Analisadaily.com, Banda Aceh - Di sebuah sudut kota yang dipenuhi kenangan kelam, Teuku Hafid Hududillah berdiri sebagai penjaga masa depan. Dua puluh tahun silam, samudra yang ganas merenggut nyawa banyak orang yang dia cintai, meninggalkan jejak luka mendalam yang tak akan terlupakan. Tsunami Samudra Hindia pada 26 Desember 2004 mencatatkan sejarah kelam bagi Aceh, menelan lebih dari 126.000 nyawa di provinsi ini, dan lebih dari 230.000 korban jiwa di seluruh dunia. Namun, di balik kepedihan itu, lahir sebuah tekad yang membara; untuk memastikan agar bencana serupa tidak terulang tanpa persiapan yang matang.
"Saat ini, kami yakin Aceh telah siap untuk evakuasi jika tsunami datang kembali," ujar Hududillah dengan penuh keyakinan, seraya menunjuk menara sirene yang berdiri kokoh di Banda Aceh. Di balik kata-katanya yang tenang, terselip harapan agar tak ada lagi bencana yang menghampiri tanah yang pernah terluka ini. Namun, ia juga mengakui bahwa meskipun persiapan telah dilakukan, segala sesuatunya tetap bergantung pada takdir yang tak terduga.
Sistem baru yang tengah diperkenalkan tidak hanya mengandalkan sirene sebagai peringatan dini, melainkan juga mengirimkan pesan peringatan melalui telepon dan radio, memberi tahu warga tentang kemungkinan gempa yang terjadi dengan kekuatan lebih dari 5 skala Richter. Sebuah langkah penuh harapan untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa, di tengah kenyataan bahwa Indonesia berada di kawasan Cincin Api Pasifik, yang terkenal dengan potensi gempa dan tsunami yang luar biasa.
Namun, meski langkah ini patut dihargai, tak sedikit pula kritik yang mencuat. Aceh, seperti banyak wilayah lainnya, masih menghadapi tantangan besar dalam hal investasi infrastruktur mitigasi bencana. Mengingat bencana di Palu, Sulawesi Tengah pada 2018 yang merenggut nyawa ratusan orang meski sirene telah dipasang, terdapat keprihatinan tentang kesiapan sistem yang sebenarnya.
Di Aceh, masyarakat kini berlatih dengan tekun untuk menghadapi bencana. Zainuddin, seorang warga berusia 54 tahun, mengingatkan pentingnya memperbaiki perencanaan kota agar bisa menyelamatkan diri ketika bencana datang. "Jalan-jalan kita tidak cukup lebar, terutama saat jam sibuk. Akan sangat sulit untuk melarikan diri jika tsunami terjadi," ungkapnya, suara bijaknya menggema dalam ruang yang penuh ketakutan dan harapan.
Kini, dengan sistem peringatan yang semakin canggih dan pelatihan yang semakin rutin dilakukan, Aceh mulai menunjukkan bahwa ia tak hanya siap menghadapi gempa dan tsunami, tetapi juga siap bangkit dari segala keterpurukan. Akan tetapi, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Infrastruktur yang lebih kuat dan perencanaan kota yang lebih baik adalah kunci agar ke depannya, tidak ada lagi korban yang jatuh dalam pelukan bencana. Begitulah, dalam keheningan Banda Aceh, harapan akan sebuah masa depan yang lebih aman terus menggema, seiring dengan peringatan yang siap berbunyi.