Makna Festival Bulan Hantu bagi Masyarakat Tiongkok

SEPERTI masyarakat lain di seluruh dunia, masyarakat Tiong­hoa pun memiliki tradisi yang telah berusia ribuan tahun, khusus ber­kai­tan dengan orang yang telah me­ninggal dunia atau dunia arwah. Me­nurut kepercayaan rakyat Tiong­­kok yang populer pada masa itu, juga mengatur hal-hal yang ber­­kaitan dengan hantu yang gen­tayangan di bumi.

Sembahyang leluhur juga dapat dilakukan sepanjang bulan 7 Imlek.

Saat para arwah ‘datang’ di bu­lan ke 7 penanggalan lunar, di Bu­lan Hantu (Gui yue), atau (Qi yuè), dibutuhkan serangkaian upa­cara ritual khusus sebagai tindakan pre­ventif. Festival hantu lapar me­ru­pakan salah satu kearifan lokal dan merupakan perayaan terpen­ting dari seluruh pe­rayaan di bulan hantu.

Festival ini disebut dengan sem­bahyang rebutan.

Dalam budaya Barat, ini sama seperti festival Halloween, yang dapat dijumpai di sejumlah negara yang dirayakan setiap tanggal 31 Oktober.

Kostum seram, permen, serta labu jack-o’-lantera merupa­kan hal-hal yang selalu ada dan menjadi ikon dalam festival ini.

Festival Halloween malah jauh lebih populer ketimbang “Hungry Ghost Festival” bagi etnis Tiong­hoa sendiri. Tidak sedikit juga yang mencela bahwa tradisi ini dianggap berhala. Padahal mereka enjoy saja ketika melakukan festival yang serupa versi ba­rat.

Festival Bulan Hantu dirayakan pada tanggal 15 bulan 7 penang­galan lunar. Dalam penanggalan in­ternasional, perayaan ini biasa­nya akan jatuh di antara bulan Juli atau Agustus. Di Tiong­kok bagian se­latan, festival bulan hantu dira­yakan pada malam tanggal 14 bulan 7 penanggalan lunar.

Sembahyang rebutan untuk memperingati hari arwah umum, diperingati setiap tanggal 15 bulan 7 Imlek.

Dikatakan bahwa masyarakat di sana merayakan festival tersebut 1 hari lebih awal sebagai antisipasi agar tidak diganggu oleh arwah, sepanjang periode hari-hari yang ku­rang menguntungkan tersebut.

Festival Bulan Hantu merupa­kan salah satu dari beberapa pera­yaan tradisi persembahya­ngan ke­pa­da leluhur. Perayaan lainnya me­liputi Festival Musim Semi, Festival Cheng Beng dan Festival Chong Yang. Sebutan untuk Festival bulan hantu adalah Festival Zhongyuan; Zhong yuan jie), se­mentara dalam ajaran Buddha disebut Festival Yulanpen.

Menurut kepercayaan, sebuah ritual khusus perlu diadakan agar para hantu jangan sampai meng­ganggu, misalnya dengan menaruh papan arwah/foto leluhur di atas meja, membakar dupa di dekatnya, dan menyiapkan persembahan berupa makanan pada hari itu. Upacara ritual utamanya diadakan pada siang hingga sore hari.

Disajikan

Piring-piring persembahan yang berisi makanan disajikan di atas me­ja bagi para arwah.

Selain itu orang juga melakukan pai gui atau sembahyang sambil berlutut/bersujud di depan papan arwah/foto sebagai sebuah bentuk peng­hormatan dan tanda bakti.

Sebagian masyarakat juga ikut “berpesta” di malam tersebut. Se­buah kursi diletakkan dan sedikit ruang kosong di atas meja di­sisih­kan bagi arwah leluhur yang da­tang. Masyarakat Tionghoa per­caya para hantu yang kelaparan mu­lai bergentayangan di bumi se­jak awal 15 hari sebelum hari pera­yaan, hingga 2 minggu setelahnya.

Giam Lo Ong dipercaya se­bagai Raja Neraka oleh masya­ra­kat Tionghoa.

Festival Hantu Lapar merupa­kan satu dari beberapa hari pe­rayaan penting dari Bulan Hantu (Gui yue), yaitu bulan ke 7 dari pe­nanggalan lunar.

Diyakini bah­wa arwah dari para leluhur akan dibebaskan keluar dari neraka pada hari pertama di bulan tersebut.

Dari 12 bulan dalam setahun, inilah bulan yang paling ditakuti sejak ratusan tahun yang lalu.

Bagi sebagian orang, mereka cenderung menghindari kegiatan renang, berada sendirian di malam hari, supaya jangan sampai dikejar dan ditakuti oleh para hantu. Selain itu, orang-orang juga cenderung meng­hindari untuk melakukan per­nikahan di bulan ini, dan perjalanan wisata de­ngan transportasi pesawat dan kapal laut.

Para hantu diyakini akan meng­ganggu manusia karena iseng atau marah. Masyarakat Tionghoa sen­diri memiliki beberapa tradisi ter­tentu berkaitan de­ngan apa yang harus dilakukan di hari pertama, pada tanggal 14 & 15 Festival bulan hantu, serta di hari terakhir dari bulan yang khusus ini.

Pada hari pertama di Bulan Han­tu, orang-orang akan membakar uang-uangan kertas (uang arwah) dan kertas perak di luar rumah, tempat usaha, sepanjang tepi jalan atau di lapangan. Kadang mereka melakukannya dengan mendatangi kuil atau kelenteng untuk meminta perlin­dungan.

Uang

Jika mengunjungi Tiongkok pada periode ini, orang akan men­jumpai masyarakat yang disi­buk­kan oleh kegiatan ini dengan dite­mu­kannya abu sisa uang arwah yang terbakar berserakan. Para ar­wah dibekali dengan uang yang me­reka butuhkan sepanjang bulan ini, agar tidak berkekurangan di alamnya.

Selain membakar uang2an ker­tas, masyarakat juga menyala­kan dupa sebagai bentuk penghor­ma­tan, memberikan berbagai maka­nan sebagai persembahya­ngan ke­pada para hantu yang marah karena lapar.

Diyakini bahwa setelah mema­kan makanan yang disajikan dan dibekali dengan uang yang cu­kup, maka para hantu tidak akan me­lukai atau mengganggu manu­sia. Di beberapa tempat sebagian orang akan memasang lampion ker­tas berwarna merah, termasuk di area bisnis dan area tempat tinggal.

Di pinggir jalanan umum, pasar, dan di kuil/kelenteng berlangsung upacara-upacara seremonial. Ba­nyak yang percaya bahwa sangat­lah penting menenangkan para ar­wah, agar terhindar dari gangguan hantu.

Hari terakhir di bulan ke 7 ditan­dai pula dengan perayaan yang khu­sus. Inilah hari dimana gerbang ne­raka (Diyu) akan ditutup kem­bali. Masyarakat me­rayakan dan men­jalani perayaan hari terakhir ini dengan berbagai cara. Orang-orang akan membakar lebih banyak uang-uangan kertas dan pakaian, agar para hantu dapat menggu­na­kannya di alamnya.

Banyak keluarga yang me­nga­pungkan lampion berwarna warni, yang terbuat dari kayu dan kertas ke sungai dari atas perahu di malam hari. Para keluarga menuliskan na­ma-nama leluhur mereka pada lam­pion. Dipercaya bahwa para han­tu akan pergi mengikuti lampion yang me­ngapung di sungai. Perayaan sembahyang rebutan di sebagian tempat biasanya dila­kukan di rumah abu sebagai bentuk peng­hor­matan kepada arwah umum. (thi/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi