Anggota dewan Aceh Tamiang Jayanti Sari, menyalami peserta didik saat melakukan reses ke sekolah dasar. (Analisadaily/Dede Harison)
Analisadaily.com, Kuala Simpang - Anggota Komisi I DPRK Aceh Tamiang, Jayanti Sari mengungkapkan jumlah anak tidak melanjutkan sekolah di daerah itu cukup tinggi di atas 50 persen.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tamiang, sebut Jayanti, pada laporan Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2020, setengah penduduk berusia 5 tahun ke atas status pendidikannya sudah tidak bersekolah lagi.
"Jumlah persentasenya sebesar 66,15 persen dengan klasifikasi jenis kelamin laki-laki dan perempuan hampir sama besar pada tahun 2019," kata Jayanti Sari di Aceh Tamiang, Jumat (20/8).
Sebagai dewan yang membidangi pendidikan dia sangat miris setelah mengetahui dunia pendidikan di Aceh Tamiang yang terlihat baik-baik saja namun ternyata faktanya timpang.
"Sangat ironis sekali dengan tingginya angka anak yang tidak melanjutkan sekolah terjadi di semua jenjang sekolah, seperti SD tidak melanjutkan ke SMP dan seterusnya," sebut Jayanti.
Politisi muda Partai Keadilan Sejahtera ini pun berpendapat persoalan pendidikan tidak dapat diabaikan. Tentu, tegas Jayanti dibutuhkan kebijakan yang tepat, program yang jelas dan pengawasan yang berjenjang untuk menekan angka anak-anak putus sekolah di kabupaten ujung timur Aceh ini.
“Peran lembaga legislatif dalam menjalankan kontrol atau pengawasan atas berjalannnya suatu kebijakan publik juga dirasa perlu,” sarannya.
Lebih lanjut Jayanti mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) menyebutkan setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Selain itu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2008 tentang Wajib Belajar terdapat pada pasal 12 ayat (2) setiap warga negara Indonesia yang memiliki anak usia wajib belajar bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anaknya.
“Sedangkan pada ayat (3) disebutkan, pemerintah kabupaten/kota wajib mengupayakan agar setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar mengikuti program wajib belajar,” ujar Jayanti Sari.
Di samping itu, tambah Jayanti yang perlu dipahami bahwa keterlibatan berbagai pihak, mulai dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga-lembaga terkait harus ikut perduli.
Pada hakikat pendidikan itu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Kita akui berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan terus dilakukan. Mulai program wajib belajar 12 tahun, pemberian dana BOS, bantuan siswa miskin (BSM) hingga bansos program keluarga harapan (PKH),” pungkasnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Tamiang, Abdul Muthalib di konfirmasi di kantornya, Jumat (20/8) menjelaskan, angka 66,15 persen itu didominasi oleh anak tamatan SMA rentang usia 18 tahun yang tidak menyambung ke Perguruan Tinggi.
"Betul 66,15 persen itu tamatan SMA yang tidak menyambung, bukan anak usia di atas 5 tahun seperti tamatan SD dan SMP," jelas Abdul Muthalib.
Perlu diketahui, kata Abdul Muthalib, anak SMA yang menyambung kuliah setiap tahun hanya berkisar 35 persen, 65 persen sisanya memilih berkerja tidak melanjutkan pendidikan.
"Jadi kalau dicek dalam satu SMA paling yang nyambung ke Perguruan Tinggi hanya 15-30 persen," ungkapnya.
Sementara berdasarkan angka partisipasi sekolah (APS) tahun 2020 diambil dari data pokok pendidikan (Dapodik) bahwa anak usia 7-12 tahun baik laki-laki dan perempuan yang bersekolah sebesar 99,66 persen.
“Kalau yang disinggung anak usia di atas 5 tahun tingkat TK kami tidak punya datanya. Tapi untuk jenjang SD dari angka partisipasi murni (APM-Dapodik) mencapai 99,15 persen,” pungkas Abdul Muthalib
(DHS/CSP)