OPINI

Anak dalam Lingkar KDRT: Korban yang Terlupakan

Anak dalam Lingkar KDRT: Korban yang Terlupakan
Ilustrasi KDRT Anak. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Joseph Halomoan Tua Tambunan, Karina Aprilia Rumapea dan Grace Putri P. Panggabean

KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) kerap dipahami sebagai masalah yang melibatkan hubungan antara pasangan suami istri, dengan fokus utama pada korban langsung, yakni istri atau suami yang mengalami kekerasan fisik atau emosional. Namun, di balik peristiwa KDRT, ada kelompok korban lain yang sering kali luput dari perhatian yaitu anak.

Anak dalam lingkar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah anak yang terlibat atau terdampak secara langsung atau tidak langsung oleh kekerasan yang terjadi di dalam keluarga, baik kekerasan fisik, psikologis, seksual, maupun ekonomi. Anak-anak yang berada dalam situasi KDRT tidak selalu menjadi korban langsung dari kekerasan, tetapi mereka dapat menyaksikan atau mendengar kekerasan tersebut, yang dapat berdampak signifikan pada perkembangan emosional, psikologis, dan sosial mereka.

Meski tidak selalu menjadi korban langsung, anak yang tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang penuh kekerasan turut terdampak secara psikologis, emosional, dan bahkan fisik.

Belakangan ini, Indonesia dihebohkan dengan sebuah video KDRT yang diunggah oleh seorang selebgram di salah satu platform sosial media yaitu Instagram. Selebgram Cut Intan Nabila menjadi korban brutal tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya, Armor Toreador. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak, justru sebaliknya kerap menjadi tempat pelanggaran hak-hak anak. Ini menunjukkan kasus kekerasan dalam rumah tangga masih terus terjadi sehingga menciptakan ketidakharmonisan dalam sebuah keluarga.

Perlindungan hukum terhadap anak dari KDRT harus diupayakan demi menjamin hak hak generasi penerus bangsa, ini terbukti dengan dikeluarkannya UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT oleh Pemerintah. Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orangtua dan keluarganya saja, tetapi juga pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat luas. Ini selaras dengan yang ditegaskan dalam UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT. Keluarga, aparat penegak hukum, Lembaga sosial dan Lembaga Kesehatan, serta komunitas lainnya, termasuk sekolah, memiliki peran penting guna memenuhi hak anak korban KDRT.

Trauma Psikologis Anak-Anak : Korban yang Tak Terlihat

Di balik setiap kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sering kali ada korban yang tidak terlihat namun mengalami dampak yang mendalam dan berkepanjangan: anak-anak. Meski tidak selalu menjadi target langsung dari kekerasan, anak- anak yang menyaksikan atau hidup di lingkungan penuh konflik dan kekerasan menghadapi trauma psikologis yang tak kalah berat. Mereka adalah korban yang tak terlihat—tersembunyi di balik dinamika keluarga yang rusak, mereka menyerap kekerasan secara emosional dan psikologis, sering kali tanpa suara dan tanpa perlindungan yang memadai.

Hal ini dapat kita lihat dari kasus KDRT yang dialami Cut Intan Nabila dalam potongan video yang diunggahnya, terlihat bahwa ada korban KDRT yang lainnya yaitu anak-anak dalam keluarga tersebut yaitu bayi yang diperkirakan baru berumur satu minggu terkena tendangan dari ayahnya di tempat kejadian perkara (TKP). Selain itu, dua anak lainnya juga menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah pada ibunya.

Melalui keterangan polisi yang telah melakukan penyidikan ke rumah Cut Intan Nabila, anak- anak dari selebgram tersebut ikut menjadi korban KDRT karena mengalami kekerasan psikis yaitu munculnya rasa takut atau trauma bertemu laki-laki setelah melihat ayahnya yang melakukan kekerasan fisik terhadap ibunya.

Kekerasan dalam rumah tangga meninggalkan trauma secara permanen yang dapat mengganggu perkembangan fisik dan emosional anak. Adanya dampak tersebut menunjukkan bahwa KDRT memberikan pengaruh yang serius pada perkembangan anak. Dibutuhkan penanggulangan yang serius bagi para korban serta perlunya aksi yang tepat untuk menghentikan segala jenis kekerasan dalam rumah tangga di lingkungan terdekat.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari KDRT

Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan peraturan perundang-undangan, kebijakan, usaha, dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan terhadap anak.

Perlindungan hukum bagi anak dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), seperti yang dialami oleh Cut Intan, juga mengangkat isu penting mengenai perlindungan anak-anak yang turut terdampak oleh kejadian tersebut. Dalam kasus ini, anak-anak dari Cut Intan tidak hanya berpotensi menjadi saksi kekerasan fisik dan mental yang dialami ibu mereka, tetapi juga menghadapi trauma jangka panjang yang membahayakan kesejahteraan mereka. Untuk itu, Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjadi sangat relevan dalam memastikan anak-anak korban kekerasan mendapatkan hak-hak perlindungan yang memadai.

Pasal 59A UU No. 35 Tahun 2014 mengatur tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang menjadi korban atau saksi kekerasan. Anak-anak Cut Intan Nabila yang menyaksikan kekerasan yang dialami ibu mereka berhak mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah dan lembaga terkait. Perlindungan ini meliputi layanan rehabilitasi psikologis, dukungan sosial, dan upaya pemulihan untuk mengatasi dampak trauma.

Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2014 menekankan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk melindungi anak dari kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus Cut Intan Nabila, pasal ini menggarisbawahi kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan perlindungan dan pemulihan bagi anak-anaknya, serta memastikan bahwa mereka tidak terpapar kekerasan lebih lanjut.

Pasal 28B UU No. 35 Tahun 2014 menyatakan hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan. Anak-anak yang terpapar KDRT, seperti anak-anak Cut Intan Nabila, berhak untuk berada dalam lingkungan yang aman, yang mendukung perkembangan fisik, emosional, dan sosial mereka tanpa ancaman kekerasan.

UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) juga memberikan perlindungan hukum bagi anak-anak yang terlibat dalam KDRT sebagai korban tidak langsung.

Pasal 1 mendefinisikan korban KDRT sebagai setiap orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Anak-anak Cut Intan Nabila yang menyaksikan kekerasan terhadap ibu mereka termasuk dalam kategori korban kekerasan psikis, karena mereka mengalami dampak emosional dan psikologis dari kekerasan tersebut.

Pasal 25 menekankan perlunya perlindungan khusus bagi anak-anak yang menjadi korban atau saksi KDRT. Pasal ini memastikan bahwa anak-anak yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang diperlukan untuk memastikan mereka dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam kasus KDRT, seperti kasus Cut Intan Nabila, sangat penting untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dengan adanya pasal-pasal yang jelas mengenai hak perlindungan dan pemulihan bagi anak-anak, pemerintah dan aparat hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak- anak korban KDRT mendapatkan perlindungan, dukungan, dan rehabilitasi yang mereka butuhkan untuk pulih dan melanjutkan kehidupan mereka dengan aman dan sehat.

Peran Institusi dan Aparat Penegak Hukum

Selain adanya undang-undang yang melindungi hak setiap anak terdapat pula institusi dan aparat penegak hukum berupa lembaga terkait yang memiliki tugas untuk memberikan perlindungan terhadap anak termasuk anak dari korban KDRT. Diantaranya seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Komnas Perempuan Anak (Komnas PA). Disamping lembaga dan institusi di atas adanya kedudukan aparat penegak hukum yang mempunyai fungsi dan tugas yang serupa dalam hal perlindungan perempuan dan anak, antara lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, PK BAPAS dan lembaga lainnya di luar lembaga yang berkenaan langsung dengan Perlindungan Perempuan dan Anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang merupakan salah satu lembaga perlindungan anak dalam salah satu tugasnya berdasarkan Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 huruf (d) menerima dan melakukan penelahaan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak. Layanan Pengaduan KPAI menjadi pintu masuk masyarakat untuk melaporkan pelanggaran Hak Anak. Sifatnya khusus karena tidak tersedia layanan pendampingan langsung kepada anak, sehingga menggunakan mekanisme rujukan ke lembaga mitra terkait untuk Pemenuhan Hak Anak. Layanan pengaduan ini dapat diakses melalui laman resmi KPAI (www.kpai.go.id) melalui beberapa layanan seperti call center ( (021) 31901556)) atau melalui email ([email protected]) .

Setiap lembaga dan institusi tersebut walaupun mempunyai porsinya masing-masing, akan tetapi pada tupoksinya adalah sama, yang tetap berpedoman terhadap kode etik, fungsi, tugas, wewenangnya masing-masing dan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan anak dan perempuan yang berlaku. Perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak hanya tugas dari institusi maupun lembaga yang terkait dengan perlindungan perempuan dan anak sebagaimana disebutkan di atas, akan tetapi demi terwujudnya cita-cita perlindungan anak dan perempuan yang baik adalah koordinasi dari semua pihak baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menuju Indonesia Maju.

Penutup
Perlindungan hukum bagi anak-anak korban KDRT seperti dalam kasus Cut Intan harus menjadi prioritas yang nyata, bukan sekedar retorika dalam undang-undang. Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan trauma yang mereka alami karena kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak jangka panjang yang dapat merusak masa depan mereka. Sistem hukum yang berpihak pada korban harus mampu merangkul semua pihak yang terdampak, memberikan keadilan yang menyeluruh, dan memastikan bahwa trauma masa lalu tidak menjadi bayangan yang terus menghantui kehidupan anak-anak ini.

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi