Undang-undang Cipta Kerja Dinilai Rampas Hak Rakyat

Undang-undang Cipta Kerja Dinilai Rampas Hak Rakyat
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia disingkat KP-KPBI melakukan aksi tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/10). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc)

Analisadaily.com, Langsa - Presiden mahasiswa Universitas Samudera (Prema Unsam) Langsa, Fendi, menilai pengesahan Omnibus Law Rencana Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU telah merampas hak rakyat.

"Kita sangat menyesalkan sikap Pemerintah Republik Indonesia yang telah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU, karena dianggap tidak memihak, bahkan telah merampas hak rakyat," kata Fendi, Selasa (6/10).

Undang-undang tersebut disahkan pada rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, (5/10) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama perwakilan Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut dia, pengesahan ini sangat menciderai buruh, petani, nelayan dan rakyat Indonesia. Padahal mahasiswa mewakili beberapa BEM dan DPM Perguruan Tinggi di Langsa sudah melakukan unjukrasa menolak RUU HIP dan Omnibus Law di DPRK Langsa.

Hal ini karena terdapat sejumlah pasal bertentangan dengan nurani rakyat. Misalnya, di Pasal 122 RUU Cipta Kerja, ketika rumah di gusur untuk membangun proyek penguasa/pemerintah, maka rakyat tidak bisa menuntut ganti rugi. Kondisi ini sangat merugikan rakyat.

“Selain itu, pada RUU Cipta Kerja yang sudah kami kaji sebelumnya, ada dimasukkan poin-poin kontroversi Pertanahan yang berhasil kita batalkan saat aksi Reformasi Dikorupsi September 2019. Kalaulah RUU ini disahkan, siapa aja bisa digusur untuk proyek pemerintah,” ujar Fendi.

Perusahaan bisa langsung dapat Hak Guna Usaha (HGU) selama 90 tahun dan hak tanah juga akan diprioritaskan untuk investor sekaligus perusahaan dari pada masyarakat kecil yang sampai sekarang belum punya jaminan hak atas tanah.

Apalagi, UU Cipta Kerja memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria dengan menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan, dan pertambangan.

Berdasarkan data pemerintah ada 20 ribu lebih kampung/desa yang masih tumpang-tindih dengan klaim kawasan hutan.

"Nah, bukannya mencari solusi penyelesaian konflik lahan yang tumpang tindih, RUU ini justru memperparah," ujarnya.

Kata dia, UU Cipta Kerja dinilai mempermudah perampasan dan penggusuran atas nama pembangunan infrastruktur dan bisnis, misalnya untuk kepentingan tambang, pariwisata dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Kemudian, pengadaan tanah kedepannya tidak akan lagi memperhitungkan situasi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang terdampak pembangunan. AMDAL pun tidak lagi harus dipenuhi.

Dibidang Pertanian UU Cipta Kerja mempercepat alih fungsi tanah, sehingga memungkinkan adanya kriminalisasi dan diskriminasi kepada petani, nelayan dan masyarakat adat.

Pangan adalah sektor kunci dalam situasi krisis Covid-19 seperti saat ini. Ironisnya, tiap tahun tanah pertanian di Indonesia terus menyusut akibat alih fungsi.

Dengan disahkannya RUU Cipta Kerja akan semakin memperparah kondisi itu, karena proses alih fungsi lahan pertanian akan dipermudah dengan dihapusnya syarat kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah, dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah.

"Pangan kita makin kritis dan makin banyak rakyat Indonesia yang terancam kelaparan. Tak menutup kemungkinan, UU Cipta Kerja akan memperparah kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani dan masyarakat adat," sambungnya.

Dia menambahkan, masyarakat petani, dan nelayan adat sering diancam, didiskriminasi dan ditangkap secara sepihak dengan beragam tuduhan pidana, biasanya memakai UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No.18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

"Yang sangat disayangkan lagi, UU ini justru semakin memperkuat dua UU tersebut, sehingga makin mengintimidasi petani, nelayan dan masyarakat adat," tambahnya.

(DIR/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi