Medan Mulai Intoleran?

medan-mulai-intoleran

Oleh: Deddy Kristian Aritonang.

Akhir-akhir ini entah mengapa kita se­makin lama semakin alergi terhadap yang namanya kemajemukan. Di­kotomi ma­yo­ritas dan minoritas semakin me­ngi­kis ke­har­monisan beragama. To­leransi antar pe­meluk agama yang berbeda mu­lai dianggap hanya sebatas fatsun se­mata. Pemeluk agama lain yang men­jalankan ibadah sering dicap meresahkan dan mengganggu.

Menjadi mayoritas sekarang ini seperti mendapat legitimasi tidak tertulis untuk menindas minoritas. Sebut saja pembu­ba­ran Tradisi Sedekah Laut di Bantul, pe­motongan nisan berbentuk salib di Yog­yakarta, dan yang baru-baru ini terjadi di kawasan Martubung, Medan. Sekolompok ma­syarakat membubarkan kebaktian je­maat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Fi­ladelfia Griya Martubung pada hari Minggu, 13 Januari 2019. Semua peristiwa intoleran ini terjadi dalam kurun waktu yang ber­dekatan. Maka sudah sepantasnya kita bertanya: bagaimana nasib wajah to­leransi di negeri ini pada masa-masa men­datang? Masih bisakah kita hidup damai dan berdampingan walau berbeda keyakin­an?

Dalam kasus pembubaran aktifitas ibadah GBI Filadelfia Griya Martubung, dari video amatir yang beredar di media sosial, tampak bagaimana perlakuan kasar secara verbal oleh oknum-oknum yang ditengarai melarang berlangsungnya ibadah kepada para jemaat. Massa berteriak ‘tutup-tutup’ berulang kali dan berusaha masuk.

Informasi terakhir menyebutkan bahwa aktifitas peribadahan GBI Filadelfia yang beralamat di Jalan Permai 4 Blok 8, Griya Martubung itu pada akhirnya dihentikan untuk sementara. Hal ini terjadi setelah adanya ‘kesepakatan’ antara warga Blok 8 Komplek Griya Martubung, Lingkungan 20, Kelurahan Besar, Kecamatan Medan La­buhan dengan pihak jemaat GBI Fila­delfia yang difasilitasi Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Ikhwan Lubis, di Mapolres Pelabuhan Belawan pada Selasa 15 Januari. Pemko Medan, yang diwakili pihak kecamatan, akan mencari tempat baru bagi jemaat untuk beribadah. (sumber: Medanbisnisdaily.com).

Kata kesepakatan di atas sengaja saya berikan tanda petik. Karena seperti yang sudah-sudah, pihak minoritas akan cen­derung mengalah dan menuruti permintaan massa (baca : mayoritas). Mereka harus mau menerima keputusan semisal meng­hen­ti­kan peribadahan di lokasi yang diprotes hingga kerelaan untuk pindah tempat beribadah sesuai tuntutan warga.

Memang harus diakui, tidak ada asap kalau tidak ada api. Pun demikian dengan kasus ini. Dilansir dari Tribunnews.com (Senin, 14/01/2019), pembubaran jemaat yang sedang beribadah disinyalir karena selama dua bulan terakhir, bangunan rumah ber­alih fungsi menjadi gereja. Izin pen­dirian gereja juga dilaporkan masih belum ada. Satu sisi memang peribadahan tanpa izin pastinya tidak sesuai regulasi yang ber­laku. Tapi di sisi lain, yang menjadi per­tanyaan : apakah warga berhak mela­kukan pelarangan apalagi pembubaran terhadap aktifitas ibadah terlepas dari izin yang belum dilengkapi? Bukankah izin men­dirikan rumah ibadah adalah wewe­nang pemerintah?

Ini yang bagi saya cukup meng­kha­watirkan. Sekiranya pihak jemaat GBI Fila­delfia memang belum mendapatkan izin pendirian rumah ibadah pun, bukan berarti aktifitas keagamaan mereka bisa dibu­bar­kan. Apalagi dengan gestur-gestur yang pro­vokatif seperti yang terlihat dalam video amatir tadi. Toh, yang para jemaat lakukan ha­nya sekedar menjalankan ibadah. Ke­cuali dalam pelaksanaan ritual ibadah itu, para jemaat mengancam kehidupan orang lain atau menyebarkan paham radikalisme yang jelas-jelas bertentangan dengan ideologi NKRI, maka sewajarnya memang harus dibubarkan. Itu pun harus melalui aparat keamanan yang berwenang. Bukan masyarakat sipil! Intimidasi seperti yang dilakukan massa adalah bentuk main hakim sendiri yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

Seharusnya persoalan seperti ini bisa diselesaikan dengan komunikasi lintas agama yang manusiawi dan bermartabat. Bukan dengan tindakan, yang menurut saya, rentan memicu terjadinya tindakan anarkis. Lagi pula kebebasan beragama dan menganut kepercayaan merupakan hak semua warganegara seperti yang termakh­tub dalam Pancasila dan UUD 1945.

Setiap kali terjadi kasus pelarangan dan pembubaran kegiatan keagamaan, yang selalu menjadi perhatian kita bersama tentunya adalah aturan-aturan yang digariskan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 atau yang dikenal dengan SKB 2 Menteri No 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Pada artikel opini saya yang berjudul ‘Hak Minoritas Dikebiri (Lagi)’ di Harian Analisa, Jumat 5 Oktober 2018 silam, saya sudah menuliskan kalau rumusan-rumusan tentang pendirian rumah ibadah dalam aturan ini sangat mempersulit kaum minoritas. Maka tak heran jika SKB 2 Menteri ini sering dianggap pasal karet dan kerap dituntut agar segera dihapuskan. Mengapa dianggap sebagai pasal karet? Karena kenyataannya pasal ini sangat rentan dijadikan tameng oleh pihak-pihak tertentu yang anti pada keberanekara­gaman agama untuk melarang pembangunan rumah Ibadah pemeluk agama lain.

Kita mesti menerima realita yang tidak mengenakkan bahwa kebanyakan masya­ra­kat kita masih belum mampu mene­rima perbedaan dengan berjiwa besar terutama yang menyangkut soal agama. Lihat saja kolom-kolom komentar portal berita online yang memberitakan kasus ini. Komentar-komentar warganet yang kurang lebih menyatakan bahwa minoritas harus tunduk pada mayoritas cukup banyak ditemu­kan. Ini benar-benar membahayakan sekaligus membuktikan bahwa ‘mabuk agama’ telah merampas nalar bertoleransi yang selama ini kita banggakan sejak dulu.

Ya, dulu kita begitu menghargai per­bedaan. Saya teringat pada masa kecil. Ketika di rumah teman saya yang beragama Islam diadakan Wirid, selepas acara, orangtua teman saya suka membagi-ba­gikan kue-kue pada kami, tanpa me­man­dang perbedaan agama. Demikian pula ketika di rumah saya digelar acara Kebak­tian Doa (Partangiangan), maka giliran keluarga saya yang mengantar kue-kue ke rumah tetangga saya yang Muslim. Ini berlaku juga saat Hari Raya Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Bahkan, berbalas kun­jungan silaturahmi seperti menjadi agenda rutin yang tidak boleh dilewatkan. Semua saling bersalaman dan saling me­maafkan. Kerukunan benar-benar terjaga. Belakangan pandangan intoleran mulai dianut oleh banyak masyarakat kita. Ada saja oknum-oknum yang sering ‘gerah’ melihat eksistensi agama lain di daerah tempat mereka tinggal.

Keberadaan SKB 2 Menteri, suka atau tidak, telah sering mengakomodir sikap intoleran oknum-oknum yang suka meng­hakimi penganut agama yang berbeda. Mereka merasa punya power yang lebih untuk mengatur kehidupan beragama kaum minoritas di balik aturan ini. Jika pencabutan SKB 2 Menteri tidak segera dilakukan, saya khawatir masalah yang sama akan terjadi di tempat-tempat lain dan ujung-ujungnya akan merenggut sikap toleransi beragama di negara kita.

Dengan kejadian ini, kita harus semakin me­waspadai peristiwa intoleran yang mulai me­rasuki Kota Medan. Medan selalu di­kenal sebagai daerah yang sangat menjun­jung tinggi perbedaan agama. Selama ini kebebasan menjalankan ibadah di kalangan umat beragama begitu dihormati. Itulah sebabnya kota ini sering diberi label sebagai miniatur Indonesia. Karena di sini penduduknya benar-benar beranekaragam, baik agama maupun etnis dan saling menghargai satu sama lain. Jika kemudian perilaku intoleran mulai muncul, sudah sepantasnya kita mengambil sikap tegas. Intinya hanya satu : Medan harus tetap toleran! ***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi