
Analisadaily.com Medan-Transisi menuju ekonomi hijau bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Indonesia harus siap menghadapi kebijakan baru global seperti CBAM Uni Eropa, tetapi sekaligus menangkap peluang dari ekonomi sirkular dan energi terbarukan.
Demikian Senior Researcher at Department of Economics Centre for Strategic and International Studies (CSIS Indonesia) Deni Friawan dalam Seminar Diseminasi Publik Sustainable Trade and Investment Report di Hotel Santika Dyandra Medan, belum lama ini.
Lebih lanjut dalam seminar yang dipandu Dr. Monika Andrasari, M.Si selaku moderator, Deni memaparkan, laporan terbaru CSIS menyoroti peran penting pemerintah, pelaku usaha, serta akademisi dan lembaga masyarakat dalam memperkuat kebijakan lintas sektor berbasis bukti. “Kita butuh strategi nasional yang solid, mulai dari industri, keuangan, hingga energi,” ungkapnya.
Menurutnya, di tengah tekanan krisis iklim, ketegangan geopolitik, dan dinamika proteksionisme global, Indonesia terus mencari cara menjaga laju ekonomi tanpa mengorbankan masa depan. Salah satunya, dengan mendorong perdagangan dan investasi yang berorientasi pada keberlanjutan.
Pada seminar yang diinisiasi Centre for Strategic and International Studies (CSIS Indonesia) bersama SDGs Center Universitas Sumatera Utara (USU) dengan menghadirkan sejumlah pakar dan pelaku kebijakan, ia juga mengungkapkan pembangunan berkelanjutan tidak bisa didekati secara sektoral semata.
Sebab, diperlukan kerja sama multipihak, harmonisasi regulasi, serta penguatan kapasitas di tingkat pusat hingga daerah.
“Keberlanjutan itu bukan hanya soal lingkungan, tetapi tentang bagaimana kita menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan tahan banting,” pungkas Deni Friawan.
Sedangkan Research Assistant Climet Policy Unit CSIS Indonesia Nadya Daulay menyoroti perlunya reformasi mendalam dalam sektor industri berat yang selama ini menyumbang emisi terbesar.
“Industri besi, baja, semen, hingga pupuk masih sulit keluar dari pola lama. Negara-negara middle power seperti Indonesia justru harus lebih progresif untuk tetap kompetitif,” tuturnya.
Sedangkan Dr. Wahyu Ario Pratomo dari SDGs Center USU menjelaskan, Indonesia kini menjadi negara dengan komitmen tertinggi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Asia.
“Capaian kita di 2024 mencapai 61,4 persen. Ini jauh di atas rata-rata kawasan Asia Pasifik yang hanya 17 persen,” ungkapnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provsu Dr. H Faisal Arif Nasution M.Si dalam seminar itu mengutarakan dari sisi daerah, Sumut disebut memiliki kekayaan komoditas ekspor seperti minyak nabati, oleokimia, dan agribisnis. Namun, menurutnya investasi di daerah ini masih menghadapi tantangan besar.
“Biaya logistik tinggi, pendidikan vokasi belum maksimal, dan ketergantungan pada bahan baku impor membuat proses hilirisasi tidak mudah. Kita perlu koordinasi lintas sektor agar target investasi bisa tercapai,” paparnya sembari mengungkapkan target investasi nasional 2025–2029 mencapai Rp13 ribu triliun. Untuk mencapainya, pertumbuhan investasi harus dijaga rata-rata 14,8 persen per tahun.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Perindustrian Perdagangan dan ESDM Provsu Yosi Sukmono, ST menambahkan, tekanan regulasi lingkungan global seperti CBAM dan EUDR menuntut daerah untuk lebih adaptif.
“Ini bisa jadi peluang, asalkan pelaku usaha lokal dibekali dengan standar sertifikasi berkelanjutan seperti ISPO, RSPO, dan fair trade,” ucapnya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut Firsal Dida Mutyara dari menyatakan, pihaknya mendorong keterlibatan sektor swasta dalam proyek energi terbarukan dan ekonomi hijau. “Kami juga menyiapkan proyek-proyek hijau yang bisa langsung diadopsi pelaku usaha,” ungkapnya.
Meski begitu, sejumlah peserta diskusi mengangkat persoalan mendasar terkait kualitas data ekspor-impor daerah.
Seperti akademisi Coki Ahmad Sawir dari USU menyebutkan butuh sinergi antara pemerintah dan pelabuhan agar pencatatan komoditas keluar-masuk bisa lebih akurat.
(ARU/NAI)