Kisah Perjalanan Donald Trump Untuk Kesepakatan Abraham

Kisah Perjalanan Donald Trump Untuk Kesepakatan Abraham
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif al-Zayani dan Menteri Luar Negeri UEA Abdullah bin Zayed Al Nahyan usai menandatangani Kesepakatan Abraham di Gedung Putih pada September 2020 (AFP)

Analisadaily.com, Washington - Ketika menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pernah berkeliling Timur Tengah untuk menciptakan normalisasi hubungan Israel dengan dengan negara-negara di sana.

Dalam perjalanan yang dilakukan tahun lalu, Trump berhasil mengajak Uni Emirat Arab dan Bahrain menjalin kerja sama dengan Israel.

Mantan Penasihan Keamanan AS, Robert O'Brien, mengatakan pemerintahan Trump berusaha membangun 'ibukota politik'. Langkah awal yang dilakukannya adalah memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.

"Kami tidak bisa membiarkan Palestina berdiri sebagai penghalang jalan menuju perdamaian Timur Tengah yang lebih luas," kata O'Brien, dilansir dari Al Jazeera, Minggu (31/1).

"Jadi, kami pergi ke teman, mitra dan sekutu kami dan kami membangun modal politik. Dan salah satu cara kami membangun ibu kota politik di Israel adalah dengan memindahkan kedutaan ke Yerusalem, salah satu cara kami melakukannya adalah dengan mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel," sambungnya.

Kemudian Trump menginisiasi munculnya kesepakatan yang disebut "Abraham Accords" atau Kesepakatan Abraham antara Israel, Uni Emirat Arab dan Bahrain pada September 2020. Kesepakatan tambahan dicapai untuk memasukkan Maroko dan Sudan.

Jauh sebelumnya, Trump telah mengumumkan pada 2017 bahwa AS akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Langkah itu dirayakan Israel namun dikutuk oleh negara-negara lain karena merugikan Palestina.

Selain itu, Trump secara sepihak juga mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan pada 2019 meski bertentangan dengan hukum internasional.

Menurutnya Israel telah merebut wilayah itu dari Suriah dalam Perang Enam Hari tahun 1967.

"Ini adalah fakta yang tidak akan pernah berubah di lapangan. Israel tidak akan pernah mengembalikan Dataran Tinggi Golan ke Assad atau rezim lain di Suriah," ungkap O'Brien.

"Kami melakukan hal yang sama. Kami membangun modal politik dengan Bahrain, dengan Maroko dengan UEA dengan memberi tahu mereka bahwa kami akan mendukung mereka, dengan keluar dari kesepakatan nuklir Iran yang merupakan ancaman serius bagi kawasan (teluk)," sebutnya.

O'Brien menuding Perjanjian Iran yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2015 adalah upaya memberi Iran begitu banyak uang untuk mengekspor ideologi revolusionernya.

Trump secara sepihak menarik diri pada 2018 dari perjanjian nuklir Iran yang telah dinegosiasikan oleh pendahulunya, Barack Obama.

Namun kini Presiden Joe Biden berencana membuka kembali negosiasi dengan Iran untuk menghidupkan lagi perjanjian tersebut.

(EAL)

Baca Juga

Rekomendasi