BEGITU narasumber usai paparan dalam Dialog Pers dengan tema “Penerapan Artificial Intelligence/AI dalam Karya Jurnalistik”, spontan sejumlah pertanyaan muncul dari peserta.
Forum itu digelar Dewan Kehormatan PWI Sumut 15 Desember 2025 di Medan bertujuan agar dalam penerapan AI dalam media setidaknya dua hal tetap terjaga yakni : Berita Akurat dan Terjaga Hak Privasi.
Dalam aktivitasnya, DK PWI menitikberatkan pada sisi etika profesi. Penerapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), taat pada regulasi terkait pers seperti UU Pers, maupun pasal-pasal ITE, KUHP dan lain-lain.
Saya mencatat selama acara ini, antara lain : Menurut Wapemred “Waspada” Drs.H.Sofyan Harahap, meski keberadaan AI dengan banyak positifnya, namun harus dibarengi kehati-hatian. Wartawan harus verifikasi dan wajib beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Tak ada larangan penggunaan AI, sesuai regulasi Dewan Pers, yang juga menyebutkan, harus skeptis atau curiga, karena mungkin saja info mesin AI “salah kaprah”.
Di sini, dibutuhkan sumber daya wartawan profesional, dan kemampuan beradaptasi, ungkap Sofyan.
Kepala Pusat Hak Studi Hak Asasi Manusia (Pusham HAM) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr.Majda El Muhtaj, M.Hum dengan gamblang berkata, wajar jika publik mengatakan AI memiliki sisi ancaman dan atau peluang baru, bagi profesi jurnalis.
Pers harus melakukan investasi keterampilan teknologi berkelanjutan jurnalisme berbasis HAM. Antara lain, pendidikan HAM bagi jurnalis. Komitmen asosiasi profesi dan kekuatan jejaring jurnalis terhadap eksploitasi AI.
Eksploitasi AI dan ketersediaan mekanisme hukum dan etik, patut menjadi perhatian utama kalangan pers. Mengapa ? Karena bukan mustahil akan ada bias serta menjaga kepercayaan publik (trust) terhadap informasi dari media.
Perlu terus memperkuat jejaring lintas generasi untuk mengagregasi transformasi jurnalisme di era digital yang sehat dan bijaksana.
Berikutnya, Dr.Bantors Sihombing, S.Sos, M.Si memancing dengan kalimat awal : AI di ruang redaksi, sebagai alat bantu atau pengganti ?.
AI bagai dua mata pisau, menjanjikan efisiensi luar biasa, namun bisa menggerus nilai-nilai jurnalisme. Kuncinya, harus bijak.
Secara blak-blakan ia menyatakan, dari sisi risiko keamanan data jangan pernah memasukkan data sensitif atau dokumen rahasia maupun nama narasumber anonim ke AI publik. Data itu terekam oleh pengembang dan bisa bocor (Diingatkan oleh Ruby Alamsyah).
Hal lain. AI dilatih dari data internet. Jika data latihnya bias, hasilnya akan bias yakni melanggar KEJ tentang SARA. Selain itu waspadai risiko pelanggaran Hak Cipta pada gambar atau teks yang dihasilkan.
TIGA narasumber ini menjawab pertanyaan peserta dengan gamblang. Bahkan mereka senada berpendapat, AI tidak dapat menggantikan kerja-kerja jurnalis profesional.
Dari forum ini, saya terlihat pembahasan tentang AI terkait media, masih menjadi pokok pembicaraan utama. Artinya, ada beberapa sisi penerapan AI perlu digarisbawahi redaksi agar tidak terjadi pelanggaran KEJ maupun regulasi lain.
Mungkin Dewan Pers dan organisasi kewartawanan dan wadah media siber yakni PWI, AJI, SMSI, AMSI, JMSI, bolehlah mengadakan forum-forum agar wartawan membahas dan menerima masukan akurat tentang sisi penerapan AI dalam karya jurnalistik.











