Tolak UU Ciptaker, DPRA Desak Pemerintah Aceh Jalankan Qanun Ketenagakerjaan

Tolak UU Ciptaker, DPRA Desak Pemerintah Aceh Jalankan Qanun Ketenagakerjaan
Ketua Komisi V DPRA Aceh, Rizal Fahlevi Kirani (Analisadaily/Muhammad Saman)

Analisadaily.com, Banda Aceh - Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang membidangi kesejahteraan sosial, mendesak Pemerintah Aceh segera menjalankan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.

Hal itu terkait polemik pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh DPR RI yang telah menuai protes secara luas dan tidak bisa diterapkan di Aceh karena Aceh telah memiliki aturan khusus dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Selama ini, ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait ketenagakerjaan, namun khusus di Aceh terdapat Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang ketenagakerjaan yang mengatur hal tersebut, qanun ini adalah produk hukum Pemerintah Aceh yang harus diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah Provinsi Aceh.

"Qanun Ketenagakerjaan itu dibuat dan disahkan di DPRA untuk dijalankan, kita berharap Pemerintah Aceh dapat segera menjalankan qanun itu. Saya kira itu bentuk regulatif yang memang masuk dalam perundang-undangan, itu wajib dijalankan," ujar Ketua Komisi V DPRA, M. Rizal Fahlevi Kirani, Kamis (7/10).

Menurut politisi Partai Nanggroe Aceh (PNA) ini, apapun bentuk UU yang terpenting saat ini adalah kesejahteraan rakyat lebih penting dari segalanya.

Falevi Kirani mengatakan dalam konteks negara dan regulasi, kepentingan rakyat dan hak-hak buruh harus diutamakan dan harus menjadi prioritas pemerintah sebelum membuat kebijakan.

Pihaknya dari pertama dirancang undang undang sapu jagat tersebut, sudah menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja karena dinilai tidak berpihak kepada kaum pekerja buruh.

“UU Cipta Kerja tersebut terkesan dipaksakan. Undang-undang ini akhirnya mendapat penolakan dari berbagai elemen, terutama kalangan buruh lantaran banyak pasal yang merugikan kaum buruh. Banyak pasal yang memang lebih menguntungkan pengusaha dibandingkan dengan pekerja,” terangnya.

Falevi menyampaikan, dalam konteks negara dan regulasi, kepentingan rakyat dan hak-hak buruh harus diutamakan dan itu menjadi prioritas pemerintah sebelum membuat kebijakan.

Terkait dengan kekhususan Aceh, disahkannya Undang Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) oleh DPR-RI akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

"Bicara kekhususan Aceh, kita punya UUPA. Kemudian ada Qanun Nomor 7 tahun 2014. Dalam kontek hari ini bagaimana Pemerintah Aceh itu mau menjalankan qanun ini atau tidak," tegas Falevi.

Menurut Falevi, selama ini Pemerintah Aceh belum menjalankan amanah Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tersebut.

Sehingga, banyaknya pekerja-pekerja asing yang bebas keluar masuk Aceh untuk bekerja, sehingga secara kekhususan dan keistimewaan Aceh itu tidak pernah terealisasi di lapangan.

Dengan mudah pekerja-pekerja asing bebas bekerja di Aceh karena Pemerintah Aceh tidak menjalankan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 itu.

Falevi meminta agar Pemerintah Aceh menolak pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UUPA.

"Kalau Pemerintah Aceh menerapkan UU Cipta Kerja di Aceh, maka bakal mengebiri UUPA. Dalam hal ini kita harus kaji lebih detail dan komprehensif, apakah undang-undang itu menabrak UUPA atau tidak," sebutnya.

(MHD/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi