
PERS dunia mengenal jurnalisme data (data journalism), yaitu informasi yang memberi perhatian utama pada data. Ini penting dalam mendukung akurasi informasi. Sehingga berita makin bermutu. Sampai kini, sejumlah media profesional "menganut" prinsip ini.
Kini. Seirama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, populer bagi publik : media siber. Praktisi pers dan akademisi disiplin ilmu jurnalistik, memperkenalkan jurnalisme siber (cyber journalism).
Meski tak semua media massa di dunia menerapkan jurnalisme data dan jurnalisme siber.
Tetapi beberapa media profesional, tetap fokus. Tak heran, liputan atau sajian media itu, terutama pemberitaannya menempati peringkat mutu tinggi (maaf, bukan asal-asalan).
Salah satu indikator itu, sering kalangan pers menyebut pemberitaan tersebut memiliki nilai berita (news value) sangat baik. Adakah berita tanpa nilai berita ?. Jawabnya : Ada. Bahkan banyak !.
Sekarang operasional awak media dimasuki teknologi yang dikenal dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Mesin buatan manusia yang dibilang cerdas.
Menyimak hal-hal tersebut. Suatu sisi lain patut pula ditelaah pihak media yakni seberapa besar informasi media benar-benar mencapai sasaran. Artinya, publik mengerti ? Atau, publik sebatas "cuma tahu sekilas".
Di sini. Saya kira, pihak pengelola media sebaiknya menerapkan apa yang dikenal dalam pers dunia yaitu jurnalisme bermakna (meaningful journalism).
Tentu salah satu inti dari keberadaan media, terjadi komunikasi dengan publik ataupun komunikasi antarpublik. Nah. Kiranya bolehlah pula disebut komunikasi bermakna (meaningful communication).
Hal penting tatkala media menyebarkan informasi dan komunikasi berlangsung dengan efektif, kiranya publikasi media sesungguhnya publik mengerti.
Patut pula redaksi media sadar. Tentang informasi yang dibaca/didengar/dilihat oleh publik dengan beragam yakni beda usia, dan latar belakang pendidikan serta beda-beda lainnya.
Menjawab latar belakang beda-beda itu, sajian patut diolah menjadi sederhana agar mudah dicerna publik. Olahan informasi sederhana itu, mudah dimengerti semua pihak.
Memasukkan istilah tergolong ilmiah atau semi ilmiah, boleh-boleh saja sepanjang sejalan dengan konten informasi dimaksud.
Namun dalam pemberitaan peristiwa misalnya, publik akan lebih mengerti jika olahan dalam berita itu memang apa adanya, sederhana. Sebab, sasaran akhir dari sajian itu yakni publik memperoleh informasi dan mengerti.
Penjabaran informasi bermakna mungkin secara meluas dapat dilakukan media jika memiliki wartawan berkualitas. Media melalui pendidikan dan pelatihan internal, sebaiknya memperkenalkan secara mendalam tentang meaningful journalism secara maksimal.
Kini. Sebagian wartawan boleh dibilang belum menyentuh jurnalisme bermakna. Bukan cuma itu. Sebagian yang bergerak dalam media siber, juga belum serius menguasai hal-hal terkait cyber journalism.
Padahal, dengan mengetahui "ilmu" jurnalisme itu, justru makin meningkat profesionalisme wartawan guna melahirkan karya-karya jurnalistik.
Memang. Tidak semua memiliki Lembaga Diklat internal. Kalau pun ada, sebagian kurang aktif. Penyebabnya dua hal. Pertama, belum serius menangani program diklat. Kedua, dukungan perusahaan media yang belum sepenuh hati.
Wadah/organisasi kewartawanan kiranya patut juga mengadakan diklat dengan materi ini.
Mari kita mengetuk hati jajaran redaksi, terutama unsur pimpinan keredaksian, mengutamakan penerapan jurnalisme bermakna, agar terwujud komunikasi bermakna dalam kehidupan masyarakat yang memang butuh informasi dan komunikasi.
Jangan lupa. Jika sajian itu tak bermakna, berarti informasi yang diterima publik juga tergolong sia-sia, tidak bermanfaat apapun. Jika itu terjadi, bagi media cuma mengisi kolom atau rubrik, hanya sekedar tayang atau cuma pengisi jam siar.