BPNB Aceh Meneliti Dampak Penetapan WBTBI di Sumatera Utara

BPNB Aceh Meneliti Dampak Penetapan WBTBI di Sumatera Utara
Pelaku budaya, Thompson Hs menyerahkan buku 'Sisingamangaraja, Pemersatu Batak di Toba' kepada Kepala BPNB Aceh, Irini Dewi Wanti di Medan, Senin (24/8). (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh berinisiatif melakukan kajian untuk melihat dampak penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) di Sumatera Utara.

Sejak terlaksana pada tahun 2013 hingga 2019, WBTBI sudah mensertifikasi 28 karya budaya dari Provinsi Sumatera Utara. Penetapan ini pun diakui banyak kalangan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat pemilik budaya tersebut.

Peneliti dari BPNB Aceh bertemu pihak terkait untuk memperoleh data tentang rencana tindak upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan yang dilakukan pemerintah daerah di Sumatera Utara terhadap karya budaya yang ditetapkan sebagai WBTBI.

Tidak hanya itu, data yang ingin diperoleh juga mengenai dampaknya terhadap pelaku budaya dan masyarakat di Sumatera Utara. Pada prosesnya, para peneliti menyebar angket ke delapan etnis di Sumatera Utara.

Selain itu, dilakukan pula wawancara dengan banyak pihak baik dari birokrasi, komunitas/pelaku budaya maupun masyarakat secara daring atau luring dengan menerapkan protokol Kesehatan.

Kepala BPNB Aceh, Irini Dewi Wanti mengatakan, WBTBI diharapkan bukan sekedar euforia seremonial saat penyerahan sertifikat.

“Akan tetapi, harus ada tindak lanjut pengembangan karya budaya WBTBI itu menjadi ekosistem kebudayaan yang semakin hidup di masyarakat di mana pun karya budaya itu berada,” kata Irini di Medan, Senin (24/8).

Tim Ahli Penetapan WBTBI Pusat, Muhammad Takari menyampaikan, dalam pengamatannya, penetapan WBTBI di Sumatera Utara memiliki dampak posistif di masyarakat.

Sebagai contoh, lanjut Takari menjelaskan, saat ditetapkannya ‘Tor Tor Sombah’ dari Simalungun, masyarakat menyambut dengan bangga. Simalungun secara sosial politis merasa memiliki karya budaya ikonik yang menjadi ciri khas yang membedakannya dengan etnis Batak lainnya di kawasan Danau Toba.

“Saya berharap agar karya budaya yang masih hidup dan populer di masyarakat dapat diprioritaskan karena masih sangat mudah didokumentasikan dan lebih mudah dikembangkan ekosistemnya,” kata Takari.

Pada pertemuan dengan Thompson Hs, sebagai pelaku budaya dan pengelola Diskusi Webinar BPNB Aceh untuk Agustus -September 2020, menganggap pelaku budaya tetap akan berkarya dan beraktivitas dengan atau tanpa penetapan WBTBI.

“Namun penetapan ini menjadi penambah dorongan untuk harapan baru dalam memperoleh perhatian pemerintah, sehingga keduanya bisa saling bersinergi untuk membangun kebudayaan,” ucap Thompson.

Sampai saat ini, kata dia, BPNB Aceh masih terus melakukan pengumpulan data-data. “Semoga penelitian dimaksud dapat melahirkan rekomendasi yang bermanfaat bagi proses pembangunan kebudayaan terutama tindak lanjut penetapan WBTBI di masa mendatang,” harapnya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi