Ilustrasi pohon karet (Pixabay)
Analisadaily.com, Medan - Tanaman karet pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada 1864 oleh Hofland, pada masa kolonial Belanda, dan ditanam sebagai koleksi ilmiah di Kebun Raya Bogor.
Sejak 1902, budidaya komersial mulai dijalankan, ditandai dengan lahirnya kebun karet rakyat yang menjadikan karet sebagai komoditas unggulan di berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Pada awalnya, Indonesia hanya mengekspor karet dalam bentuk lembaran (sheet), namun sejak 1968 melalui inisiatif Prof. Sumitro Djojohadikusumo—Menteri Perdagangan saat itu—Indonesia mulai mengembangkan industri pengolahan karet remah (crumb rubber) untuk meningkatkan nilai tambah ekspor.
Sejak saat itu, karet tidak hanya berfungsi sebagai komoditas pertanian, tetapi juga menjadi bahan baku strategis bagi industri hilir seperti ban, alat kesehatan, dan komponen otomotif. Dalam sejarahnya, karet bahkan pernah menjadi penyumbang devisa terbesar dari sektor perkebunan.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumatera Utara (Gapkindo Sumut) Edy Irwansyah menjelaskan, saat ini karet alam tetap memiliki prospek cerah di pasar global.
Konsumsi dunia pada tahun 2024 tumbuh sebesar 2,3%, didorong oleh permintaan sektor otomotif dan industri manufaktur. Negara-negara Afrika kini menjadi kawasan paling aktif dalam perluasan budidaya karet, menggambarkan bahwa banyak negara melihat masa depan cerah dari komoditas ini.
“Di tengah tren tersebut, rencana pemerintah Indonesia untuk mengonversi sekitar 2,7 juta hektare lahan karet menjadi sawit justru menimbulkan polemik,” kata Edy, Jumat (4/7).
Menurutnya, kebijakan itu dikhawatirkan akan melemahkan ekosistem yang telah dibangun lebih dari satu abad, melepas keunggulan historis Indonesia sebagai pemain utama karet alam dunia, “Justru saat peluang global masih terbuka lebar,” ucapnya.
Bila konversi lahan karet segera direalisasikan, berikut ini adalah potensi dampaknya di Sumut, menurut Gapkindo.
1. Semua Pabrik Pengolahan Karet Remah di Sumut Terancam Tutup Permanen
Tanpa pasokan Bahan Olah Karet (BOKAR) yang memadai, industri pengolahan karet remah tidak dapat beroperasi karena tidak tersedia bahan baku. Konversi lahan secara masif akan mengurangi ketersediaan BOKAR dari petani maupun perusahaan perkebunan, yang selama ini menjadi sumber utama pasokan untuk pabrik. Semua pabrik dalam posisi rentan.
“Jika pabrik-pabrik ini tutup permanen, maka seluruh rantai pasok dari petani hingga industri hilir akan terputus, menghentikan aktivitas ekonomi yang telah berlangsung selama puluhan tahun,” Edy menuturkan.
2. PHK Massal dan Lesunya Ekonomi Daerah
Penutupan industri pengolahan karet tidak hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga lebih dari ratusan ribu tenaga kerja yang terkait akan kehilangan mata pencaharian. PHK massal akan sulit dihindari, baik terhadap karyawan tetap maupun tenaga harian lepas.
Selain itu, usaha mikro dan kecil yang bergantung pada aktivitas pabrik—seperti warung, angkutan, dan logistik lokal—juga akan terdampak.
“Ekonomi daerah yang sangat tergantung pada komoditas karet akan mengalami pelemahan drastis, menurunkan daya beli masyarakat dan meningkatkan risiko kemiskinan struktural,” kata Edy.
3. Petani Karet Tersingkirkan dari Sistem
Dikatakan Edy, tidak semua daerah penghasil karet cocok untuk budidaya komoditi selain karet. Banyak petani yang berada di dataran tinggi, tanah marginal, atau daerah berlereng curam tidak memiliki pilihan lain selain tetap menanam karet.
Ketika pasar lokal menghilang karena tutupnya industri pengolahan, petani-petani ini menjadi kelompok yang paling dirugikan. Mereka kehilangan akses pasar, insentif untuk merawat kebun, dan mengalami tekanan ekonomi yang makin berat.
“Ketimpangan antarwilayah pun semakin melebar karena tidak semua daerah memiliki alternatif komoditas pengganti yang layak,” terangnya.
4. Industri Ban Nasional Hadapi Krisis Bahan Baku
Indonesia memiliki sekitar 14 pabrik ban yang sangat bergantung pada pasokan karet remah (SIR) dari dalam negeri. Apabila bahan baku ini semakin sulit didapat akibat konversi lahan, maka industri ban terpaksa mengandalkan impor. Hal ini akan menimbulkan lonjakan biaya produksi, meningkatkan ketergantungan pada negara lain, dan menurunkan daya saing produk ban nasional.
“Dalam jangka panjang, tekanan ini bisa menghambat pertumbuhan industri otomotif nasional dan melemahkan kontribusi sektor manufaktur berbasis karet terhadap ekonomi Indonesia,” paparnya.
5. Indonesia Kehilangan Posisi Strategis Global
Sebagai negara eksportir karet alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand, Indonesia memiliki posisi strategis dalam menentukan arah pasar global. Indonesia juga merupakan anggota aktif dari International Tripartite Rubber Council (ITRC), bersama Thailand dan Malaysia.
Forum ini berperan penting dalam menstabilkan harga karet dan mengatur keseimbangan pasokan. Namun, bila produksi dalam negeri terus menurun akibat konversi, Indonesia tidak lagi dapat mempertahankan peran tersebut.
Gapkindo, kata Edy, menilai perubahan status dari produsen menjadi pengimpor karet akan melemahkan posisi tawar Indonesia di pasar internasional serta mengurangi pengaruh dalam kebijakan perdagangan global.
6. Kerusakan Rantai Pasok dan Hilangnya Efek Ganda Ekonomi
Rantai pasok karet di Sumatera Utara mencakup lebih dari 170 ribu petani, puluhan pabrik, dan berbagai industri hilir seperti ban, sarung tangan medis, alat kesehatan, dock fender, alas kaki, dan barang jadi karet lainnya. Jika konversi lahan menyebabkan pasokan bahan baku terganggu, maka seluruh rantai pasok ini akan rusak.
Efek ganda dari aktivitas ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, dan kontribusi terhadap pendapatan daerah juga akan ikut hilang. Ini bukan sekadar gangguan sektor primer, tetapi gangguan menyeluruh terhadap ekosistem industri nasional yang berbasis pada komoditas karet.
Kesimpulan
Maka, Gapkindo memberikan kesimpulan bawah karet bukan sekadar tanaman perkebunan, melainkan komoditas strategis nasional yang telah membentuk sistem ekonomi, sosial, dan industri selama lebih dari satu abad.
Rencana konversi besar-besaran lahan karet menjadi sawit dapat menghancurkan fondasi tersebut, mulai dari hulu petani hingga hilir industri, termasuk posisi Indonesia sebagai pemimpin pasar karet global.
“Jika tidak ditinjau ulang secara menyeluruh, konversi ini berisiko menjadikan Indonesia bukan lagi produsen utama, tetapi pengimpor, serta melemahkan kemandirian industri nasional,” pungkas Edy.
(REL/RZD)