Institut Teknologi Medan (ITM) (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Surat Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof. Nizam, menyebutkan, jika sampai 6 bulan terhitung dari tanggal 26 Agustus 2020, Badan Penyelenggara ITM Yayasan Pendidikan dan Sosial Dwiwarna tidak dapat memastikan hanya ada satu rektor, maka izin peyelenggaraan ITM akan dicabut.
Dalam diskusi terbatas antara mahasiswa dan alumni ITM dengan aktivis LSM dari Gerakan Pembelaan Hak Asasi Manusia dan Bantuan Hukum untuk Masyarakat yang kembali digelar pada sabtu (3/10) di tempat yang sama, di sebuah kafe di kawasan Medan Johor, terungkap, jika sampai izin penyelenggaraan ITM dicabut maka pihak dosen dan mahasiswa adalah pihak yang paling dirugikan. Dosen dan mahasiswa dapat melakukan tuntutan ganti-rugi kepada Yayasan Badan Penyelenggara ITM.
Seorang alumni yang hadir, Jhon Lumban mengatakan, selama menjadi mahasiswa, ia menilai penyelenggaraan ITM oleh yayasan dilakukan dengan mutu yang sangat buruk. Ia menguraikan, sumber belajar ITM bermutu rendah dan di bawah standar pendidikan tinggi, tidak ada pembangunan berarti berupa sarana dan prasarana yang diperlukan, ada lahan dan bangunan berplang ITM yang hilang, tidak ada laporan akademik dan non-akademik yang dipublikasikan sebagai wujud transparansi, akuntabilitas, non-komersial, dan efisiensi anggaran.
“Dosen-dosen tetap yayasan yang semestinya purna waktu mengajar, ada yang bertugas sebagai hakim ad-hoc, namun bisa mengajar banyak mata kuliah. Ada yang mengajar di Malaysia, sehingga hanya mengajar di ITM 2 kali sebulan. Bahkan, ada dosen yang berstatus izin belajar di Inggris tetapi bisa bertugas aktif di ITM. Dapat tunjangan sertifikasi dosen pula. Entah yang mana tugas tetap, entah mana pula tugas sampingan,” terangnya, dalam keterangan resmi diperoleh
Analisadaily.com, Minggu (4/10).
Alumni lainnya, Hafiff menyambung, ada yang tidak punya sertifikat dosen, tetapi bisa mengajar beberapa mata kuliah, bahkan jadi pembimbing utama skripsi. Menurutnya, mereka semua hanya mementingkan dirinya dan merugikan mahasiswa. Tidak heran kalau akreditasi ITM sangat rendah (C). Gara-gara peringkat rendah ini, tentu banyak pula alumni ITM sangat sulit mendapat pekerjaan.
“Ini semua terjadi pada periode rektor-rektor terdahulu. Sekarang ini, mereka pula yang bertele-tele menyelesaikan masalah kepemimpinan ITM,” sebutnya.
“Jika ITM dicabut izinnya, maka para dosen tetap yayasan sudah pasti kelabakan mencari home-base yang baru di Perguruan Tinggi Swasta lainnya. Ribuan mahasiswa akan kerepotan mencari tempat pindahan yang sesuai dengan program studinya. Mereka akan menerima risiko harus terlambat menyelesaikan studi. Para orang tua mereka akan kesulitan menutupi biaya-biaya tambahan akibat anak-anaknya harus pindah tempat kuliah,” sambungnya.
Sementara itu, Asep Malik, mewakili mahasiswa mengungkapkan, setelah Surat Dirjen turun pun, Plt. Rektor bersama beberapa Ketua Program Studi malah bersikeras masih melaksanakan semester pendek. Dalam semester pendek selama 2 bulan itu ada pula dosen bergelar Doktor yang mengajar sampai 6 mata kuliah.
“Setiap mahasiswa yang ikut semester pendek harus bayar untuk setiap mata kuliah. Selain itu, dilakukan pula seminar hasil penelitian dan ujian tugas akhir dengan menarik uang dari para mahasiswa untuk setiap grup. Bahkan dalam 1 minggu saja, ada program studi yang melaksanakan ujian skripsi terhadap 80 mahasiswa dengan dosen penguji hanya 3 orang,” ucapnya.
Aldi Keleng, mahasiswa yang juga hadir menuturkan, diumumkan pula dimulainya perkuliahan baru dengan dosen-dosen yang mengajar mata kuliah tidak sesuai dengan kompetensinya. Aldi menilai, semua itu mereka lakukan guna meyakinkan para mahasiswa agar segera membayar uang kuliah semester ganjil 2020/2021.
“Selama beberapa bulan terakhir ini, gaji dosen, honor, mau pun tunjangan lainnya tidak dibayar penuh oleh yayasan. Tragisnya, honor dosen-dosen yang memberikan kuliah malam (ekstensi) sama sekali belum dibayar selama 1 semester. Tanyakan saja pada bapak-bapak dosen yang hadir ini. Perlakuan buruk terhadap para dosen ini, tentu tak terjadi di perguruan tinggi lain,” ungkap Aldi.
(RZD)