Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provsu. (Analisadaily/Mulyadi Hutahaean)
Analisadaily.com, Medan - Seiring meningkatnya perhatian dunia terhadap isu perubahan iklim, sejumlah provinsi di Indonesia mulai memanfaatkan perdagangan karbon sebagai sumber pendapatan baru. Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pun tidak ingin ketinggalan dan kini tengah berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui skema perdagangan karbon yang sedang berkembang.
Beberapa provinsi sudah lebih dahulu terlibat dalam mekanisme ini, seperti Jambi, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Papua Barat Daya. Masing-masing memiliki strategi, mulai dari menjaga kelestarian hutan, mengembangkan potensi mangrove, hingga menjalin kerja sama dengan pemerintah pusat dan sektor swasta.
Di antaranya, Jambi menerapkan konsep perdagangan karbon internasional berbasis pelestarian hutan, sementara Kalimantan Timur berpotensi menjadi pusat perdagangan karbon karena perannya sebagai penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN). Sulawesi Utara mengoptimalkan potensi karbon dari mangrove dan terumbu karang, sedangkan Papua Barat Daya memperkuat komitmen pengurangan emisi melalui pengelolaan hutan lestari.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumut, Heri W Marpaung, mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi fondasi penting untuk membangun ekosistem perdagangan karbon yang kuat dan selaras dengan standar internasional.
Menindaklanjuti aturan tersebut, katanya, Pemerintah Provinsi Sumut tengah merancang Peraturan Daerah (Perda) terkait emisi karbon. “Perdagangan karbon memiliki nilai ekonomis yang bisa menjadi sumber PAD bagi Sumut,” ujar Heri kepada Analisadaily.com, Rabu (19/11/25).
Heri menambahkan, Pemprov Sumut mendorong pemerintah kabupaten dan kota untuk menjaga serta melestarikan hutan mangrove di wilayah pesisir. Upaya rehabilitasi mangrove menjadi salah satu fokus utama Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) yang ia pimpin.
Dia menyebutkan, beberapa provinsi seperti Kalimantan Barat dan Jambi telah memiliki Perda terkait emisi karbon, dan diharapkan Sumut segera menyusul. Sosialisasi kepada pemerintah kabupaten/kota telah dilakukan, termasuk dukungan anggaran dari pemerintah pusat dan provinsi untuk rehabilitasi mangrove.
“KKMD bersama Kementerian Kehutanan dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) akan bekerja sama. Targetnya, pada 2026 mekanisme perhitungan karbon dari mangrove—termasuk luas areal dan pertumbuhan—sudah berjalan. Hasil perdagangan karbon nantinya akan dirupiahkan karena nilai penyerapan karbon dihitung dalam kurs dolar,” ujar Heri optimistis.
Seperti diketahui, pemerintah pusat saat ini membuka ekosistem pasar karbon berintegritas tinggi untuk mendorong investasi iklim dan menciptakan peluang ekonomi hijau. Perpres No. 110 Tahun 2025 memastikan pengukuran pengurangan emisi yang kredibel sekaligus memberikan manfaat sosial dan lingkungan yang nyata.
Regulasi tersebut menjadi langkah besar bagi Indonesia dalam membangun pasar karbon yang transparan dan menarik bagi investor. Menteri Kehutanan RI Raja Juli Antoni mengatakan pemerintah menargetkan transaksi karbon mencapai 7,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 120 triliun per tahun. Ia memastikan setiap ton emisi dapat ditelusuri, diverifikasi, dan dipertanggungjawabkan.
Berita kiriman dari: Mulyadi Hutahaean