Kisah di Seputar Pasar Sentral Medan

Kisah di Seputar Pasar Sentral Medan
Bangunan Pasar Sentral 1933 (Brosur Pasar Malam (24 Febr - 4 Maart 1933) dan Pasar Sentral 1933 Uitgave N.V. Deli Courant)

Analisadaily.com - Sejarah Pasar Sentral Medan, dibangun di atas bekas lapangan balap kuda, yang pada tanggal 24 November 1924 juga menjadi tempat pendaratan pertama pesawat terbang dari Negeri Belanda ke Medan.

"Di dalam sidang Gementeraad pada tanggal 29 April 1929 telah diterima dengan suara bulat usul untuk membuat sebuah pasar, dan demikianlah sesudah itu mulai dikerjakan pembangunan Pusat Pasar di atas sebuah tanah datar, yang tadinya dijadikan lapangan kuda lomba, yaitu satu-satunya lapangan yang pernah disinggahi oleh kapal terbang HN ACC dari Negeri Belanda."

Nukilan di atas termuat dalam Buku "50 Tahun Kotapradja Medan" yang terbit tahun 1959. Buku itu berisi sejarah kota Medan, diterbitkan Djawatan Penerangan Kotapradja-I Medan era Wali Kota Madja Poerba.

Pusat Pasar atau Pasar Sentral mulai dibangun 2 April 1931 dan selesai 31 Desember 1932 atau kurang lebih 21 bulan. Pada tahun 1931 pembangunan Pusat Pasar ini hampir terancam mangkrak gegara munculnya "malaise" atau depresi ekonomi. Sebuah disrupsi ekonomi yang membuat jumlah orang miskin bertambah, sejumlah pedagang gulung tikar, jumlah pengangguran meningkat dan kriminalitas meruyak. Meski begitu, akhirnya Pasar Sentral selesai dibangun dan diresmikan pada 24 Februari 1933.

Acara peresmian dilakukan dan ditandai dengan penyelenggaraan acara Pasar Malam mulai tanggal 24 Februari hingga 4 Maret 1933. Pasar Malam dipilih mengingat pada masa itu, kegiatan tersebut sangat populer di kalangan masyarakat. Selain menawarkan aneka barang dengan diskon khusus, dalam acara Pasar Malam juga digelar aneka hiburan rakyat. Mulai pertunjukan musik, opera, pemutaran film hingga permainan-permainan berhadiah. Ada 98 stan usaha yang berpartisipasi dalam acara Pasar Malam Medan 1933.

Surat kabar Sinar Deli melaporkan antusiasme dank kemeriahan pengunjung. pada acara pembukaan hadir orang-orang Eropa, Tionghoa dan Indonesier karena pengunjung tak perlu mengantongi tiket masuk. Menurut Sinar Deli, hal itu dilakukan karena pemerintah ingin menjadikan acara tersebut sebagai ajang promosi bagi untuk mengenalkan keadaan pasar baru yang megah itu bagi penduduk Medan. Acara pembukaan dihadiri Sultan Deli dan Tengku Amiruddin serta Tengku Perdana, Gubernur dan istri, Walikota Medan Wesselink dan istri dan para pejabat pemerintah. (Sinar Deli 25/2/1933).

Lapangan Pacuan Kuda sekitar tahun 1905 - KITLV Collection Digital
Lapangan Pacuan Kuda Dipindah Tiga Kali

Kota Medan memang menyimpan ragam sejarah menarik. Ibarat kepingan puzel. Mereka terserak, perlu digali kembali dan ditata, kita semakin mengenali wajah kota kita sendiri. Terlebih di tengah proses pembangunan, yang kadang kurang menghargai keberadaan bangunan-bangunan bersejarah.

Ihwal bahwa lokasi Pasar Sentral Medan dulu adalah bekas lapangan pacuan kuda atau dikenal sebagai "Pasar Lomba", dapat dilihat dari pemberitaan surat kabar berbahasa Belanda maupun surat kabar berbahasa Melayu pasar yang terbit awal abad ke-20.

Sumatra Post edisi 11/8/1922 semisal memuat berita tentang Lomba Pacuan Kuda yang akan diadakan tanggal 16 dan 17 September 1922 di Pasar Lomba. Beberapa nomor dipertandingkan dalam lomba itu. Misalnya nomor lomba untuk kuda Batak (Brastagiren) dengan jarak 800 meter. Ada juga untuk kuda angkutan (sado) dengan jarak tempuh 1000 meter, lalu untuk kuda Deli dengan rintangan dsb. Organisasi penyelenggara lomba balap kuda adalah Deli Renvereeniging. Organisasi ini sejak 1923 disebutkan telah tergabung dalam persatuan organisasi balap kuda di Malaka.

Pengunjung balap kuda harus membayar tiket masuk ke lapangan. Tiket-tiket itu diundi dengan hadiah uang cukup besar, mulai dari f 1000 (pemenang 1), f 375 (pemenang 2), dan pemenang ketiga dan keempat, masing-masing f 125 (Sumatra Post 20/4/1923). Pemilik kuda balap umumnya orang Eropa, namun tak sedikit juga dari kalangan orang Tionghoa.

Sumatra Post edisi 7/13/1922 menulis: "Pada balapan di Penang tanggal 25, 27 dan 29 Juli, mungkin enam kuda Medansche akan berpartisipasi, yaitu Observasi (pemilik Koo Tek Soon), Drumfire (Medan Kongsi), st. Fitz, Lady Piquet (Lie Tjoean Poh), Idle Girl (Temco kongsi; dan mungkin Golden Mead (Gebr. Schol tens) Namun, partisipasi kuda terakhir tidak pasti. Bush Girl yang meraih juara pertama di Ipoh ditempatkan di kelas mantan griffin, tetapi didiskualifikasi karena Renvereeniging Medan belum berafiliasi dengan organisasi balap kuda Malaka sehingga kuda Deli hanya diizinkan untuk bersaing di kelas terbuka."

Foto-foto bangunan di Pasar Sentral - Brosur Pasar Malam dan Pasar Sentral 1933
Pendaratan Pionir Pesawat Terbang di Medan

Seiring pertambahan jumlah penduduk Medan dan pembangunan di kota ini, Pasar Lomba ini telah dipindah tiga kali. Pertama saat lapangan pacuan kuda dipakai untuk pembangunan Pasar Sentral. Pasar Lomba dipindah ke samping Bandara Polonia yang selesai dibangun tahun 1928. Tahun 1936, saat Bandara Polonia diperluas, kembali lapangan pacuan kuda itu digeser ke sebelah barat bandara (Keng Po 11/6/1936).

Keng Po menggambarkan proses pemindahan itu seperti berikut:

"Tribune lama soeda dibongkar. Sekarang sedjoemlah 150 koeli lagi kerja keras dengen bikin rata tanah jang baroesan dibabat pepohonannja. Diharep dalem boelan October orang soedah rampoeng dengen itoe lapangan balapan koeda baroe, brikoet djoega tribune jang hendak dibikin lebih besar dan modern dari jang lama."

Sebelum Pasar Lomba diubah jadi Pasar Sentral, tahun 1924 sebuah momen penting terjadi di lapangan ini. Akibat pembukaan tanah-tanah di Sumatra Timur untuk usaha perkebunan, terutama tembakau, muncul tuntutan pembangunan sarana dan prasarana transportasi untuk menyahuti mobilitas para pengusaha perkebunan. Pada Januari 1924 Walikota Medan Baron D. MacKay di depan Gementeehuis (balaikota) mengumumkan rencana pembangunan bandar udara di Medan.

Lokasi pembangunan bandara itu di areal perkebunan Polonia. Baron Mackay juga mengumumkan bahwa akan ada penerbangan pionir dari Batavia yang dilakukan tiga awak pesawat yakni pilot A.N.J. Thomassen Thuessink van der Hoop, letnan pilot H. van Weerden Poelman dan insinyur penerbangan P.A. van den Broeke. Mereka menerbangkan pesawat Foker V-VII HN ACC. Karena waktu pembangunan bandara di Polonia terlalu mepet, maka pendaratan pesawat terbang rintisan itu dialihkan ke Pasar Lomba. (Erond L. Damanik: 2006).

Pendaratan pesawat foker itu disambut Walikota Medan, Baron MacKay, Asisten Residen Deli en Serdang, C.S. Kempen, Sultan Deli, Sultan Amaludin Sani Perkasa Alamsjah, Sultan Serdang, Sultan Sulaiman Shariful Alamsjah dan Sultan Langkat.

Awalnya Pasar-pasar di Medan Milik Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie

Dalam brosur Officieele Pasar Malam en Centrale Pasar Gids 24 Febr - 4 Maart terbitan Uitgave N.V. De Deli Courant disebutkan bahwa berbeda dengan kota-kota lain di Hindia-Belanda, pasar-pasar di Medan hampir semuanya milik pihak swasta. Pasar Daging dibangun tahun 1886, menyusul setahun kemudian Pasar Ikan 1887 dan Pasar Sayur tahun 1905.

Ke semua pasar itu dibangun pihak pengusaha swasta. Dirk Aedsge Buiskool, dalam disertasinya, Prominent Chinese During the Rise of a Colonial City Medan 1890-1942 menyebut ketiga pasar itu dibangun oleh Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie.

Namun sejak tahun 1913, setelah dibangunnya Pasar Sentral, para pedagang yang ada di ketiga pasar itu dipindahkan ke pasar yang baru dibangun pemerintah itu. Alasan pemerintah karena pasar-pasar tersebut sudah tak bisa menampung lagi pedagang-pedagang baru hingga mereka berjualan di gang-gang rumah karena ketiga pasar itu terletak di pemukiman warga Tionghoa.

"Lagi disitoe diwaktoe itoe got-got sama terboeka. Djalan air tidak mentjoekoepi, pemboeangan kotoran tidak dapat dioeroes dengan baik, kalau terdjadi kebakaran disitoe, boleh djadi tidak akan dapat memadamkan api." Dari hasil perhitungan, Pasar Daging dihari-hari biasa dikunjungi oleh 17.600 orang dan di hari besar oleh kira-kira 35.000 orang. Sedang Pasar Ikan dikunjungi 17.000 dan lebih 25.000 orang.

"Lagi di djalan-djalan itoe terdapat perdjalanan auto jang ramai, serta boeat auto-auto itoe tidak ada tempat berhenti. Dapatlah kiranja dipikiri, bagaimana kaloetnja keadaan di wijk terseboet. Rapport itoe memberi pertimbangan, soepaja seliwat tahoen 1933 djangan diteroeskan Pasar Ikan dan Pasar Daging itoe disitoe."

Istilah Pajak

Barangkali alasan lain pemerintah mengambil alih kebijakan pembangunan pasar juga terkait besaran retribusi atau belasting (pajak) yang dipungut dari para pedagang. Pada masa kolonialisme, pajak adalah salah satu instrumen penting untuk pembiayaan pembangunan. Umumnya penduduk paling benci dengan kewajiban membayar pajak ini.

Ilustrasi kebencian penduduk terhadap pajak dapat dilihat pada karikatur "Mimpi dari Seorang Pembajar Belasting" yang dimuat mingguan bergambar Pertja Timoer edisi 12 November 1927.

Karikatur itu memperlihat seorang laki-laki tua tergolek di ranjang sembari tangan kanannya menolak beberapa mimpi yang dialami dalam tidurnya. Mimpi pertama ia mendapat surat dari pengadilan tentang surat tagihan pajak penghasilan yang belum dibayar. Mimpi kedua ia mendapat surat paksaan dari Sri Baginda Maharaja untuk membayar pajak. Mimpi ketiga ia melihat dirinya dirantai dan dicokok polisi, dan mimpi keempat ia mendapati dirinya duduk meringkuk sendirian di penjara. Di bawah karikatur terdapat teks: "Djahat dan menakoetkan benar ta'bir mimpinja itoe."

Rasa benci penduduk terhadap pajak atau belasting itu mungkin menjadi penyebab istilah pasar di Sumatra Timur lebih populer disebut "pajak" karena para pedagang tiap harus membayar retribusi ke pemerintah.

Meski di Medan beberapa pasar diinisiasi pihak swasta, namun sebelum Pasar Sentral selesai dibangun tahun 1933, tahun 1915, pemerintah sebenarnya juga telah membangun Pasar Petisah atau di masyarakat juga dikenal sebagai Pajak Bundar.

Menghabiskan Biaya £ 1.567.208

Brosur Officieele Pasar Malam en Centrale Pasar Gids 24 Febr - 4 Maart menyebutkan beberapa alasan pemilihan Lapangan Kuda Pacuan sebagai lokasi pembangunan Pasar Sentral. Per5ama, selain lapangan itu luas dan milik pemerintah, dalam 3 tahun terakhir, lapangan itu juga telah berubah sebagai lapangan sepak bola karena lomba balapan kuda sempat vakum sekian lama.

Ketiga lokasi Pasar Lomba juga strategis karena berdekatan pemukiman penduduk Tionghoa. Pertimbangan pemerintah,orang-orang Tionghoa umumnya sudah bertahun-tahun menekuni bidang perdagangan eceran. Pembangunan Pasar Sentral menghabiskan biaya £ 1.567.208.

Setelah era kemerdekaan, kebutuhan akan pasar tetap bertambah seiring pertambahan jumlah penduduk Medan. Pada 1 Mei 1952 pemerintah membangun Pasar Peringgan di atas tanah seluas 10.500 M2. Sejalan dengan itu di Kampung Sukaramai juga dibangun Pasar Sukaramai untuk mengganti 5 buah bangunan darurat yang roboh ditiup angin.

Sebuah masalah muncul di Pusat Pasar. Buku 50 Tahun Kotapradja Medan menulis, pada 8 Maret 1957, dalam Sidang DPRD Peralihan Kotapradja Medan, Fraksi PNI diwakili, Mohd. Said Nasution mengajukan mosi tentang komposisi kepemilikan kios-kios dalam loods (gedung) I, II dan III Pasar Sentral Medan di mana 75% dari jumlah stan yang ada harus diberikan kepada pedagang bangsa Indonesia. Alasannya karena stan-stan itu saat terjadi Perang Kemerdekaan 1947 telah ditinggal pedagang pemiliknya yang mengungsi ke luar Medan. Setelah tahun 1948, sebagian dari mereka pulang kembali ke Medan. Namun kios-kios itu telah dikuasai bangsa Tionghoa yang umumnya masih tinggal di dalam kota Medan. Menurut Fraksi PNI keadaan itu tidak adil karena banyak pedagang Indonesia berjualan dekat kamar mandi pasar.

Mosi PNI ditanggapi fraksi Masyumi yang mengusulkan agar komposisinya 49%: 51%. Usul Fraksi Masyumi didukung Fraksi PSII dan NU. Sebuah pendapat menarik dikemukakan Lie Tjek Ie dari Baperki yang mengatakan pada prinsipnya ia setuju dengan mosi PNI dan Masyumi, namun ia menyarankan agar dalam usaha mencari perbaikan di bidang ekonomi: "sedapat mungkin hendaknja dapat kita hindarkan hal-hal jang berbau rasialistis dan dengan demikian dapat djaga supaja ide jang nasionalistis djangan sampai hendaknja ke arah jang chauvinistis."

Ujung dari masalah ini Lie Tjek Ie lalu mengundurkan diri sebagai anggota DPRD Peralihan Kotapradja Medan dan diganti P. Krisnha. Dalam masyarakat multikultural, pasar atau "pajak" sejatinya memang berperan sebagai ruang bertemunya kepentingan dari orang-orang yang berbeda identitas.

Editor:  J Anto

Baca Juga

Rekomendasi