Amicus Curiae PKPU No 10/2023

Komnas Perempuan: Langkah Mundur Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan

Komnas Perempuan: Langkah Mundur Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi (kanan) menyampaikan pandangannya berupa pendapat hukum tertulis sebagai sahabat pengadilan (amicur curiae) yang disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/7). (Tangkapan Layar YouTube Komnas Perempuan)

Analisadaily.com, Medan - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, menilai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mereduksi sekaligus menjadi sebuah langkah mundur terhadap kebijakan afirmasi 30 persen kuota keterwakilan perempuan.

Komnas Perempuan menyampaikan pandangannya berupa pendapat hukum tertulis sebagai sahabat pengadilan (amicur curiae) yang disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/7).

Komnas Perempuan menyampaikan amicus curiae kepada Mahkamah Agung (MA) ini terkait permohonan uji materiil terhadap Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan tiga warga negara yaitu Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.

Dalam keterangan persnya, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyatakan, pihaknya berkepentingan atas permohonan ini karena salah satu batu ujinya adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang menjadi landasan kerja Komnas Perempuan.

Putusan MA akan mempengaruhi pencapaian tujuan Komnas Perempuan dan merupakan kepentingan publik, berdampak terhadap hak sipil dan politik perempuan dan dapat menjadi preseden buruk bagi keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik.

"Sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Perempuan, kami memiliki kewajiban untuk memastikan hakim memahami dampak putusan terhadap penghapusan diskriminasi di Indonesia," tegas Siti Aminah Tardi yang juga advokat publik ini.

Diterangkan, pilihan memberikan amicus curiae mengingat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1/2011 tentang Hak Uji Materiil tidak memungkinkan pihak-pihak di luar pemohon dan termohon terlibat dalam pemeriksaan perkara. Amicus Curiae ini juga mengingatkan pentingnya pembaharuan terhadap hukum acara uji materiil di MA.

Belum terpenuhi

Dalam kesempatan sama, Komisioner Olivia Salampessy, menyebutkan, amicus curiae ini juga didasarkan pada hasil kajian dan pemantauan Komnas Perempuan yang menunjukkan, 30 persen keterwakilan perempuan belum terpenuhi.

Masih terdapat penolakan dan hambatan-hambatan sosial, budaya dan politik baik di tingkatan partai politik, negara maupun masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan, seperti intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih, dan penolakan karena jenis kelamin perempuan.

Ini menunjukkan perempuan Indonesia masih memiliki hambatan keterpilihan yang berbeda dibandingkan laki-laki. Karenanya, tindakan khusus sementara (affirmative action) adalah sebagian kecil untuk mengatasi hambatan diskriminasi terhadap perempuan.

"Tindakan afirmasi sementara ini bukan diskriminasi terhadap laki-laki, melainkan langkah korektif untuk mencapai keadilan substantif juga kompensasi atas diskriminasi terhadap perempuan selama ini," jelasnya mengingatkan situasi kepemimpinan perempuan di Indonesia dan hambatannya, termasuk daerah-daerah yang tidak memiliki wakil perempuan di lembaga pengambil keputusan.

Tidak diterima

Komisioner Maria Ulfa Anshor, menyebutkan, PKPU No 10/2023 menggantikan PKPU No 20/2018 yang mengubah pembulatan ke atas menjadi pembulatan ke bawah jika angka desimal di bawah 50. Penentangan PKPU ini oleh berbagai elemen menunjukkan bahwa PKPU ini tidak diterima para pemangku kepentingan, khususnya perempuan.

Berdasarkan simulasi keterwakilan perempuan yang diatur dalam PKPU ini menunjukkan, dalam hal parpol mengajukan bakal calon sebanyak 4, 7, 8, 11 di daerah pemilihan, pembulatan ke bawah mengakibatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen tidak terpenuhi. Begitu pula dengan keterwakilan perempuan di DPR RI yang hanya mencapai 25 persen.

"Jadi, PKPU ini bukan menguatkan afirmasi 30 persen. Justru mereduksinya. Karenanya, hal ini harus menjadi perhatian para parpol dan caleg perempuan," terangnya.

Di akhir konferensi pers, Komisioner Veryanto Sitohang mengingatkan dampak internasional pada kebijakan PKPU. Menurutnya, kebijakan pembulatan ke bawah menjadi kebijakan diskriminatif karena menghalangi perempuan untuk terpilih sebagai anggota legislatif. Padahal, UU HAM, CEDAW, UU Parpol dan UU Pemilu menyebutkan secara eksplisit 30 persen keterwakilan perempuan. Maka, PKPU 10/ 2023 bertentangan dengan UU tadi dan bertentangan dengan kewajiban negara yang dimandatkan CEDAW.

"PKPU ini langkah mundur dalam pemenuhan hak-hak perempuan khususnya dalam bidang politik yang akan dikaji ulang oleh Komite CEDAW dan berdampak pada citra Indonesia di dunia internasional," pungkasnya

(GAS/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi