Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 selama ini menggunakan metode yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang (UU) PPh dengan rumus yang cukup kompleks. Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, terdapat 400 komponen yang menjadi bahan pertimbangan dalam skema penghitungan pajak tersebut. Untuk mencegah kebingungan, DJP menginisiasi formula baru penghitungan PPh 21 dengan skema tarif efektif rata-rata (TER) yang telah diterapkan sejak awal Januari lalu.
Pemotongan PPh 21 saat THR Pemotongan PPh 21 pada masa pajak bulan yang berkenaan dengan pembagian tunjangan hari raya (THR) akan lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya. Hal ini disebabkan penghasilan bruto pada bulan terkait yang lebih tinggi dari penghasilan biasanya. Untuk dipahami, komponen penghasilan bruto yang dimaksud mencakup gaji dan tunjangan teratur (termasuk uang lembur); bonus, THR, jasa produksi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur; imbalan dari kegiatan yang digelar oleh pemberi kerja; pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan yang dibayarkan pemberi kerja; serta pembayaran premi asuransi yang dibayarkan pemberi kerja. Dengan demikian, bila diilustrasikan, maka penghitungan PPh 21 pada masa pajak bulan THR sebagai berikut. Bila seorang pegawai tetap belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp6,5 juta pada masa pajak Februari, maka penghitungan PPh 21 menggunakan tarif efektif bulanan Kategori A sebesar 1 persen. Sementara pada masa pajak Maret, pegawai tersebut menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja sebesar Rp13 juta karena dijumlah dengan THR. Maka, tarif efektif bulanan PPh 21 yang digunakan adalah kategori A sebesar 5 persen. “Penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Hal ini karena tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh pasal 21 masa pajak Januari sampai dengan November,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti. Lebih bayar DJP mengamini adanya kemungkinan status lebih bayar potongan PPh 21 dengan skema TER. Berdasarkan simulasi yang dilakukan DJP, kehadiran THR, bonus, dan komponen lainnya pada masa penghasilan awal tahun berpotensi menyebabkan lebih bayar pada akhir Desember. Namun, Dwi mengatakan para karyawan tak perlu khawatir lantaran Kementerian Keuangan telah mengatur kewajiban perusahaan untuk mengembalikan kelebihan potongan pajak kepada pekerja. Kewajiban itu tercantum dalam Pasal 21 dan 22 PMK 168/2023. Pengembalian lebih bayar pajak wajib dilakukan oleh perusahaan paling lambat setelah masa pajak terakhir. Pekerja tidak perlu mengajukan pengembalian pajak atau restitusi ke kantor pajak jika status lebih bayar murni disebabkan pungutan PPh 21 oleh pemberi kerja. Penjelasan tersebut juga sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat mengenai pemeriksaan bila terjadi lebih bayar. Karena perusahaan telah diwajibkan mengembalikan kelebihan pungutan pajak, maka DJP tidak akan mengaudit wajib pajak yang statusnya lebih bayar. “Tidak ada pemeriksaan dalam TER. Kalaupun ada kelebihan, itu langsung dikembalikan oleh pemotong pajak atau pemberi kerja. Jadi, status SPT tetap nihil sehingga tidak ada pemeriksaan,” ujar Dwi. Menyambung hal itu, DJP juga mengatakan karyawan tak perlu khawatir perusahaan tidak mengembalikan kelebihan bayar pajak. Yoga menyebut seluruh data PPh 21 yang disetor perusahaan setiap bulan seluruh otomatis tercatat dalam aplikasi e-Bupot, dan data ini dapat diakses oleh karyawan bersangkutan. Dengan begitu, karyawan dapat memantau data bukti potong dari pemberi kerja sehingga apabila terjadi lebih bayar, karyawan dapat mengetahui serta menagih pengembaliannya ke perusahaan. Adapun bila perusahaan menyulitkan proses pengembalian pajak, karyawan bisa menempuh jalur hukum dengan tuntutan perusahaan yang tidak patuh pada aturan PMK 168/2023.
(BR)