Hutan, Tambang Martabe dan Dapur (Hairul Iman Hasibuan)
Di tengah riuh deru mesin tambang emas Martabe di jantung Tapanuli Selatan (Tapsel), ada dua denyut kehidupan yang berdetak senyap, tapi nyata.
Satu berasal dari rimba hijau yang menyimpan kehidupan liar—sunyi tapi penuh makna. Satunya lagi dari dapur-dapur sederhana para ibu rumah tangga yang perlahan menyalakan nyala baru di lingkar tambang.
Keduanya bertolak belakang, namun sejatinya saling terhubung. Di antara batu dan bumi yang digali, ada upaya serius untuk merawat kehidupan. Tak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga dari sisi kemanusiaan.
Bagi sebagian besar masyarakat, tambang sering kali identik dengan eksploitasi, namun tidak bagi Dr. Rondang Siregar. Di bawah payung Biodiversity Advisory Panel (BAP), ia bersama rekan-rekannya menjadi “penjaga dalam senyap” bagi suara-suara yang tak terdengar—burung, orangutan, pohon-pohon tua, dan segala kehidupan yang terancam.
"Kalau hutan bisa bicara, mungkin ia sudah menangis sejak lama," ucap Dr. Rondang, matanya menerawang ke kanopi pohon yang rimbun di Batangtoru.
BAP sendiri adalah panel ilmiah independen yang dibentuk PT Agincourt Resources (AR) sejak 2019, dengan tugas memastikan operasional tambang berjalan beriringan dengan etika konservasi.
Mereka tidak sekadar membuat laporan dari balik meja, tetapi juga menyusuri rimba, membaca jejak satwa, hingga memutuskan langkah-langkah strategis demi keberlangsungan ekosistem.
“Salah satu keputusan paling sulit adalah ketika kami merekomendasikan agar lokasi pembangunan fasilitas tailings dialihkan. Itu bukan keputusan kecil bagi perusahaan. Tapi kami senang, PT AR mendengar,” ujar Dr. Sri Suci Utami Atmoko.
Lebih dari sekadar rekomendasi, apa yang dilakukan BAP adalah menjaga napas alam. Dr. Puji Rianti, ahli konservasi dari IPB dan University of Zurich, menambahkan bahwa tantangan terberat bukan hanya soal teknis, tapi bagaimana membangun kesadaran lintas sektor.
“Hutan tak bisa menyampaikan protes. Tapi sebagai ilmuwan, kami bisa menjadi perpanjangan suara itu,” tegasnya.
Kolaborasi BAP, masyarakat lokal, dan PT AR membuahkan banyak langkah nyata dari pembangunan jembatan arboreal untuk satwa, hingga rencana pendirian stasiun riset untuk pengamatan biodiversitas.
Langkah-langkah ini menandai bahwa keberadaan tambang tak harus memutus nadi kehidupan hutan.
Di sisi lain tambang, kehidupan berdenyut dalam bentuk yang berbeda. Di balik aroma basreng, keripik pisang, dan rempah-rempah lokal, tersembunyi kisah perjuangan perempuan-perempuan tangguh yang bangkit dari keterpurukan.
Eri Susanti, salah satunya. Ia dulu hanya punya dapur sempit dan penghasilan yang tak menentu.
Setelah digusur dari tempat tinggal lamanya di Kerinci, ia pindah ke Kampung Pasir, Batangtoru, membawa sedikit barang dan banyak kecemasan.
“Saya mulai jualan peyek dan camilan dari warung ke warung, bawa sendiri, pakai plastik seadanya,” kenangnya kepada Analisadaily.Com, baru-baru ini, sambil tersenyum pahit
Namun nasib berubah ketika Eri bergabung dalam program UMKM binaan PT AR yang menjadi bagian dari Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Ia mendapatkan pelatihan bisnis, alat produksi, bahkan legalitas usaha seperti PIRT dan sertifikasi halal.
Sekarang, dapurnya lebih dari sekadar tempat memasak. Ia menjadi sumber penghidupan yang mampu menyekolahkan anak-anaknya.
“Dulu saya menggantungkan hidup pada belas kasihan. Sekarang saya bisa berdiri sendiri,” katanya, matanya berbinar.
Cerita serupa datang dari Sri Dewi Juliani Sembiring, seorang janda dari Desa Batu Hula. Setelah suaminya meninggal, usahanya sempat mati suri. Tapi dengan pendampingan PT AR, ia kembali menemukan arah.
“Saya dulu pikir sudah habis. Tapi ternyata, kehilangan itu malah jadi titik awal,” ujarnya lirih.
Usaha keripik pisang “Bunda 2R” miliknya kini menjangkau pasar luar daerah. Ia tak hanya bangkit secara ekonomi, tapi juga secara psikologis—menjadi panutan dan penyemangat bagi perempuan lain di desanya.
Menurut Katarina Siburian Hardono, Senior Manager Corporate Communications PT AR, pendekatan yang mereka ambil bukan sekadar bentuk CSR simbolik.
“Kami percaya bahwa tambang bukan hanya soal menggali emas, tapi menggali potensi manusia dan alam secara berkelanjutan.
Keberhasilan Bu Eri dan Bu Sri Dewi adalah keberhasilan kita bersama,” ungkap Katarina.
Kini, lebih dari 50 UMKM kuliner telah didampingi. Tidak hanya untuk berkembang, tapi untuk membangun ekosistem kewirausahaan lokal yang kuat dan mandiri.
Sementara itu, di balik rapat-rapat teknis dan pelatihan konservasi, para ilmuwan BAP terus menjaga komitmennya untuk menjadi perisai bagi yang tak mampu membela diri. Hutan, satwa, dan generasi masa depan.
Cerita dari tambang Martabe bukan tentang dua kutub yang saling bertentangan, tetapi tentang bagaimana jalan tengah bisa ditempuh. Antara keberlanjutan dan pertumbuhan, antara alam dan manusia, antara batu dan hati.
Mereka yang menjaga hutan, sejatinya sedang menjaga napas kita sendiri. Dan mereka yang menyalakan dapur, sejatinya sedang menyalakan harapan.
(HIH/BR)