Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Evaluasi Kegagalan Reformasi Polri

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Evaluasi Kegagalan Reformasi Polri
Tangkapan Layar - Presiden Joko Widodo saat menjadi Inspektur Upacara peringatan hari Bhayangkara ke-77 di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (1/7/2023). (ANTARA/Indra Arief)

Analisadaily.com, Jakarta - Pada 1 Juli 2023, Kepolisian Republik Indonesia merayakan peringatan hari Bhayangkara ke-77 di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang dihadiri Presiden Joko Widodo.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, menyampaikan pesan-pesan terkait perbaikan institusi kepolisian menjadi organisasi yang terbuka dan modern.

“Polri telah membulatkan tekad untuk berbenah, siap melakukan koreksi untuk memberi yang terbaik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, bangsa, dan negara," kata Listyo.

Ia juga menyampaikan komitmen-komitmennya untuk menjaga marwah Polri, untuk mendengarkan kritik dan saran masyarakat, hingga untuk menindak tegas pelanggaran dan penyimpangan di tubuh Polri.

Selain itu, Joko Widodo, menyampaikan beberapa pesan agar Polri terus berbenah diri agar semakin dicintai masyarakat. Presiden menekankan bahwa Polri memiliki kewenangan dan kekuatan yang besar agar tidak disalahgunakan.

Namun, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, menilai Jokowi maupun Listyo tidak menunjukkan komitmen dan visi yang jelas untuk mereformasi Polri baik secara struktural, kultural, maupun instrumental. Jokowi hanya sebatas mengingatkan anggota Polri untuk tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.

Sementara, permasalahan terbesar Polri hari ini adalah Polri memiliki kewenangan yang besar dan luas, namun minim pengawasan. Tidak ada lembaga pengawas baik internal maupun eksternal yang efektif termasuk dalam sistem peradilan pidana yang mengawasi kewenangan besar Polri. Akibatnya Polri rentan melakukan abuse of power seperti yang selama ini terjadi.

Alih-alih menunjukkan komitmen untuk mereformasi Polri, Jokowi justru lebih memilih untuk menyinggung perihal citra Polri dan kepercayaan masyarakat. Padahal, citra tanpa perbaikan nyata hanya omong kosong yang tidak akan mampu mengatasi akar masalah kepolisian yang berujung pada masalah demi masalah lainnya yang terus terjadi.

"Terlebih, hari ini ketidakpercayaan masyarakat terhadap beragam masalah penyalahgunaan wewenang di institusi Polri tidak lagi bisa diatasi hanya dengan polesan citra dan janji-janji kosong," bunyi pernyataan Aliansi tersebut, Minggu (2/7).

Perayaan Peringatan Hari Bhayangkara ke-77 ini hanyalah sekedar kegiatan seremonial tahunan belaka, seperti pada perayaan-perayaan sebelumnya yang tidak memiliki dampak apapun bagi masyarakat. Pasalnya, tidak ada komitmen serius yang ditunjukkan oleh Presiden maupun Kapolri untuk melanjutkan reformasi Polri pasca berpisah dari ABRI yang selama ini mandek bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran signifikan.

Catatan buruk terkait perilaku Polri tetap terus mendominasi berbagai laporan tahunan masyarakat sipil maupun lembaga negara seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI yang menempatkan Polri sebagai lembaga yang paling banyak diadukan ke lembaga tersebut.

Beberapa catatan masyarakat sipil terkait Polri antara lain:

1. Dalam kurun waktu Juli 2021 – Juni 2022, KontraS menemukan setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian. Sejumlah kekerasan itu telah menimbulkan 928 jiwa luka-luka, dan 59 jiwa tewas dan 1240 ditangkap.

2. Dalam kurun waktu Juni 2022 - Mei 2023, KontraS menemukan 54 peristiwa penyiksaan, penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di Indonesia. Di antara kasus-kasus tersebut, Kepolisian menjadi aktor dominan pelaku tindak penyiksaan dengan 34 peristiwa.

3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang Mei 2022 sampai Mei 2023, dari total 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, 20 kasus di antaranya dilakukan oleh anggota Polri. Ini menempatkan Polri menjadi institusi paling dominan yang menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

4. Dalam satu tahun terakhir YLBHI menerima pengaduan dan menangani lebih dari 130 kasus terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri, mulai dari kasus salah tangkap hingga pembunuhan di luar proses hukum (Extra Judicial Killing).

Selain itu, dalam setahun terakhir, terjadi berbagai skandal besar yang melibatkan anggota Polri seperti tragedi Kanjuruhan, Kasus Ferdy Sambo, dan kasus Teddy Minahasa. Tiga kasus tersebut merupakan cerminan Polri hari ini. Mulai dari brutalitas aparat, penggunaan kekuatan yang berlebihan, rekayasa kasus, hingga keterlibatan anggota Polri dalam pusaran kejahatan/tindak kriminal. Semua itu akan terus berulang bila tidak ada komitmen sungguh-sungguh dari internal Kepolisian serta tidak adanya langkah-langkah dan realisasi progresif dari Pemerintah dan DPR RI untuk segera mereformasi Polri.

Kemunduran reformasi Polri dapat dilihat dari aspek struktural, kultural dan instrumental yang ditunjukkan dengan berbagai masalah yang mendera Institusi ini. Berdasarkan catatan kami setidaknya ada beberapa masalah fundamental yang terjadi.

Pertama: kegagalan demiliterisasi Polri, Kedua: Kepolisian justru memfasilitasi praktik pemolisian politik (kriminalisasi), Ketiga: Kepolisian kerap melakukan kekerasan (penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan berlebih) yang merupakan buah dari hukum acara pidana bermasalah, Keempat: korupsi, Kelima: masalah minimnya transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum.

Semua permasalahan di atas menjadi langgeng karena terdapat kelemahan dalam pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal (internal and external police oversight). Di tingkatan internal, Propam tidak berjalan efektif dan adil, dan bahkan kerap menjadi sarana impunitas bagi Anggota Polisi yang melakukan pelanggaran dan kejahatan.

Kemudian dari sisi Eksternal terdapat kelemahan kewenangan Kompolnas dalam melakukan pengawasan. Selain itu yang tidak kalah penting, dari sisi penegakan hukum, absennya kewenangan pengawasan yang ketat (strict scrutiny) dari pengadilan (judicial) dan fungsi kejaksaan sebagai dominus litis juga terbatas. Penegakan hukum berkutat di awal proses penyidikan tanpa pengawasan yang efektif baik dari jaksa maupun hakim.

Memang benar bahwa Polri membutuhkan perombakan total di internalnya, khususnya yang berkaitan dengan wewenang yang mereka miliki selama ini. Namun, perombakan tersebut tidak akan mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu membangun komitmen akuntabilitas dan

transparansi.

Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi dalam kerja-kerja kepolisian, dapat dipastikan bahwa janji-janji yang disampaikan Kapolri hanya menjadi angin lalu sebelum pelanggaran-pelanggaran besar lainnya terjadi kembali di institusi tersebut.

Untuk itu, menjelang akhir masa jabatannya, Listyo Sigit sudah sepantasnya meninggalkan legacy yang baik sebagai Kapolri. Hal ini dapat ditempuh dengan meningkatkan mekanisme pengawasan internal yang memang sangat dibutuhkan untuk mengawal proses reformasi Polri. Sebab, wewenang yang tidak memiliki mekanisme pengawasan yang jelas hanya akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang lainnya.

Salah satu langkah untuk menunjukkan komitmennya dalam memodernisasi Polri, dapat diawali dengan membuka akses Sistem Informasi Perkara yang ditangani Polri dari Polsek hingga Mabes. Selain itu, hendaknya Polri membuat Laporan Tahunan yang dapat diakses seluruh masyarakat. Laporan tahunan tersebut setidaknya memberikan informasi tentang penggunaan anggaran dan kinerja Polri.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyerukan dan mendesak:

1. Presiden dan DPR RI segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan reformasi Polri selama ini dengan merevisi Undang-Undang tentang Polri.

2. Dalam konteks menjamin transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum, Presiden dan DPR RI segera mereformasi sistem peradilan pidana dengan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3. Presiden Joko Widodo dan DPR RI segera melakukan evaluasi terhadap kegagalan sistem pengawasan Polri selama ini melalui Propam dan Komisi Kepolisian Nasional dengan membentuk mekanisme pengawasan Polri baru yang efektif baik internal maupun eksternal dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil.

4. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengevaluasi dan membentuk mekanisme pengawasan internal yang efektif dengan melibatkan masyarakat.

5. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuat sistem informasi perkara dan laporan kinerja serta penggunaan anggaran Polri yang mudah diakses masyarakat.

6. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus tegas dan sungguh sungguh dalam membersihkan institusi Polri dengan memberhentikan anggotanya yang melakukan korupsi maupun penyalahgunaan wewenang terlebih yang terbukti melakukan kejahatan dan menjadi terpidana atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi