
Desa-desa di Sumatera Utara menyimpan potensi luar biasa. Hamparan sawah subur di Deli Serdang, kebun kopi dan andaliman di Tapanuli, serta kekayaan budaya Batak dan keindahan Danau Toba sebagai destinasi super prioritas nasional adalah bukti bahwa desa menjadi tumpuan masa depan Sumatera Utara.
Namun di balik potensi tersebut, masih ada tantangan serius yang membelenggu kesejahteraan warganya, terutama dalam aspek kesehatan dan ekonomi. Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2025, angka kemiskinan di Sumatera Utara meningkat menjadi 7,36%, setara dengan 1,14 juta jiwa, atau naik sekitar 29,3 ribu jiwa dibandingkan September 2024.
Secara khusus, kemiskinan di perdesaan tercatat sebesar 7,71%, lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan (7,10%). Garis kemiskinan per bulan mencapai Rp666.546/kapita, dengan pengeluaran konsumsi yang masih timpang di antara penduduk miskin, mencerminkan ketidakmerataan kesejahteraan. Ini memperlihatkan bahwa banyak desa masih terjebak dalam siklus kerentanan sosial dan keterbatasan akses layanan dasar, khususnya di bidang kesehatan.
Di Kabupaten Nias Selatan, misalnya, seorang warga dari Desa Hiliaurifa Hilisamaetano mengatakan bahwa mereka harus menempuh perjalanan puluhan kilometer-termasuk melintasi sungai menggunakan rakit-hanya untuk sampai ke puskesmas terdekat, dikarenakan fasilitas kesehatan lokal tidak berfungsi dan tanpa tenaga medis.
Hal ini menjadi peringatan bahwa pembangunan fisik dan ekonomi desa belum selaras dengan akses dasar seperti kesehatan, dan membutuhkan solusi inovatif seperti model koperasi berbasis komunitas yang dapat mendekatkan pelayanan pada warga.
Di beberapa desa wisata di sekitar Danau Toba, warga masih harus menempuh perjalanan panjang dan medannya menantang hanya untuk mendapat layanan kesehatan dasar. Misalnya, Desa Sigapiton di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, dapat dicapai melalui jalur darat dengan waktu sekitar 1 jam dari Parapat atau sekitar 40 menit melalui jalur air-belum termasuk waktu tunggu perahu atau transportasi tambahan lain.
Meskipun bukan akses ke pusat layanan kesehatan, faktor geografis dan kondisi transportasi ini mengindikasikan bahwa kebutuhan medis sederhana pun membutuhkan waktu dan upaya signifikan, mencerminkan disparitas nyata dalam akses kesehatan di desa-desa wisata Danau Toba.
Dalam situasi ketimpangan akses dan terbatasnya jangkauan layanan formal, pendekatan kolaboratif berbasis koperasi menjadi strategi yang relevan dan berkelanjutan. Koperasi, yang lahir dari semangat gotong royong dan kemandirian komunitas, dapat berfungsi tidak hanya sebagai entitas ekonomi, tetapi juga sebagai katalisator sosial dalam mendekatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial ke tingkat desa.
Melalui model koperasi multiguna, masyarakat dapat mengelola dana sosial kesehatan, mendukung operasional pos kesehatan desa, serta menjalin kemitraan dengan puskesmas, tenaga kesehatan, dan organisasi nirlaba.
Pendekatan ini memungkinkan warga tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bantuan luar, melainkan berdaya secara kolektif dalam mengatasi masalah kesejahteraan. Dengan koperasi sebagai penghubung antara potensi lokal dan kebutuhan dasar, terbuka peluang besar untuk mewujudkan desa yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga mandiri secara ekonomi dan sosial.
Ketimpangan akses dan kualitas layanan kesehatan masih menjadi persoalan nyata di desa-desa pegunungan, pesisir, dan kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) di Sumatera Utara. Wilayah-wilayah seperti desa-desa di Pulau Nias, pegunungan Mandailing, dan pesisir Tapanuli kerap menghadapi hambatan geografis yang menyulitkan mobilitas, keterbatasan tenaga medis, serta minimnya sarana dan prasarana kesehatan.
Banyak puskesmas pembantu tidak beroperasi optimal karena ketiadaan peralatan dan petugas, sementara masyarakat harus menempuh jarak jauh dengan medan berat untuk mendapatkan layanan dasar seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi anak, atau pertolongan pertama dalam situasi darurat. Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada angka kesakitan dan kematian, tetapi juga memperlebar jurang ketidaksetaraan sosial dan ekonomi antara desa dan kota.
Tingginya angka stunting, kematian ibu dan bayi, serta prevalensi penyakit tidak menular mencerminkan masih lemahnya upaya promosi kesehatan di banyak desa di Sumatera Utara. Meski secara nasional prevalensi stunting mengalami penurunan, Sumatera Utara justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dengan angka stunting yang dilaporkan meningkat di beberapa kabupaten/kota berdasarkan laporan pemantauan lapangan.
Hal ini diperburuk oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pola asuh dan gizi anak, terbatasnya akses terhadap fasilitas kesehatan, serta kurangnya edukasi berkelanjutan mengenai pencegahan penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes. Kematian ibu dan bayi juga masih menjadi isu serius, terutama di wilayah dengan keterbatasan transportasi dan tenaga kesehatan, yang menyebabkan keterlambatan penanganan kasus darurat. Kondisi ini menandakan bahwa intervensi medis saja tidak cukup-perlu penguatan peran komunitas, edukasi promotif yang masif, dan kolaborasi lintas sektor untuk memastikan kesehatan benar-benar hadir di tengah kehidupan desa.
Koperasi Merah Putih hadir sebagai sebuah model koperasi multiguna yang merangkul dimensi ekonomi, sosial, dan kesehatan secara terpadu. Tidak hanya berperan sebagai lembaga simpan pinjam atau pelaku usaha, koperasi ini dirancang untuk menjadi motor penggerak kemandirian desa secara menyeluruh.
Melalui struktur yang demokratis dan berbasis partisipasi warga, Koperasi Merah Putih menjawab kebutuhan mendasar masyarakat pedesaan-mulai dari penguatan ekonomi rumah tangga, perlindungan sosial berbasis komunitas, hingga penyediaan layanan kesehatan dasar yang terjangkau. Model ini lahir dari semangat gotong royong dan nasionalisme akar rumput, yang memandang bahwa kesejahteraan tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus dibangun secara kolektif dan saling menopang.
Implementasi koperasi ini tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan kolaborasi aktif antara masyarakat sebagai pemilik dan pelaku koperasi, pemerintah desa sebagai penggerak kebijakan lokal, tenaga kesehatan sebagai ujung tombak layanan, perguruan tinggi sebagai mitra pendamping teknis dan ilmiah, serta sektor swasta sebagai penyokong inovasi dan akses pasar.
Setiap pihak memiliki peran strategis dalam membentuk ekosistem koperasi yang sehat dan berdampak luas. Kolaborasi ini bukan sekadar kerja sama administratif, tetapi kerja bersama yang tumbuh dari pemahaman terhadap kondisi lokal, komitmen terhadap pemberdayaan warga, dan semangat untuk mewujudkan desa yang sehat dan mandiri secara berkelanjutan.
Gerakan Koperasi Merah Putih bertumpu pada tiga pilar utama. Pertama, pemberdayaan ekonomi keluarga melalui pengembangan koperasi tani, nelayan, dan UMKM yang dikelola warga sendiri, sehingga menciptakan sirkulasi ekonomi lokal yang produktif. Kedua, pembentukan dana sosial kesehatan yang berasal dari sebagian surplus usaha koperasi dan disalurkan untuk keperluan layanan dasar seperti pengobatan ringan, pemeriksaan ibu hamil, atau penanganan gizi anak.
Ketiga, edukasi dan promosi kesehatan yang dilaksanakan oleh kader koperasi bekerja sama dengan puskesmas dan tenaga kesehatan, guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup sehat sejak dini. Ketiga pilar ini membentuk siklus saling menguatkan antara ekonomi, solidaritas sosial, dan kesehatan komunitas, yang menjadi fondasi dari transformasi desa secara utuh.
Keterbatasan ekonomi lokal menjadi salah satu akar persoalan yang menghambat kemampuan keluarga desa dalam membiayai kebutuhan kesehatan. Di banyak wilayah pedesaan di Sumatera Utara, penghasilan utama masyarakat bergantung pada sektor informal seperti pertanian subsisten, nelayan tradisional, atau usaha mikro yang belum stabil. Ketika penghasilan keluarga habis untuk kebutuhan pokok sehari-hari, pengeluaran untuk pemeriksaan rutin, gizi anak, atau pengobatan penyakit sering kali menjadi prioritas terakhir.
Akibatnya, banyak keluarga menunda kunjungan ke fasilitas kesehatan hingga kondisi menjadi parah, atau bahkan memilih pengobatan tradisional tanpa pendampingan medis. Tanpa sistem pembiayaan yang inklusif dan berbasis komunitas, kesenjangan ini akan terus memperlebar jurang ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan.
Di sisi lain, minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan layanan dasar-termasuk kesehatan, sanitasi, dan gizi-menyebabkan program pembangunan sering tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Musyawarah desa atau forum perencanaan seringkali hanya melibatkan segelintir pihak, sementara kelompok rentan seperti perempuan, lansia, dan warga miskin jarang mendapat ruang menyampaikan aspirasinya.
Padahal, keberhasilan program kesehatan sangat bergantung pada keterlibatan aktif masyarakat sebagai pengguna dan pengawas layanan. Ketidakhadiran warga dalam proses pengambilan keputusan juga memperlemah rasa memiliki terhadap program yang dijalankan, sehingga intervensi pemerintah menjadi kurang efektif dan tidak berkelanjutan. Untuk itu, perlu didorong model tata kelola kolaboratif yang menempatkan masyarakat sebagai mitra utama dalam membangun sistem kesehatan desa yang berdaya dan responsif.
Implementasi gerakan Koperasi Merah Putih di Sumatera Utara diharapkan menjadi model transformasi desa berbasis kolaborasi dan kemandirian warga, dengan mendorong integrasi antara pemberdayaan ekonomi, layanan sosial, dan kesehatan. Salah satu inisiatif nyata telah dijalankan oleh LPPM Universitas Sumatera Utara (USU) melalui program Kampus Berdampak di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba (Balige), dengan menggandeng masyarakat dalam membentuk Pos Kesehatan berbasis koperasi, mengembangkan tabungan sehat keluarga, serta menghadirkan layanan telemedicine hasil kerja sama dengan fakultas-fakultas kesehatan di USU.
Program ini juga mendorong integrasi dengan layanan yang telah ada seperti Posyandu, PKK, BUMDes, dan Puskesmas, sehingga tidak menciptakan tumpang tindih melainkan memperkuat sistem yang ada. Dengan dukungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kesehatan, serta keterlibatan mitra filantropi dan sektor swasta, model ini diharapkan dapat direplikasi ke desa-desa lain di sekitar kawasan Danau Toba dan wilayah pedesaan Sumut yang menghadapi tantangan serupa. Pendekatan ini bukan hanya menghadirkan layanan, tetapi membangun kemandirian desa Koperasi Merah Putih bukan sekadar model kelembagaan yang mengatur roda usaha dan layanan sosial, melainkan sebuah gerakan sosial rakyat yang tumbuh dari kesadaran kolektif akan pentingnya kemandirian dan solidaritas.
Gerakan ini menghidupkan kembali semangat gotong royong sebagai kekuatan utama dalam menjawab tantangan nyata yang dihadapi desa-desa-mulai dari keterbatasan ekonomi hingga ketimpangan akses kesehatan. Di tengah kompleksitas pembangunan, koperasi menjadi ruang di mana warga tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama perubahan.
Namun, gerakan ini tidak bisa berdiri sendiri. Kolaborasi adalah kunci. Diperlukan sinergi nyata antara masyarakat, pemerintah desa, lembaga pendidikan, tenaga kesehatan, sektor swasta, hingga mitra filantropi untuk membangun ekosistem desa yang sehat, tangguh, dan berkelanjutan. Setiap pihak memegang peran penting yang saling melengkapi-tidak ada yang bisa berjalan sendiri, dan tidak ada kontribusi yang terlalu kecil.
Kini saatnya kita bergerak bersama. Dari Sumatera Utara untuk Indonesia, mari kita wujudkan cita-cita besar: desa yang sehat, mandiri, dan berkeadilan. Mari hidupkan kembali gotong royong dan satukan langkah melalui koperasi sebagai pilar transformasi desa. Kesehatan adalah hak semua, dan koperasi adalah jalannya.
Implementasi Koperasi Merah Putih diproyeksikan akan memberikan dampak nyata terhadap peningkatan akses layanan kesehatan dasar dan promotif di desa-desa. Dengan adanya pos kesehatan berbasis koperasi, tabungan sehat keluarga, dan kolaborasi dengan puskesmas serta kader kesehatan, masyarakat tidak lagi harus menunggu sakit parah untuk mendapat layanan.
Akses terhadap edukasi gizi, pemeriksaan ibu hamil, imunisasi anak, hingga konsultasi penyakit tidak menular dapat dilakukan secara rutin dan terjangkau. Layanan telemedicine yang terintegrasi dengan kampus kesehatan seperti USU juga membuka peluang besar bagi desa-desa terpencil untuk mendapat layanan medis yang sebelumnya sulit dijangkau karena keterbatasan geografis dan tenaga kesehatan.
Selain dari sisi kesehatan, kehadiran koperasi yang dikelola secara sehat dan produktif akan mendorong lahirnya kemandirian ekonomi warga. Koperasi yang mengelola unit usaha seperti pertanian, perikanan, UMKM lokal, serta simpan pinjam berbasis komunitas mampu menciptakan perputaran ekonomi yang tetap berada di desa. Dana sosial yang disisihkan dari laba koperasi tidak hanya mendukung layanan kesehatan, tetapi juga menjadi bentuk solidaritas ekonomi lokal yang mengurangi ketergantungan pada bantuan eksternal. Semakin kuat ekonomi keluarga, semakin tinggi pula kemampuan mereka dalam membiayai kebutuhan pendidikan dan kesehatan secara mandiri.
Secara keseluruhan, inisiatif ini akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa. Kesadaran akan pentingnya hidup sehat, nilai gotong royong, dan kebiasaan menabung untuk keperluan sosial membentuk karakter komunitas yang lebih tangguh dan berdaya. Desa-desa yang sebelumnya tertinggal secara akses dan daya saing mulai bertransformasi menjadi desa sehat, mandiri, dan kompetitif-baik secara ekonomi maupun sosial.
Jika praktik ini berhasil dikembangkan secara konsisten di beberapa titik percontohan, maka sangat memungkinkan untuk dilakukan replikasi model ke seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara. Dengan dukungan lintas sektor-pemerintah daerah, perguruan tinggi, swasta, dan komunitas-Koperasi Merah Putih bisa menjadi model kebijakan pembangunan desa yang partisipatif, berkelanjutan, dan berdampak luas, sebagai bagian dari upaya besar menuju Sumatera Utara yang sejahtera dan berkeadilan.