Ancaman Nyata Pekerja Pers di Tengah Pandemi

Ancaman Nyata Pekerja Pers di Tengah Pandemi
Ilustrasi. (Pixabay/Andy Leung HK)

Analisadaily.com, Jakarta – Memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia pada Minggu, 3 Mei 2020, Lembaga Bantuan Hukum Pers, menyampaikan beberapa catatannya tentang kondisi pers di Indonesia, termasuk di tengah pandemi Corona, yang dihadapi saat ini.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudi, menyampaikan tiga catatan pentingnya yang kini menjadi ancaman nyata bagi pekeja pers. Pertama, seiring terus meluasnya penyebaran wabah, kondisi perekonomian ikut terpuruk. Tidak terkecuali perusahaan media yang juga ikut terkena dampak.

“Para jurnalis yang mestinya menjadi garda terdepan menjamin informasi yang akurat terkait penyebaran Corona sampai ke publik, juga menghadapi ancaman serius. Selain virus itu sendiri, mereka juga dihantui bayang-bayang pemutusan hubungan kerja pemotongan gaji, penundaan hingga dirumahkan,” kata Ade dalam siaran persnya, Minggu (3/5).

Menurut dia, persoalan ketenagakerjaan seperti PHK sepihak, Upah kerja yang rendah, gaji yang telat dibayar, dan kekerasan fisik sebenarnya sudah menjadi permasalahan serius bagi pekerja media di Indonesia hingga saat ini.

Namun, lanjutnya menjelaskan, pandemi Corona laiknya virus yang memperparah kondisi kesejahtraan jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Indonesia. Posko pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang dibuka LBH Pers dan AJI Jakarta sejak 3 April hingga 2 Mei 2020 telah menerima 61 pengaduan pelanggaran ketenagakerjaan.

“Pengadu tersebar dari 14 media atau grup media yang berkantor di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dengan rincian aduan, 26 orang karena PHK sepihak, 21 orang di rumahkan tanpa gaji atau dengan pemotongan gaji, 11 orang mengalami pemotongan/penundaan upah atau tunjangan, serta 3 lainnya tak dapat meliput selama pandemi,” papar Ade.

Maraknya perusahaan media melakukan PHK kebanyakan berdalih karena adanya pandemi sebagai force majeur atau keadaan darurat. Namun berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik UU Ketenagakerjaan maupun aturan pelaksanaannya telah mengatur hal tersebut.

Kata Ade, alasan force majeur tidak dapat serta merta digunakan untuk menghalalkan PHK ataupun pemotongan dan penundaan gaji. Misalnya force majeur sebagai alasan PHK, diatur dalam Pasal 164 ayat (1).

“Pasal ini mensyaratkan, PHK karena alasan force majeur hanya jika perusahaan bersangkutan tutup secara permanen atau tidak lagi beraktifitas,” kata Ade.

Kedua, kasus kekerasan terhadap jurnalis khususnya ketika meliput terkait COVID-19 juga cukup mengkhawatirkan bagi kebebasan pers tahun ini. Sejak penerapan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Penetapan Bencana Non – Alam, sudah terjadi tiga kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Dua di antaranya dialami dua jurnalis Mohammad Hashemi Rafsanjani dan Dinar saat liputan kejadian warga meninggal dunia diduga kelaparan di masa Pandemi Corona di Banten, 20 April lalu. Keduanya menerima perlakukan intimidasi, penghalangan hingga penghapusan hasil liputan.

Selajutnya, Jurnalis media daring kabardaerah.com, Sahril Helmi, yang diduga mengalami tindakan kekerasan oleh oknum kepala desa Busiu, SHM alias Dirman, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, 1 Mei 2020.

“Tindakan penganiayaan diduga berkaitan dengan pemberitaan yang dilakukan korban mengenai anggaran penanganan Corona di desa tersebut,” kata Ade.

Berdasarkan data Annual Report LBH Pers 2019, tercatat selama 2019 terjadi 79 kasus kekerasan yang dialami jurnalis (75), pers mahasiswa (2) dan narasumber berita (2). Dengan rincian 30 kasus kekerasan fisik, 24 kasus perampasan hingga pengrusakan alat kerja, 22 kasus intimidasi terhadap jurnalis, dan jenis kekerasan lainnya. Maraknya angka kekerasan terhadap jurnalis salah satunya disebabkan masih lemahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis.

Ketiga, agresifnya DPR RI dan Pemerintah mendorong RUU Cipta Kerja dan RKUHP untuk segera disahkan memperburuk kondisi kebebasan pers. Telah menjadi kecaman publik bahwa kedua rancangan regulasi tersebut memiliki masalah yang cukup serius.

Kebebasan pers sendiri, UU Pers menjadi salah satu UU yang direvisi. Dalam perubahan terdapat upaya Pemerintah mengintervensi pers melalui adanya aturan turunan di bawah UU Pers mengenai sanksi.

“Sedangkan RKUHP, di dalamnya masih banyak pasal-pasal yang bermasalah dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis seperti beberapa pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, berita bohong, contempt of court,” papar Ade.

Atas dasar itu, LBH Pers medesak mendesak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk memerintahkan Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan, mengawasi pelanggaran ketenagakerjaan di sektor industri pers.

Tidak hanya itu, Ade juga menyampaikan supaya ‎Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menindak tegas dan memproses hukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Dan ‎Kemenkumham untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RKUHP.

‎Desakan lainnya, meminta Jokowi agar memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera menghentikan dan membatalkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan menghapuskan pasal-pasal bermasalah di Rancangn Kitab Undang Hukum Pidana.

Dalam siaran persnya, ia juga menyampaikan, desakan bukan hanya ditujukan kepada pemerintah namun juga kepada ‎Perusahaan Pers untuk melakukan musyawarah mufakat dengan pekerja, jika ada hambatan ekonomi serius di dalam perusahaan, sehingga meminimalisir konflik dan menciptakan kepercayaan pada pekerjanya.

‎”Jurnalis untuk tetap patuh pada kode etik jurnalistik khususnya dalam melakukan peliputan peristiwa Covid-19. Tetap utamakan keselamatan diri karena tidak ada berita seharga nyawa,” kata Ade.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi