Suara Lirih dari Sibara-bara: ‘Kami Tak Minta Aspal Licin, Hanya Ingin Bisa Melintas’ (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Tapanuli Selatan - Di balik riuhnya pembangunan pusat kota, ada luka yang menganga di Desa Sibara-bara, Kecamatan Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan.
Hingga Kamis (18/12/2025), desa ini masih terbelenggu oleh sisa-sisa banjir yang menyisakan trauma, bukan hanya di ingatan warga, tetapi juga pada tanah yang mereka pijak setiap hari.
Akses jalan yang dulunya menjadi urat nadi kehidupan kini berubah menjadi sungai lumpur sedalam lutut.
Bagi warga, jalan ini bukan lagi sekadar infrastruktur, melainkan sebuah penghalang yang memutus akses mereka terhadap kebutuhan dasar, pendidikan, dan martabat.
Kesedihan paling mendalam terlihat di wajah anak-anak sekolah. Saat anak-anak di daerah lain mulai kembali belajar dengan ceria, sekolah-sekolah di Sibara-bara masih "mati suri".
Halaman sekolah dan ruang kelas yang seharusnya riuh dengan tawa siswa, kini sunyi dan tertimbun lumpur pekat yang belum juga dibersihkan.
"Kami melihat pemandangan yang sangat pilu. Pendidikan terhenti karena akses dan fasilitas yang tidak manusiawi," ujar Arga W., perwakilan mahasiswa dari PK PMII UNISU saat menyalurkan bantuan di lokasi.
Ia tak kuasa menahan kekecewaan melihat kondisi warga yang seolah dibiarkan berjuang sendiri tanpa kehadiran pemerintah.
Di tengah keputusasaan itu, seorang tokoh masyarakat bernama Dalman Nasution menyuarakan harapan yang sangat sederhana—sebuah permintaan yang sebenarnya adalah hak dasar setiap warga negara.
"Kami tidak meminta jalan aspal yang licin," ucap Dalman dengan suara lirih. "Kami hanya minta jalan ini diratakan agar kami bisa melintas, bisa beraktivitas. Kami tidak tahu lagi harus mengadu ke mana."
Ungkapan tersebut menggambarkan betapa rendahnya ekspektasi warga terhadap pemerintah yang selama ini dianggap "tuli" terhadap proposal dan permohonan yang telah berkali-kali mereka ajukan.
Mahasiswa dari berbagai organisasi, termasuk Masyarakat Pelestarian Lingkungan (MAPEL), kini menjadi penyambung lidah bagi warga yang sudah kehabisan kata-kata.
Mereka menuntut keadilan bagi Sibara-bara, menuntut pemerintah untuk tidak hanya sekadar memberikan janji manis atau ucapan belasungkawa.
"Warga butuh batu, butuh pengerasan jalan, butuh akses yang manusiawi," tegas Arwanda Giffari, Ketua MAPEL.
Hingga matahari terbenam di ufuk Tapanuli Selatan, warga Sibara-bara masih harus bertaruh nyawa di atas lumpur demi menyambung hidup.
Mereka masih setia menanti, kapan kiranya tangan pemerintah hadir untuk menarik mereka keluar dari kubangan penderitaan ini.
(RZD)