Analisadaily.com, Medan – Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Sumatera Utara Ir Yahdi Khoir Harahap yang juga Wakil Ketua Komisi D DPRD Sumut menyerukan kuat agar bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah daerah di Sumatera Utara menjadi pelajaran berharga sekaligus momentum perubahan dalam pengelolaan lingkungan dan tata ruang.
Dalam keterangannya di gedung DPRD Sumut, Kamis (4/12/2025), ia menjelaskan bahwa cuaca ekstrem dan curah hujan luar biasa yang terjadi saat ini sebenarnya telah diprediksi oleh BMKG sejak 2–3 minggu sebelum terjadinya bencana. Fenomena atmosfer seperti siklon disebut memberi pengaruh besar khususnya di wilayah Sumatera bagian barat, mulai dari Aceh, Sumatera Utara hingga Sumatera Barat.
“Peringatan BMKG itu seharusnya meningkatkan kewaspadaan kita. Tetapi harus kita akui, kesiapan kita masih kurang—baik pemerintah, masyarakat, maupun perangkat penanggulangan bencana,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tingginya intensitas hujan bukan satu-satunya penyebab besar kerusakan yang terjadi. Aktivitas manusia, baik yang legal maupun ilegal, turut memperparah keadaan.
Menurutnya, terdapat tujuh perusahaan—baik tambang, PLTA/PLTMH, maupun perkebunan—yang diduga beroperasi di kawasan yang rentan dan memberi kontribusi pada kerusakan hutan serta alur sungai.
“Eksplorasi dan eksploitasi pasti merusak hutan, itu fakta ilmiah. Kita tidak perlu saling menyalahkan, tetapi harus jujur melihat persoalannya,” tegasnya.
Namun, ia menolak keras penggunaan isu ini untuk mempolitisasi atau menyudutkan tokoh tertentu, termasuk Menteri atau pejabat periode sebelumnya.
“Tidak fair mengaitkan bencana ini dengan sosok Pak Zulkifli Hasan. Izin-izin konsesi hutan itu sudah ada dari masa ke masa, lintas pemerintahan. Dosa lingkungan ini adalah dosa kolektif kita sebagai bangsa,” katanya.
Usulkan Moratorium Izin Konsesi
Melihat meningkatnya risiko bencana, Ketua Fraksi PAN ini mengusulkan moratorium pemberian izin konsesi, terutama izin tambang dan penggunaan kawasan hutan yang belum berjalan penuh.
“Banyak kepala daerah sebenarnya sudah melihat bahaya ini lebih dulu. Mereka sudah bersurat untuk meminta agar penerbitan izin ditunda. Kita harus apresiasi langkah-langkah antisipatif seperti ini,” ujarnya.
Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Batubara, di mana ada alur sungai diduga dialihkan, ditanami, bahkan dipotong untuk akses tertentu sehingga memperparah kerusakan saat banjir terjadi.
Kerusakan infrastruktur akibat bencana disebut sangat parah, termasuk lima titik jalan rusak sepanjang kurang lebih 18 kilometer di Batubara. Untuk itu, ia menilai Pemprov Sumut tidak bisa bekerja sendiri.
“Rehabilitasi ini butuh dukungan pusat. Ada jalan nasional yang rusak, ada akses vital yang putus. Kita tidak boleh membiarkan Sumatera Utara memikul beban ini sendirian,” jelasnya.
Ia menyampaikan bahwa Komisi D DPRD Sumut pada akhir tahun ini akan berkomunikasi langsung dengan Kementerian PUPR untuk meminta bantuan anggaran dan intervensi terutama pada wilayah-wilayah terdampak paling berat. Ia juga berharap tunjangan keuangan daerah (TKD) untuk Sumut tidak dikurangi, agar pemulihan bisa berjalan maksimal.
Mengakhiri keterangannya, ia mengajak semua pihak untuk berhenti saling menyalahkan dan mulai bersatu memperbaiki tata kelola lingkungan.
“Bencana ini bukan untuk mencari kambing hitam. Ini panggilan alam agar kita lebih arif dan bertanggung jawab. Tugas kita adalah memastikan kejadian ini tidak terulang, dan itu hanya bisa dilakukan dengan kerja bersama: pemerintah, swasta, dan masyarakat.”
Ia menegaskan, Sumatera Utara harus bangkit dengan kebijakan yang lebih bermoral, lebih ilmiah, dan lebih berpihak pada keselamatan rakyat.
“Ini bukan sekadar bencana. Ini titik balik bagi kita semua,” tegasnya.
(NAI/NAI)










