KUPS Meningkat, Perekonomian Masyarakat Sumut Kian Membaik

KUPS Meningkat, Perekonomian Masyarakat Sumut Kian Membaik
Kabid Pemanfaatan Hutan dan Perhutanan Sosial Dinas LHK Sumut, Albert Sibuea, SH, MAP, di tengah sedang menyampaikan penjelasan. (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Dari madu hutan Mandailing Natal dan Humbang Hasundutan hingga batik mangrove Langkat, produk-produk hasil hutan rakyat di Sumatera Utara kini semakin beragam dan bernilai jual tinggi. Semua ini tak lepas dari berkembangnya Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang kini mencapai 296 kelompok, naik dari 252 kelompok tahun lalu.

Melalui program perhutanan sosial, Pemerintah Pusat memberikan akses pengelolaan hutan seluas 488.484 hektare kepada masyarakat. Di Sumut, KUPS telah mengelola 102.282 hektare lahan, mencakup hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

“Lahan yang digunakan bukan kawasan hutan baru, melainkan area yang sudah terlanjur dibuka, misalnya oleh perambah. Masyarakat yang bergantung pada hasil hutan di kawasan itu kini dapat mengelolanya secara legal,” ujar Kepala Bidang Pemanfaatan Hutan dan Perhutanan Sosial Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumut, Albert Sibuea, SH, MAP, kepada wartawan di Medan, Selasa (12/8/2025).

Albert menjelaskan, target Kemenhut sesuai Peta Indikatif Perhutanan Sosial (PIPS) adalah 488.484 hektare. Artinya, realisasi saat ini masih di bawah 50 persen. Meski begitu, program ini terbukti meningkatkan penghasilan masyarakat sekaligus membantu menjaga hutan dari perambahan, penebangan liar, dan kebakaran.

Setiap KUPS beranggotakan minimal 15 orang, mengelola lahan mulai 20 hektare hingga 500 hektare. Komoditas yang diusahakan disesuaikan dengan potensi daerah. Di Humbang Hasundutan, misalnya, masyarakat menyadap getah pinus, menanam kopi, dan memproduksi madu. Di Langkat, usaha meliputi budidaya ikan bandeng, pembuatan bakso, sirup mangrove, hingga batik berbahan mangrove.

Produk perhutanan sosial Sumut kini cukup dikenal, terutama dari Langkat yang pernah mewakili Indonesia dalam lomba kuliner di Malaysia melalui Koperasi Penghijauan Maju Bersama. Daerah lain juga tak kalah berpotensi, seperti madu dari Mandailing Natal, kopi dari Sipirok, dan gambir, kopi dari Sidikalang.

“Kami harap batik mangrove dari Bakti Nyata, Percut Sei Tuan, makin diminati masyarakat. Dari Karo, gula semut sudah dipasok ke hotel-hotel,” kata Albert.

Dia menegaskan, keberhasilan perhutanan sosial membutuhkan sinergi seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Misalnya, untuk pengembangan ekowisata diperlukan dukungan infrastruktur dari pemerintah kabupaten. Saat ini, sinergi telah terjalin dengan Dinas Perikanan, Koperasi, dan Pariwisata, khususnya dalam pengembangan mangrove di wilayah pesisir Langkat, Batubara, Serdang Bedagai, dan Simalungun.

Dinas LHK Sumut juga menyalurkan bantuan bibit tanaman dan peralatan ekonomi produktif bagi KUPS. Bantuan tersebut digunakan untuk mengolah hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti minyak atsiri, serai, nilam, kopi, jagung, gula aren, gula semut, madu, dan getah.

Jenis peralatan yang diberikan beragam, mulai dari kendaraan roda tiga, mesin destilasi minyak atsiri, mesin pengolah kopi, peralatan budidaya lebah, hingga mesin pengemas. Bantuan diberikan setiap tahun sesuai kebutuhan masing-masing kelompok.

“Bantuan yang kami salurkan berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan keinginan kami. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan perekonomian mereka,” tegas Albert. (MUL)

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi