karyawan kontrak. Dengan jangka waktu yang lebih panjang, perusahaan dapat mempertahankan karyawan dalam periode yang lebih lama tanpa perlu mempekerjakan mereka sebagai karyawan tetap. Di sisi lain, perubahan ini juga berdampak pada kestabilan pekerjaan bagi karyawan kontrak yang bisa bekerja lebih lama dalam satu perusahaan tanpa harus khawatir tentang pembaruan kontrak setiap tahun.
Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja 2023, ketika Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berakhir, pekerja berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan masa kerja mereka. Namun, PKWT tidak boleh digunakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, karena untuk itu ada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Jika ada masa percobaan dalam PKWT, aturan tersebut dianggap batal demi hukum, dan waktu kerja selama masa percobaan harus dihitung sebagai masa kerja keseluruhan.
Selain itu, UU Cipta Kerja menetapkan jaminan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, termasuk mereka yang bekerja di bawah PKWT. Mereka berhak mendapatkan manfaat dari program jaminan kehilangan pekerjaan, yang mencakup kompensasi, manfaat tunai, pelatihan, dan bantuan dalam penyaluran kembali ke pasar kerja. Aturan uang kompensasi ini juga berlaku apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja, misalnya pemutusan kontrak sebelum jangka waktu berakhir baik oleh pengusaha maupun karyawan.
Perubahan regulasi ini diharapkan dapat membawa dampak positif bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja outsourcing diharapkan dapat merasakan peningkatan kesejahteraan dan kepastian kerja, karena Pekerja juga tetap memiliki hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan kejelasan mengenai status kerja mereka.. Selain itu, perusahaan dapat beroperasi dengan lebih transparan dan bertanggung jawab. Perusahaan perlu menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini, yang mungkin memerlukan waktu dan biaya tambahan. Sementara itu, pemerintah harus memastikan bahwa pengawasan dilakukan secara efektif agar tujuan dari UU ini dapat tercapai.
UU Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2023 merupakan langkah maju dalam upaya perlindungan hak-hak pekerja outsourcing di Indonesia. Dengan aturan yang lebih jelas dan perlindungan yang lebih kuat, diharapkan kesenjangan antara pekerja tetap dan pekerja outsourcing dapat diminimalisir. Keberhasilan implementasi UU ini sangat bergantung pada komitmen semua pihak terkait, termasuk perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pemerintah, untuk bekerja sama menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.
*Penulis adalah mahasiswa dan dosen S2 Ilmu Manajemen FEB USU(BR)