Rekor Tertinggi Suhu Laut Tingkatkan Kekhawatiran Soal Perubahan Iklim

Rekor Tertinggi Suhu Laut Tingkatkan Kekhawatiran Soal Perubahan Iklim
Seseorang memancing saat matahari terbenam di Dermaga Jalan Kerferd di Pelabuhan Pantai Melbourne di Melbourne, Australia, pada 10 Januari 2025. (ANTARA/Xinhua/Ma Ping)

Analisadaily.com, Beijing - Para ilmuwan menyatakan bahwa tidak lagi mengejutkan jika suhu lautan global secara konsisten memecahkan rekor pemanasan, menurut sebuah studi yang diterbitkan pada Jumat (10/1).

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences ini mengungkap bahwa suhu air laut di bagian permukaan maupun area yang lebih dalam mencapai rekor tertinggi pada 2024 sejak pengamatan instrumental yang dilakukan manusia dimulai pada abad ke-19.

Dilansir dari Antara, Sabtu (11/1), studi tahunan itu dilakukan oleh tim ilmuwan multinasional dari tujuh negara, termasuk China, Amerika Serikat (AS), Italia, dan Prancis.

Kepala peneliti Cheng Lijing dari Institut Fisika Atmosfer (Institute of Atmospheric Physics/IAP) di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS) telah memimpin studi tentang suhu lautan global ini selama bertahun-tahun.

Menurut dia, lautan, yang mencakup 70 persen permukaan Bumi, merupakan komponen penting bagi iklim planet tersebut karena menyerap sekitar 90 persen kelebihan panas yang disebabkan oleh pemanasan global.

"Lautan menentukan pola cuaca dengan mentransfer panas dan kelembapan ke atmosfer, dan hal itu juga mengendalikan laju perubahan iklim," kata Cheng.

Untuk memahami apa yang sudah terjadi atau apa yang akan terjadi pada planet ini, kita harus mencari jawabannya di lautan, imbuh dia. Studi terbaru mengungkap bahwa pada periode 2023-2024, peningkatan kandungan panas di 2.000 meter teratas lautan setara dengan 140 kali total listrik yang dihasilkan di seluruh dunia pada 2023.

Suhu permukaan laut juga memecahkan rekor. Suhu permukaan mengacu pada suhu lapisan paling atas lautan yang jaraknya paling dekat dengan atmosfer. Suhu itu krusial karena menentukan laju perpindahan panas dan kelembapan dari lautan ke atmosfer, sehingga memengaruhi pola cuaca, Cheng memaparkan.

Menurut data dari IAP, rata-rata suhu permukaan laut global pada 2024 naik 0,07 derajat Celsius dibandingkan pada 2023, mencetak rekor baru sejak dimulainya pencatatan data observasi modern. Data pemantauan dari AS dan sejumlah institusi penelitian Eropa yang terlibat dalam studi ini juga menunjukkan tren peningkatan yang konsisten.

Menurut studi itu, perubahannya tidak seragam, dengan variasi regional yang signifikan. Samudra Atlantik mengalami pemanasan bersamaan dengan suhu di Laut Mediterania dan Samudra Selatan di garis lintang tengah.

Sementara itu, suhu di beberapa area di Samudra Pasifik Utara meningkat dengan cepat, sedangkan di area-area lain, khususnya wilayah tropis, pemanasan terjadi dengan lebih lambat. Hal itu terutama disebabkan oleh pengaruh fenomena cuaca La Nina/El Nino di area tersebut.

Suhu lautan yang meningkat memengaruhi kehidupan laut dan menyebabkan berbagai kerusakan signifikan. Menurut para ilmuwan, salah satu cara lautan terus memengaruhi iklim adalah dengan meningkatkan uap air di atmosfer, yang memperparah kondisi ekstrem dalam siklus hidrologi.

"Uap air juga merupakan gas rumah kaca yang kuat dan peningkatan pemanasan menyebabkan pengeringan serta risiko kekeringan dan kebakaran hutan. Itu dapat memicu badai dan meningkatkan risiko banjir, termasuk yang disebabkan oleh hurikan dan topan," kata Dr. Kevin Trenberth, anggota tim peneliti sekaligus ilmuwan di Pusat Penelitian Atmosfer Nasional di Amerika Serikat.

Menurut data suhu lautan, tahun 2024 dipastikan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat secara global sejak pengamatan yang dimulai pada tahun 1850.

Layanan Perubahan Iklim Copernicus yang didanai Uni Eropa pada Jumat mengungkapkan bahwa rata-rata suhu global pada 2024 mencapai 15,1 derajat Celcius, meningkat 0,12 derajat Celsius dibandingkan pada 2023, yang sebelumnya merupakan tahun terpanas yang pernah didokumentasikan.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa apabila tidak ada tindakan yang diambil untuk memperlambat perubahan iklim, gangguan, perubahan-perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan implikasi lainnya, maka biaya dan kerusakan yang harus ditanggung akan terus meningkat.

(ANT/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi