Hindari Jebakan ‘Sandwich Generation’ Lewat Reksa Dana

Hindari Jebakan ‘Sandwich Generation’ Lewat Reksa Dana
Ilustrasi (Pixabay)

Analisadaily.com, Jakarta – Siklus kehidupan dimulai sejak seseorang dilahirkan. Namun yang paling penting diingat adalah ketika memasuki siklus usia produktif, yaitu usia bekerja di rentang umur 20-55 tahun.

Pada rentang usia tersebut, mayoritas individu memasuki periode waktu bekerja untuk menghasilkan income. Kemudian, memasuki usia pensiun di atas 55 tahun dan seterusnya, setiap individu akan memasuki fase terakhir dalam kehidupan.

Nah, dalam rentang waktu yang tergolong panjang ini, harga-harga kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder akan mengalami kenaikan atau mengalami inflasi. Sehingga, di siklus terakhir kehidupan, kebutuhan akan uang menjadi lebih besar dibanding saat usia produktif. Padahal di usia pensiun, seseorang umumnya sudah tidak lagi bekerja dan tidak memiliki sumber pendapatan seperti sedia kala.

Salah satu cara bertahan hidup di usia pensiun adalah menggunakan uang yang dipersiapan saat usia produktif. Pertanyaannya, apakah cukup? Tentu, menabung saja tidak akan cukup mengimbangi kenaikan harga-harga barang di masa kita pensiun. Jadi, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyusutan nilai (mata uang) setiap tahunnya adalah melalui investasi di usia produktif.

Kepala Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara (Sumut), Muhammad Pintor Nasution mengatakan, banyak yang belum memahami bagaimana cara berinvestasi yang praktis, mudah, dan terjangkau, terutama bagi generasi milenial yang baru mulai berkarir. Dalam bayangan sebagian kaum milenial, berinvestasi butuh modal besar, sehingga seringkali mayoritas anak muda menunda atau menunggu punya uang dalam jumlah yang besar. Yang terjadi, tidak mulai-mulai berinvetasi, dan tanpa sadar sudah memasuki usia pensiun.

“Oleh karena itu, banyak yang kemudian menjadi generasi “Sandwich” atau generasi yang terjepit, karena perlu membiayai orang tua yang sudah pensiun dan membiayai anak-anak mereka,” kata Pintor, Sabtu (17/2).

Pintor mengajak siapa saja untuk memutus jebakan menjadi “Sandwich Generation” dengan cara berinvestasi sejak dini. Yaitu, sejak ketika mendapatkan income pertama, atau gaji pertama. Caranya, dengan menyisihkan 10% saja dari total penghasilan per bulan. Kemudian, setiap individu dapat mengalokasikan dana tersebut dengan cara membeli produk investasi reksa dana yang terjangkau buat kantong milenial.

Cukup dengan Rp 100 ribu per bulan, masing-masing calon investor bisa mulai berinvestasi reksa dana. Prinsip investasi salah satunya adalah berinvestasi sedini mungkin agar dapat melipatgandakan uang di masa depan. Artinya, dana investasi yang dikelola setiap individu berpotensi memberikan returninvestasi setiap tahun.

Walaupun hanya Rp 100 ribu tiap bulan, jika disisihkan secara konsisten selama 30 tahun ke depan, nilainya akan bertumbuh bagaikan bibit tanaman yang dalam jangka panjang akan menjelma menjadi pohon yang kokoh dan tidak berhenti berbuah. Apalagi jika jumlah investasi tersebut ditambah secara berkala seiring kenaikan penghasilan.

“Dengan tetap berpatokan pada komposisi 10% setiap bulan dari gaji atau income usaha,” ujarnya.

Sebagai contoh, jika saat ini penghasilan per bulan seorang individu adalah Rp 1 juta per bulan. Ketika individu tersebut rutin mengalokasikan dana Rp 100 ribu/bulan selama 30 tahun, maka nilai uang investasi yang kita sisihkan akan menjadi Rp 37.594.800 (dengan asumsi rata-rata return Reksa Dana Pendapatan Tetap 10 tahun terakhir).

“Bandingkan jika kita hanya menyimpan uang Rp 100 ribu/bulan di tabungan maka nilainya hanya akan menjadi Rp 36 juta dalam 30 tahun. Bunga bank tidak dihitung karena ada potongan biaya administrasi dan pajak. Nah, bayangkan jika selama 30 tahun itu kita juga menaikkan pembelian reksa dana seiring penambahan income kita,” sebutnya.

Hasil investasi reksa dana bervariasi tergantung jenis reksa dana. Ada empat jenis reksa dana, yaitu reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana campuran, dan reksa dana saham. Berdasarkan urutan ini, potensi return makin besar dari kiri ke kanan. Namun, sesuai rumus investasi yaitu high risk, high return, semakin besar potensi investasi, semakin besar pula risiko investasi.

Risiko utama dari investasi adalah risiko fluktuasi harga reksa dana. Namun, fluktuasi harga ini bisa dikelola dengan cara melakukan investasi dalam jangka panjang melewati rentang waktu siklus naik turun pasar modal yang umumnya terjadi setiap lima tahunan.

“Jadi jika kita berinvestasi untuk masa pensiun, sejak usia kita 20-an tahun atau 30-an tahun, maka risiko fluktuasi harga relatif bisa dikelola. Jangan panik jika melihat nilai investasi reksa dana kita turun pada periode waktu tertentu. Hal ini karena kita akan berfokus untuk pertumbuhan jangka panjang, bukan volatilitas dalam jangka pendek. Di sisi lain, pembelian yang dilakukan saat harga unit reksa dana sedang rendah berpotensi menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi pula di masa depan,” paparnya.

Pintor menyarankan, pelajari baik-baik jenis reksa dana, termasuk potensi return dan risikonya. Pilih reksa dana yang yang dikelola manajer investasi yang tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Investor bisa membeli reksa dana di berbagai bank yang menjadi Agen Penjual Reksa Dana (APERD). Atau langsung melalui manajer investasi yang mengelola reksa dana.

“Dapatkan informasi reksa dana dan pengelola reksa dana di website OJK, Bursa Efek Indonesia (BEI) atau informasi lainnya seperti dari media-media nasional dan website milik masing-masing perusahaan manajer investasi,” tandasnya.

(REL/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi