Biji Kopi (Pixabay/Danramirez)
Analisadaily.com, Medan - Siapa yang tak kenal dengan Kopi Takar, minuman kopi tradisional khas Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang menjadi primadona pelancong dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara.
Bahkan sejak zaman kolonial Belanda, daerah ini salah satu penghasil kopi terbesar di Indonesia, sehingga minuman kopi didaerah tersebut, sudah kental dengan adat budaya warga sekitar.
Dengan berkembangnya zaman, banyak warga sekitar yang menyambung hidup dan menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi pedagang kopi takar, rumahan dan usaha Jalanan.
Namun mirisnya kopi ini seperti tidak menjadi perhatian khusus pemerintah daerah, pasalnya para pedagang mengeluhkan semakin hari semakin sulit bahan baku untuk menyajikan kopi takar ini, seperti cangkir yang terbuat Tempurung kelapa, sehingga para pedagang terpaksa harus ekspor tempurung kelapa tersebut dari Kota Yogyakarta.
Padahal wilayah Tapanuli Selatan ataupun Sumatera Utara sangat banyak penghasil kelapa maupun tempurung kelapa, namun abainya pemerintah daerah terhadap kopi takar ini membuat kopi takar di ujung kepunahan karena semakin langkahnya bahan baku.
Buruknya lagi pemerintah daerah kanupaten Mandailing Natal ternyata pernah mendapat penghargaan Muri dari Kopi Takar ini pada tanggal 7 Maret 2017 silam, tepatnya 6 tahun lalu pernah mencetak rekor Muri, dengan minum kopi takar menggunakan tempurung yang diadakan di Taman Raja Batu komplek Perkantoran Bupati Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Kini pemerintah daerah seperti mengabaikan hal yang berpotensi menjadi daya tarik jual yang tinggi pagi pelaku UMKM di wilayah sekitar .
M Farhan Muis Nasution, kader muda Partai NasDem saat mencicipi kopi tradisional di Rumah makan pondok paranginan di Kecamatan Panyabungan Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara mengatakan, harusnya ini bisa menjadi atensi pemerintah daerah untuk membuat ataupun inisiatif memproduksi bahan tersebut agar bisa menjadi pemasok didalam maupun luar kota, jika pemerintah mampu memproduksi bahan tersebut banyak penyerap tenaga kerja sekaligus membatu UMKM daerah menjadi lebih maju.
"Kalau dihitung sekitar ada 7.000 warung, cafe maupun rumah makan di Tabagsel yang menjual kopi takar. Kopi takar ini istimewa, tapi produksi cangkir kelapa tidak ada. Itukan harusnya menjadi peluang yang luar biasa," katanya kepada awak media pada Senin (20/3).
Kalau dihitung secara rinci tiap bulannya kita butuh ratusan ribu cangkir untuk cangkir tempurung kelapa di Sumut, sehingga jika diproduksi sendiri kita malah untung besar sekaligus mengurangi pengangguran.
"Madina saja butuh ratusan ribu cangkir batok, design dengan khas Mandailing. Jika dimanfaatkan seluruh wilayah Sumatera Utara dalam sebulan butuh jutaan cangkir batok kelapa," jelasnya.
Jika ini terus dibiarkan oleh pemerintah daerah, Kopi Takar ini berpotensi di ujung kepunahan dan akan menjadi cerita sejarah bagi warga Mandailing maupun Indonesia.
Sementara, Hj. Choriah Nasution atau yang dikenal Bou Butet Lopo salah satu pedagang Kopi Takar di warung Rumah makan pondok paranginan di Kecamatan Panyabungan Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara menyambut hangat kedatangan rombongan kader muda partai NasDem tersebut, selain rasa yang enak harga dilokasi tersebut terjangkau.
(JW/CSP)