
War Djamil (analisadaily/istimewa)
PERS dunia dikenal dengan salah satu fungsinya yang kuat yakni melakukan pengawasan sosial (social control). Tak kecuali pers di Indonesia melakukan hal serupa. Ini tercantum dengan jelas dalam Pasal 3 Ayat-1 Undang Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.
Nah. Pihak pers nasional hendaknya menyadari sisi pengawasan publik terhadap pers. Artinya jika publik menyampaikan kritik atas pemberitaan pers, atau menyoroti artikel dari media, maupun mengecam adanya foto vulgar dalam media cetak atau yang disiarkan media televisi, hendaknya diterima dengan jiwa besar. Lakukan koreksi. Jika keliru, berikan perbaikan seraya sampaikan pernyataan maaf secara terbuka.
Media meminta maaf kepada publik atas kekeliruan pemberitaan, atas bagian artikel yang tidak pantas, atas foto yang berlebihan, memang hal yang memberatkan dan "merasa sangat malu". Tetapi, itu harus dilakukan, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.
Hal serupa misalnya tatkala media menyiarkan kiriman Hak Jawab dari publik. Jika berisi bantahan/sanggahan yang ternyata benar sebagai kekeliruan pihak media, sesungguhnya hal itu juga mengurangi kredibilitas media.
Namun, pemuatan atau penyiaran Hak Jawab sebagai memenuhi ketentuan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Itu pula, bagian dari "jiwa besar" media dalam sisi pertanggung-jawaban kepada publik.
Jika media diawasi publik, sesungguhnya suatu hal wajar. Bahkan dalam UU Pers, tepatnya pada Pasal 17 dengan dua ayat, jelas peran serta masyarakat diberikan seluas-luasnya. Artinya, terbuka peluang atau kesempatan bagi publik untuk mengawasi media.
Merujuk pada Pasal 17 UU Pers, publik dipersilahkan memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
Peran publik bukan itu saja. Lebih dari itu, publik dapat pula menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional (lihat UU Pers, Pasal 17 Ayat-2 Butir-b).
Pertanyaan yang sesekali muncul dari publik, biasanya dari peserta seminar pers, dialog pers atau diskusi pers. Yakni, seberapa besar peran publik dalam ambil bagian dengan memanfaatkan pasal-17 UU Pers itu ?.
Bolehlah saya jawab begini. Secara umum, sangat sedikit, kalau tak hendak disebut hampir-hampir tidak ada. Artinya, dalam jangka waktu tertentu, misalnya, antara Hari Pers Nasional tahun sebelumnya dengan HPN tahun berikutnya, apakah ada muncul peran dan pengawasan publik?. Sebut saja, kritik publik terhadap pemberitaan media ? Atau apapun bentuknya yang tergolong sebagai bagian dari pengawasan publik ? Atau peran publik ?
Saya katakan "hampir-hampir tidak ada". Justru masuk ke Dewan Pers berupa pengaduan publik atas pemberitaan yang dinilai perorangan, institusi atau kelompok, merugikan nama baik, karena berita tersebut mereka nilai "tidak benar".
Mari kita bedakan antara bentuk pengaduan atas berita yang merugikan publik dengan pengawasan dan peran serta publik.
Meski sebagian pihak menyatakan perbedaan itu tergolong "beda tipis". Tetapi tetap saja ada perbedaan prinsip.
Dunia pers memang tergolong unik. Pers mengawasi publik. Pada saat sama, publik juga mengawasi pers. Mari kita menempatkannya secara proporsional dan bekerja profesional. Semoga.
Berita kiriman dari: