Oleh : Destanul Aulia, SKM, MBA, MEC, Ph.D

Kolaborasi Membangun RS Regional: Menyatukan Kekuatan untuk Kesehatan Sumut

Kolaborasi Membangun RS Regional: Menyatukan Kekuatan untuk Kesehatan Sumut
Kolaborasi Membangun RS Regional: Menyatukan Kekuatan untuk Kesehatan Sumut (Analisadaily/istimewa)

Lonjakan jumlah pasien pada semester I, 2025 menjadi sinyal kuat bahwa pusat layanan kesehatan di Medan kini menanggung beban rujukan yang kian berat. Dengan kenaikan kunjungan hingga 24,47% dibanding tahun sebelumnya dan rata-rata 550 pasien setiap hari, fasilitas pelayanan ini tak hanya melayani warga Kota Medan, tetapi juga ribuan pasien dari kabupaten sekitar seperti Deli Serdang dan Binjai.

Tingkat hunian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate(BOR) rata-rata mencapai 84,48% pada Januari–Juni 2025, bahkan di beberapa bulan menembus 87%, melampaui ambang batas ideal WHO sebesar 85%. Kondisi ini menandakan tekanan tinggi pada layanan rawat inap yang berpotensi memicu antrean panjang, keterlambatan tindakan medis, dan penurunan kualitas pelayanan. Beban layanan yang tinggi tidak hanya terjadi di fasilitas kesehatan milik pemerintah, tetapi juga di sektor swasta besar yang mencatat BOR di atas 84% dengan total kunjungan rawat jalan mencapai ratusan ribu pasien dalam setahun.

Kepadatan layanan yang dialami berbagai fasilitas kesehatan di Medan bukanlah fenomena terpisah, melainkan bagian dari persoalan struktural yang telah lama membebani sistem kesehatan di kota ini. Angka Bed Occupancy Rate (BOR) yang mendekati atau bahkan melampaui ambang batas ideal WHO, lonjakan jumlah kunjungan pasien dari berbagai kabupaten/kota, serta kapasitas tempat tidur yang hampir selalu terpakai penuh setiap hari adalah gejala nyata dari overcrowding yang semakin sulit diatasi.

Tekanan ini berdampak langsung pada kelancaran alur pelayanan, ketepatan tindakan medis, hingga kualitas interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien, yang pada akhirnya menurunkan mutu layanan dan kepuasan masyarakat. Lebih jauh, ketergantungan yang tinggi terhadap fasilitas kesehatan di Medan membuat pelayanan di daerah stagnan, menghambat pengembangan SDM, dan memperlebar kesenjangan akses layanan. Kondisi ini menciptakan lingkaran masalah atau vicious cycle, di mana beban pusat terus meningkat sementara fasilitas kesehatan di daerah tidak berkembang.

Dampak Klinis dan Operasional Overcrowding

Fenomena overcrowding di fasilitas kesehatan di Medan membawa konsekuensi serius pada aspek klinis dan operasional. Salah satu indikator yang paling jelas terlihat adalah meningkatnya waktu tunggu, baik untuk pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) maupun rawat inap. Untuk pasien non-gawat, waktu tunggu rawat inap dapat mencapai lebih dari 8 jam, jauh melampaui standar pelayanan ideal.

Kondisi ini menunjukkan adanya tekanan berlebih pada kapasitas layanan yang tersedia. Selain itu, terjadi peningkatan Length of Stay (LOS) yang mengindikasikan lambatnya sirkulasi pasien di ruang perawatan. Hal ini memperlambat perputaran tempat tidur dan berdampak pada kemampuan rumah sakit untuk menerima pasien baru.

Keterlambatan tindakan medis pun menjadi masalah krusial. Banyak pasien IGD menunggu lebih dari 2–4 jam sebelum mendapatkan penanganan definitif, bahkan pasien dalam kondisi gawat pun sering mengalami penundaan akibat antrean panjang dan keterbatasan sumber daya medis.

Tekanan juga datang dari tingginya jumlah rujukan pasien kritis dari luar daerah tanpa adanya ketersediaan slot ICU yang memadai. Situasi ini memperbesar risiko klinis lain seperti infeksi nosokomial. Keterlambatan rotasi pasien mengakibatkan kepadatan ruang rawat, yang memicu paparan silang antar pasien dengan berbagai kondisi medis.Dalam perspektif Theory of Queuing and Flow Management (Hall, 2006), kondisi ini mencerminkan ketidakseimbangan antara permintaan layanan dan kapasitas sistem.

Ketika permintaan secara konsisten melampaui kapasitas, terbentuk bottleneck yang menghambat alur perawatan, mengurangi kecepatan dan ketepatan penanganan, serta menurunkan mutu layanan.

Dampak Beban Layanan pada Mutu Pelayanan

Beban kerja yang berlebih di fasilitas kesehatan di Medan telah memberikan tekanan signifikan terhadap mutu layanan. Data menunjukkan bahwa tingkat hunian tempat tidur (BOR) di dua rumah sakit rujukan utama berada di atas 84%, yang berarti kapasitas hampir penuh setiap hari. Pada salah satu rumah sakit, terjadi kenaikan pasien rawat inap sebesar 22,9% hanya dalam waktu satu semester.

Penumpukan pasien ini berimplikasi langsung pada menurunnya waktu pelayanan optimal per pasien, mengurangi kesempatan bagi tenaga medis untuk melakukan asesmen mendalam dan interaksi yang berkualitas.

Dampaknya tidak hanya terasa pada aspek teknis, tetapi juga pada persepsi pasien dan keluarga. Walaupun angka Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) belum dicatat secara spesifik, antrean panjang, penundaan tindakan medis, ruang rawat yang penuh, dan komunikasi yang terbatas menjadi sumber utama keluhan. Dalam konteks tenaga kesehatan, beban layanan harian yang mencapai rata-rata 550 pasien (gabungan rawat inap, rawat jalan, dan IGD) disertai meningkatnya lama rawat inap memicu risiko burnout.

Kondisi ini diperparah oleh keterbatasan jumlah SDM yang tidak sebanding dengan pertumbuhan beban pelayanan tiap tahun. Secara indikator, beban berlebih juga berdampak pada pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dari total 86 indikator SPM, terdapat 7 indikator (8,14%) yang tidak tercapai pada semester I 2025, meskipun 21 indikator lainnya menunjukkan peningkatan. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan capaian target saat beban pelayanan meningkat tajam.

Menurut Donabedian’s Quality of Care Framework, mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen utama: struktur (sumber daya), proses (interaksi klinis), dan hasil (outcome). Beban berlebih pada struktur, seperti keterbatasan SDM dan fasilitas, akan mengganggu proses layanan, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hasil layanan. Dengan kata lain, tekanan berlebih yang tidak diimbangi penambahan kapasitas akan menciptakan efek berantai yang merugikan baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan.

Dampak Sistemik pada Skala Provinsi

Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap fasilitas kesehatan di Medan telah menimbulkan dampak sistemik yang signifikan bagi pelayanan kesehatan di tingkat provinsi. Fasilitas rujukan utama di ibu kota menerima pasien dari berbagai wilayah, bahkan hingga provinsi tetangga, sementara fasilitas lain di kota ini menjadi penampung limpahan akibat keterbatasan daya tampung.

Kondisi ini menciptakan kesenjangan nyata dalam akses layanan kesehatan antar kabupaten/kota, terutama karena banyak daerah belum memiliki rumah sakit kelas B yang mampu menangani kasus-kasus spesialistik. Akibatnya, pasien dari daerah harus menempuh perjalanan panjang antara 4–10 jam hanya untuk mendapatkan penanganan lanjutan.

Dampak lain yang tak kalah penting adalah gangguan terhadap efisiensi pembiayaan dan logistik layanan kesehatan. Biaya transportasi pasien dan keluarga menjadi lebih tinggi, sementara fasilitas kesehatan di Medan menanggung beban ganda pembiayaan untuk layanan dan operasional. Pada saat yang sama, rumah sakit di daerah sulit berkembang karena pasien langsung dirujuk ke pusat, sehingga volume kasus di fasilitas daerah minim. Rendahnya jumlah kasus ini berimplikasi pada lambatnya pengembangan SDM, tertundanya pencapaian akreditasi, serta terbatasnya investasi pada sarana dan prasarana kesehatan di tingkat kabupaten/kota.

Dalam perspektif Health System Decentralization Theory, ketimpangan akses dan ketergantungan terhadap pusat merupakan konsekuensi ketika wilayah-wilayah di daerah tidak memiliki kapasitas layanan yang setara dengan pusat. Pendekatan desentralisasi yang memperkuat keberadaan rumah sakit bertaraf tinggi di berbagai wilayah akan menciptakan sistem kesehatan yang lebih seimbang, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal.

Langkah ini tidak hanya akan mengurangi beban pusat, tetapi juga mempercepat pemerataan mutu layanan kesehatan di seluruh provinsi.

Dampak memilih berobat ke luar negeri

Fenomena masyarakat Sumatera Utara yang memilih berobat ke luar negeri, khususnya ke Malaysia dan Singapura, telah menjadi isu serius yang berdampak langsung pada ekonomi daerah.

Berdasarkan penelitian Destanul Aulia (2016), sebelum pandemi COVID-19, jumlah warga yang mencari layanan kesehatan di Malaysia pada 2018 tercatat mencapai 122.995 orang. Dengan biaya rata-rata per pasien sebesar Rp 33,78 juta, total pengeluaran mencapai sekitar Rp 4,15 triliun. Angka ini setara dengan 29,71% dari APBD Sumatera Utara tahun 2018, menunjukkan besarnya potensi dana yang “bocor” ke luar negeri hanya untuk pembiayaan kesehatan.

Pascapandemi COVID-19, tren ini justru meningkat. Data Oktober 2022 menunjukkan jumlah warga Sumatera Utara yang berobat ke luar negeri melonjak menjadi 187.732 orang terdiri dari 167.525 orang ke Malaysia dan 20.207 orang ke Singapura. Dengan asumsi biaya yang sama, total dana yang keluar mencapai Rp 6,35 triliun. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa ketergantungan terhadap fasilitas kesehatan luar negeri tidak berkurang, bahkan semakin menguat.

Dampak dari fenomena ini sangat luas. Pertama, terjadi kebocoran devisa yang signifikan karena dana yang seharusnya dapat berputar di dalam negeri justru mengalir ke luar negeri. Kedua, kondisi ini mencerminkan adanya kesenjangan kepercayaan terhadap mutu layanan kesehatan lokal, baik dari segi fasilitas, teknologi, maupun kompetensi sumber daya manusia. Ketiga, ketergantungan yang tinggi ini melemahkan kapasitas sistem kesehatan daerah, karena rumah sakit lokal kehilangan potensi pasien dan kesempatan untuk mengembangkan layanan spesialistik berstandar internasional.

Penulis juga menggarisbawahi bahwa faktor pendorong utama pasien berobat ke luar negeri mencakup persepsi kualitas layanan, kecepatan pelayanan, dan kelengkapan fasilitas diagnostik serta terapi yang belum optimal di dalam negeri. Temuan ini relevan dengan situasi saat ini, di mana kualitas layanan menjadi penentu utama arah mobilitas pasien lintas negara.

Jika target pengurangan 5% pasien pertahun yang berobat ke luar negeri dapat tercapai sekitar 9.387 orang maka akan ada dana sebesar Rp 317 miliar yang tetap beredar di dalam negeri setiap tahun. Angka ini cukup untuk membiayai pengembangan fasilitas kesehatan baru, peningkatan kompetensi tenaga medis, atau modernisasi teknologi medis di Sumatera Utara. Menekan arus pasien ke luar negeri dengan memperkuat layanan kesehatan lokal bukan hanya urusan kesehatan, tetapi juga strategi penting dalam menjaga kedaulatan ekonomi daerah.

Konsep Rumah Sakit Berkualitas Regional di Kawasan Segitiga

Konsep rumah sakit berkualitas regional di kawasan segitiga merupakan strategi terintegrasi untuk mendistribusikan layanan kesehatan secara lebih merata di Sumatera Utara. Kawasan segitiga ini mencakup tiga titik utama di luar Medan: Tanah Karo, Tapanuli Utara, dan Asahan/Sergai. Masing-masing titik dirancang untuk menjadi pusat layanan kesehatan regional yang melayani beberapa kabupaten/kota sekitarnya.

Tanah Karo akan berperan sebagai pusat pelayanan bagi Karo, Dairi, Pakpak Bharat, dan Aceh Tenggara. Tapanuli Utara ditargetkan melayani wilayah Taput, Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, dan Padangsidimpuan. Sementara itu, Asahan/Sergai akan mencakup pelayanan bagi Asahan, Batubara, Labuhanbatu Raya, dan Kota Tebing Tinggi.

Tujuan utama konsep ini adalah memecah konsentrasi rujukan pasien yang selama ini terpusat di Medan. Selama ini, Medan menjadi simpul utama rujukan layanan spesialistik, sehingga menimbulkan kepadatan di fasilitas kesehatan kota ini dan memperpanjang waktu tunggu pasien dari daerah. Dengan adanya rumah sakit berkualitas regional di tiga titik strategis tersebut, masyarakat di wilayah sekitarnya akan memiliki akses yang lebih cepat terhadap layanan spesialistik tanpa harus menempuh perjalanan panjang ke Medan.

Selain meningkatkan akses, konsep ini juga memperkuat ketahanan sistem kesehatan daerah. Dengan distribusi fasilitas berkualitas tinggi, kapasitas layanan darurat, penanganan penyakit kronis, dan prosedur spesialistik dapat diperluas secara merata. Hal ini akan mendukung pengembangan SDM kesehatan di daerah, memacu peningkatan fasilitas, serta memperluas cakupan akreditasi rumah sakit di tingkat kabupaten/kota.

Medan tetap akan menjadi simpul utama dalam sistem ini, tetapi perannya akan lebih terfokus pada layanan superspesialistik dan rujukan terakhir. Dengan empat klaster layanan kesehatan utama yang saling menguatkan Medan, Tanah Karo, Tapanuli Utara, dan Asahan/Sergai Sumatera Utara diharapkan mampu menciptakan sistem rujukan yang lebih seimbang, efisien, dan berkualitas tinggi di seluruh wilayahnya.

Kolaborasi multi-level

Pembangunan rumah sakit regional bukan sekadar proyek konstruksi, melainkan sebuah gerakan kolaboratif lintas level pemerintahan dan sektor untuk memperkuat sistem kesehatan di Sumatera Utara. Proyek ini dirancang agar setiap pemangku kepentingan memiliki peran strategis sesuai kapasitasnya, sehingga terwujud sinergi yang nyata dan berkelanjutan. Di tingkat nasional, Kementerian Kesehatan memegang peranan sebagai penyedia pendanaan untuk sarana dan prasarana, pengadaan peralatan kesehatan mutakhir, serta dukungan penempatan tenaga medis spesialis.

Hal ini memastikan bahwa rumah sakit regional akan memiliki standar fasilitas yang setara dengan pusat rujukan nasional. Pemerintah Provinsi menjadi penghubung utama yang memfasilitasi perencanaan, membina mutu layanan, mengintegrasikan sistem rujukan antarwilayah, dan mengoordinasikan penyediaan SDM kesehatan. Peran ini krusial untuk memastikan setiap rumah sakit regional berjalan dalam satu sistem yang terpadu.

Di lapangan, pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab menyediakan lahan yang strategis, mengalokasikan anggaran operasional, dan memenuhi kebutuhan tenaga medis dasar. Keterlibatan langsung daerah menjamin keberlanjutan operasional jangka panjang.

Rumah sakit vertikal dan swasta turut ambil bagian dengan memberikan transfer pengetahuan, pendampingan teknis, dan berbagi sistem informasi medis. Kolaborasi ini mempercepat adopsi praktik terbaik dalam pelayanan. Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan kesehatan berkontribusi melalui pelatihan tenaga kesehatan, penelitian layanan, serta inovasi teknologi medis.

Dengan demikian, rumah sakit regional juga menjadi pusat pembelajaran dan pengembangan kompetensi.Tak kalah penting, BPJS Kesehatan berperan menyesuaikan skema pembiayaan agar distribusi pasien lebih merata dan beban fasilitas di kota besar berkurang.Kolaborasi multi-level ini memastikan rumah sakit regional bukan hanya berdiri megah, tetapi benar-benar menjadi solusi nyata pemerataan layanan kesehatan berkualitas bagi seluruh masyarakat Sumatera Utara. Insya Allah.

Berita kiriman dari: Dosen FKM USU, Pemerhati Kesehatan masyarakat

Baca Juga

Rekomendasi