Orangutan yang disita dari sebuah rumah di Dusun Kwala Nibung, Desa Pula Rambung, Kecamatan Bahorok, Langkat (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi, khususnya orangutan masih terjadi.
Jelang akhir tahun 2019 masyarakat Sumatera Utara dikagetkan dengan penyitaan sepasang anak orangutan dari seseorang yang tidak diketahui identitasnya.
Seorang pria di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, menyerahkan sepasang orangutan jantan dan betina yang usianya diperkirakan tiga tahun disebutnya berasal dari Tapak Tuan, Aceh. Pria ini mengaku mendapatkannya dari seorang anggota Komunitas Pecinta Burung Berkicau di Langkat.
Orangutan kemudian dibawa ke Pusat Konservasi Orangutan Sumatera di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang itu diberi nama Marelan dan Marleni oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), Hotmauli Sianturi.
Awal tahun 2020, di sebuah rumah di Dusun Kwala Nibung, Desa Pula Rambung, Kecamatan Bahorok, Langkat, Sumatera Utara, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser menyita sepasang orangutan jantan dan betina berusia dua dan satu tahun.
Butuh waktu hampir satu bulan untuk Balai Gakkum Wilayah Sumatera menangkap pelaku yang menurut Kepala Seksi Wilayah I, Haluanto Ginting sempat melarikan diri. Petugas berhasil menangkap pelaku di rumah orang tuanya di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumut.
Pada 27 Januari 2020, terungkap di rumah dinas Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan terdapat satu individu orangutan yang menurut informasi diserahkan oleh warga sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Belum sempat disita BBKSDA Sumut, orangutan tersebut 'dilepasliarkan' ke alam tanpa dampingan pihak otoritas.
Rentetan kasus tersebut menunjukkan masih maraknya perburuan dan perdagangan orangutan. Penegakan hukum terkait hal tersebut juga masih perlu dikuatkan. Apalagi jika ditambahkan dengan kasus-kasus di tahun-tahun sebelumnya, akan bertambah panjang.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan menilai, sudah waktunya penegakan hukum bagi pelaku kejahatan terhadap satwa diperkuat. Tidak cukup hanya dilakukan secara persuasif.
Menurutnya, di Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Hayati, tidak ada perbedaan antara memburu, melukai, memelihara, memiliki, membunuh, memperdagangkan, kedudukannya sama.
Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya edukasi yang menyeluruh akan membuat perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi ini terus saja terjadi. Belum lagi kehancuran hutan yang menjadi habitat satwa belum juga terkendali.
"Oleh karena itu, konflik manusia dengan satwa akan semakin tinggi bahkan kepunahan juga akan segera terjadi jika tidak ada perbaikan," katanya di Medan, Jumat (27/3).
Dana menyebut, dalam hal penguatan terkait penegakan hukum, Walhi Sumut siap untuk dilibatkan mulai dari mitigasi, investigasi, kampanye dan membangun gerakan bersama untuk memutus rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi.
"Intinya, kita siap melibatkan diri ataupun dilibatkan dalam gerakan bersama menghentikan rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi," tegasnya.
(RZD/EAL)