Opini Ardina Fariani Lubis, S.H., M.H.

Perempuan, Demokrasi dan Politik

Perempuan, Demokrasi dan Politik
Ardina Fariani Lubis, S.H., M.H. (Analisadaily/Istimewa)

PASAL 1 UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdaulat, dimana dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Kata kedaulatan berasal dari bahasa arab yaitu “daulah”, yang berarti “kekuasaan tertinggi”, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa kata “daulat” memiliki arti “kekuasaan; pemerintahan”, dan kata “kedaulatan” bermakna “kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya”.

Dengan demikian, “kedaulatan berada di tangan rakyat” yang artinya bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kedaulatan rakyat dapat juga diartikan bahwa pemerintahan mendapatkan mandatnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dengan kata lain, pemerintahan yang ada diselenggarakan dan dilakukan oleh rakyat, guna mencapai tujuan yang diharapkan rakyat.
Sistem pemerintahan yang demikian disebut dengan “demokrasi”.

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti “rakyat”, dan “kratos/cratein” yang berarti “pemerintahan atau kekuasaan.” Singkatnya, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat.
Pada dasarnya, kekuasaan suatu negara demokrasi berada di tangan rakyat untuk mencapai kepentingan bersama.

Penerapan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia didasari oleh sila keempat Pancasila, yang berbunyi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" yang dijiwai oleh keempat sila lainnya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sebagai satu kesatuan.

Demokrasi Pancasila merupakan sebuah paham demokrasi yang dilandasi oleh prinsip- prinsip yang terdapat dalam Pancasila, yang telah diyakini oleh masyarakat Indonesia sejak masa lampau.

Paham demokrasi ini berasaskan kekeluargaan, memiliki kesadaran akan nilai- nilai religius dan berbudi pekerti luhur, guna membentuk masyarakat yang adil dan sejahtera. Singkatnya, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik, dimana politik merupakan sarana dalam menyelenggarakan pemerintahan demokratis yang sesuai dengan regulasi yang ada. Dalam sebuah negara demokrasi, rakyat memegang peranan penting, tidak sekedar hanya menjadi objek kebijakan saja, melainkan juga dapat menjadi penentu kebijakan.

Dalam sebuah negara demokrasi, kekuasaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dilaksanakan secara langsung, akan tetapi melalui sistem perwakilan, dimana pelaksanaan kekuasaan dilaksanakan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat (parlemen), yang bertindak atas nama rakyat, guna mendapatkan tujuan yang hendak dicapai oleh negara.
Pemilihan umum merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan demokrasi.

Kedaulatan dimaksud, tidak hanya diwujudkan dengan melaksanakan pemilu saja, akan tetapi bisa juga dengan cara berperan aktif memberikan saran/masukan, usulan serta kritikan yang bersifat membangun kepada pemerintah, serta mengawasi jalannya roda pemerintahan, melalui cara-cara yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih para wakil rakyat, yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para wakil rakyat tersebut dapat benar- benar dapat bertindak atas nama rakyat, apabila wakil-wakil rakyat itu ditentukan sendiri oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan sistem demokrasi. Partisipasi dan keterlibatan dari seluruh warga negara dalam berdemokrasi, tanpa memandang perbedaan jenis kelamin atau gender, baik laki-laki maupun perempuan, menentukan maju dan berkembangnya suatu negara.
Keberadaan dan partisipasi kaum perempuan dalam politik pemerintahan seharusnya dapat selaras dengan partisipasi kaum laki-laki.

Pemerintah menjamin keberadaan hak-hak warga negara untuk berperan aktif dalam pemerintahan, tanpa adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, sesuai ketentuan pasal 27 ayat 1 Undang Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Dengan demikian, berdasarkan pasal tersebut, pemerintah telah memberi ruang bagi setiap warga negara, tanpa adanya perbedaan jenis kelamin, suku, agama, ras dan budaya untuk ikut serta dalam pemerintahan, termasuk dalam hal politik.

Berbicara tentang hak politik, perempuan memiliki hak memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat. Keberadaan perempuan sebagai wakil rakyat (parlemen) dapat meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dengan cara mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan, serta turut serta dalam proses pembangunan.

Faktanya, perempuan lebih banyak menggunakan salah satu haknya, yakni sebagai pemilih saja, sementara haknya untuk dipilih kurang mendapat perhatian, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri.

Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya budaya patriarki, yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama serta mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan sebagainya. Budaya patriarki memposisikan kedudukan laki-laki sebagai yang paling tinggi, berkuasa, sentral dan segalanya.

Faktor lainnya adalah partai politik, dimana seharusnya partai politik dapat berperan penting dalam meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Di Indonesia, pemerintah telah membuat kebijakan adanya kuota atau jatah keterlibatan perempuan dalam politik sebanyak 30%, tetapi sering kali kebijakan ini hanya dijadikan sebuah syarat untuk bisa mengikuti pemilu oleh partai politik semata.

Kualitas perempuan untuk menjadi wakil dan pemimpin di parlemen juga masih sering diragukan dalam tubuh partai politik. Padahal seharusnya, partai politik dapat meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan dalam parlemen, mengingat para calon wakil rakyat tumbuh dan berkembang melalui wadah partai politik.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia, antara lain dengan memberikan pendidikan politik sejak awal dari dalam keluarga, adanya dorongan dan advokasi dari berbagai pihak kepada kaum perempuan agar mau aktif terlibat dalam kegiatan organisasi dan politik, demi membantu melindungi dan memperjuangkan hak- hak perempuan, serta mendapatkan perlakuan yang adil dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan oleh pemerintah.

Data populasi penduduk di dunia maupun di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Demikian halnya dengan pemilih perempuan, tentunya lebih banyak daripada pemilih laki-laki.

Di sisi lain, semakin banyak keterwakilan perempuan dalam parlemen dan partai politik, tentu semakin banyak pula jumlah perempuan yang dapat mengakomodir kepentingan, kebutuhan dan kesejahteraan kaum perempuan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan perempuan bisa menjadi penentu kesuksesan pada sebuah pemilu, yang pada gilirannya juga berpotensi menjadi penentu maju-mundur dan berkembangnya suatu bangsa dan negara.

Dan keterlibatan perempuan dalam politik pada sebuah sistem demokrasi, tentunya akan sangat bepengaruh dalam menyuarakan hak-hak dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan kaum Perempuan.

Editor:  Bambang Riyanto

Baca Juga

Rekomendasi