KRI Nanggala 402 (AP)
Analisadaily.com, Bali - Duka mendalam masih menyelimuti bangsa Indonesia setelah tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 di perairan Bali, Rabu (21/4), saat hendak melakukan latihan tembak rudal C802 dan torpedo.
Kapal selam KRI Nanggala 402 yang bergabung ke TNI AL sejak 1981 telah menjalankan banyak misi untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kapal itu pernah menjalankan misi intelijen di Timor Timur untuk melacak pergerakan pasukan Interfet (International Force for East Timor), Agustus-Oktober 1999.
Selain itu juga pernah dikirim ke perbatasan Filipina untuk melacak jaringan penyelundupan senjata dalam konflik di Ambon dan Poso, 1998-2000.
Laksamana Muda (Purn) Frans Wuwung yang pernah menjadi Direktur Intelijen Angkatan Laut menyebut, kehadiran KRI Nanggala 402 bersama KRI Cakra 401 di perairan Timor Timur kala itu membuat Australia mengurungkan niatnya untuk bertindak macam-macam terhadap Republik Indonesia. Pasca jajak pendapat, Australia memimpin pasukan Interfet di bawah bendera PBB.
"Ada banyak kekuatan waktu itu yang mau masuk selain Australia. Tapi kemudian mereka ragu karena ada Nanggala di sana. Itu namanya efek deteren," kata Frans Wuwung, dilansir dari
detik.com, Senin (26/4).
Kepada
The Telegraph edisi 23 Juni 2001, David Dickens, Direktur Pusat Studi Strategis di Universitas Victoria, Wellington - Selandia Baru, pernah mengungkapkan lebih gamblang soal rencana aksi Australia terhadap Indonesia. Namun rencana itu urung dilakukan karena gangguan dua kapal selam Indonesia.
Manuver keduanya membuat ciut musuh karena bisa muncul di sekitar kapal-kapal Interfet di Perairan Timor dan kemudian menghilang tanpa jejak.
"Suatu waktu tiba-tiba kapal selam itu menghilang dari pantauan yang menyebabkan pesawat pemburu serta kapal perang Interfet kelimpungan melacaknya," kata Dicken mengutip perkataan Admiral Peter McHaffie, Kepala Staf AL Selandia Baru.
Khusus operasi intelijen ke perbatasan Filipina, sambung Frans Wuwung, dilakukan untuk mengkonfirmasi informasi yang menyebutkan ada pasokan senjata dari Jenderal (Fidel) Ramos dalam konflik di Ambon dan Poso.
"Yang paling seru itu, ini banyak orang tidak tahu, kita pernah melaksanakan kegiatan intelijen ke perbatasan Filipina. Saya kebetulan ada di situ. Itu kan kita dapat informasi dalam konflik Ambon dan Poso ada pasokan senjata dari Jenderal (Fidel) Ramos," kata Frans Wuwung yang pernah menjadi Kepala Kamar Mesin Nanggala 402.
Dari sejumlah pemberitaan yang dihimpun
detik.
com, ribuan senjata api dan amunisi dari Filipina itu digunakan oleh kedua kelompok yang bertikai. Semua senjata masuk melalui berbagai jalur tikus di perbatasan Filipina dan Sulawesi Utara.
Meski sebagian telah dimusnahkan pasca Perjanjian Damai Malino I dan II, kelompok-kelompok terorisme yang muncul kemudian diduga kuat menggunakan sisa-sisa senjata dalam konflik tersebut.
Saat berpangkat Mayor, Frans Wuwung menjadi salah satu perwira yang dikirim ke Jerman Barat untuk mengikuti pendidikan kapal salam.
Di sana dia terlibat langsung dalam proses uji coba Cakra dan Nanggala sebelum berlayar menuju Surabaya. Salah satunya adalah menguji kekuatan stuktur rangka bodi kedua kapal selam itu hingga 30 atmosfer absolut. Artinya, kedua kapal selam itu mampu menyelam hingga kedalaman maksimal 300 meter.
"Kalau lebih dari itu akan terjadi destruction depth," kata Frans Wuwung.
Dari galangan kapal Howaldswerke Deutsche Werf di Kiel, Cakra dan Nanggala berlayar selama dua bulan menuju Surabaya. Letkol Antonius Sugiarto memimpin pelayaran Cakra dan tiba pada 4 Juli 1981. Nanggala yang dipimpin Letkol Arman Aksa tiba tiga bulan kemudian.
(EAL)