OPINI

Polemik Larangan Penjualan Rokok Eceran di Masyarakat: Kesehatan Vs Ekonomi

Polemik Larangan Penjualan Rokok Eceran di Masyarakat: Kesehatan Vs Ekonomi
Rokok Eceran. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Ivana Greace Br Sembiring, Yeremia Arthur Jonathan, Sheryl Helena Damanik.

INDUSTRI rokok adalah salah satu industri yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya di Indonesia, dimana dapat dilihat dari data Pendapatan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan bahwa pendapatan dari CHT terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2022. Namun pada tahun selanjutnya dilaporkan penurunan pendapatan dari CHT dimana pada tahun 2023 terdapat penurunan sebesar 3,81% dibandingkan tahun sebelumnya.

Penurunan ini dapat dikaitkan karena naiknyatarif CHT untuk rokok sebesar 10% yang diterapkan pada tahun 2023. Meskipun adanya penurunan dari bidang pendapatan, kultur merokok yang kuat pada masyarakat Indonesia mengakibatkan tetap meningkatnya jumlah perokok aktif, berdasarkan Survei KesehatanIndonesia (SKI) tahun 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Jumlah perokok aktif Indonesia diperkirakan telah mencapai 70 juta orang dan diantaranya sebesar 7,4% merupakan perokok berusia 10-18 tahun.

Terus meningkatnya jumlah perokok aktif dan penjualan rokok ilegal, membuat pemerintah berusaha untuk menekan angka konsumsi tembakau untuk mengurangi dampak negatif yang diderita dari mengkonsumsi produk tembakau. Salah satu usaha pemerintah adalah dengan mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang di dalam Pasal 429 sampai dengan Pasal 463 berisikan ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif, termasuk pengaturan terkait produk tembakau tertuang di dalamnya.

Salah satu pengaturan yang menjadi sorotan adalah Pasal 434 ayat (1) yang berisikan tentang jenis-jenis penjualan produk tembakau dan rokok elektronik yang dilarang. Pada huruf c pasal tersebut dijelaskan bahwa penjualan secara eceran satuan per batang tidaklah diperbolehkan, kecuali untuk produk cerutu dan rokok elektronik. Pengesahan Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menimbulkan banyak penolakan dikarenakan tidak adanya perintah ataupun delegasi dari Undang-Undang semestinya dan ketidakselarasan ini menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat.

Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Hal ini tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No 12 Tahun 2011. Namun sesuai dengan pendapat Prof. Jimmly Asshidiqie yang menyampaikan bahwa Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 secara implisit dapat dimaknai bahwa Presiden dapat membuat PP yang berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya meskipun tidak diperintahkan secara tegas oleh UU, sesuai dengan kebutuhan hukum menurut perspektif Presiden.

Alasan Pelarangan Penjualan Rokok Secara Eceran

Urgensi larangan penjualan rokok eceran didorong oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah berkaitan dengan kesehatan yang ada di Indonesia, yang saat ini menjadi perhatian hampir di seluruh kalangan masyarakat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO, bahwa sekitar 30% angka kematian disebabkan karena merokok. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai larangan penjualan rokok eceran, perlu diketahui bahwa pada dasarnya penetapan standar dalam hal produksi dan penjualan rokok secara eceran ini diarahkan untuk menekan risiko kesehatan yang merugikan, baik secara pribadi, keluarga, maupun bermasyarakat.

Sejalan dengan pendapat Ketua Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyrakat (IAKMI) yaitu Sumarjati Arjoso yang ikut menanggapi dengan positif adanya larangan tersebut ia berpendapat, pembatasan konsumsi rokok akibat larangan tersebut berdampak pada penekanan resiko penyakit tidak menular, seperti stroke, jantung, dan kanker. Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, pengesahan peraturanmengenai larangan penjualan rokok eceran tersebut akan menguatkan kembali sistem kesehatan yang ada di Indonesia. Prevalensi perokok terus meningkat dari tahun ke tahun khususnya di kalangan remaja. Anak-anak dan remaja adalah kelompok yang rentan terhadappengaruh negatif dari rokok. Penjualan rokok secara eceran selama ini sangat memudahkan remaja untuk mengakses atau mendapatkan rokok, khususnya pada remaja yang baru mencobarokok untuk pertama kali. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan didapati bahwa keterjangkauan dan aksesibilitas mendorong mereka membeli rokok secara eceran lebih seringdan impulsif dibandingkan dengan rokok lainnya. Hal ini mengakibatkan kecanduan nikotin dan berdampak pada penurunan kesehatan di tengah-tengah masyarakat.

Larangan penjualan rokok secara eceran yang diatur dalam PP No 28 Tahun 2024 pada dasarnya merupakan respon yang baik dalam menghentikan keterjangkauan rokok yang berimbas pada peningkatan konsumsi rokok. Alasan mengenai larangan penjualan rokok eceran disampaikan oleh Presiden Joko Widodo telah tertuang dalam Keputusan Presiden No 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 merevisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung ZatAdiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang belum mengatur secara tegas mengenai Penjualan rokok secara eceran atau batangan.

Disahkannya Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 secara khusus yang mengatur tentang larangan penjualan rokok eceran diharapkan dapat menurunkan prevalensi perokok dan mencegah perokok pemula, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat dampak merokok, meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa merokok, melindungi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dari bahaya konsumsi dan/atau paparan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik

Dampak Pelarangan Penjualan Rokok Secara Eceran

Larangan penjualan rokok eceran tentu memiliki dampak positif maupun negative. Larangan penjualan rokok eceran sepakat memberikan dampak positif mengurangi konsumsi rokok di kalangan anak dan remaja. Salah satu tujuan utama dari larangan penjualan rokok eceran adalah untuk mencegah akses mudah bagi remaja dan anak muda. Dengan adanya kebijakan ini, maka tidak akan dapat membeli rokok dalam jumlah kecil yang biasanya lebih terjangkau. Hal ini sangat membantu menurunkan angka perokok pemula, yang berisiko menjadi perokok jangka panjang. Selain itu dapat juga meningkatkan pengendalian konsumsi rokok. Penjualan rokok secara eceran mempermudah individu membeli rokok dalam jumlah yang kecil yang dapat menyebabkan kebiasaan merokok lebih sering. Jika rokok hanya dipasarkan dalam jumlah yang besar atau banyak dalam bentuk kemasan yang lebih besar, maka konsumen akan mempertimbangkan pembelian mereka. Kebijakan pemerintah ini dapat mempengaruhi jumlah konsumsi rokok secara keseluruhan.

Namun larangan mengenai penjualan rokok secara eceran ini mendapat respon yang berbeda pula di masyarakat dan pelaku ekonomi itu sendiri. Larangan penjualan rokok secara eceran dikhawatirkan akan memberikan dampak terhadap ekonomi pelaku usaha mikro. Masyarakat sebagai pedagang kelontong beranggapan larangan tersebut akan menghambat keberlangsungan warung-warung dan pedangang kecil, di mana mereka bergantung pada penjualan rokok eceran untuk memenuhi kebutuhan kerluarga mereka. Meskipun dampak dari adanya larangan penjualan rokok eceran tersebut terlihat kecil, namun dampak tidak langsungnya akan cukup besar. Meski disahkannya kebijakan ini untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama generasi muda dari bahaya kecanduan rokok, namun potensi dampak kebijakan ini terhadap perekonomian pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya pada penjualan rokok eceran perlu diperhatikan.

Rokok eceran masih dianggap sebagai bentuk rokok yang paling aksesibel dan merupakan hal yang menjadi salah satu komoditi yang membantu menopang ekonomi beberapa UMKM berbentuk warung karena digemari perokok pemula anak dan remaja, serta perokok ekonomi menengah ke bawah. Sering pula ditemukan orang yang membeli rokok setelah membeli makanan bungkusan, sehingga dapat dikatakan selain penjual makanan bungkusan yang mendapatkan untung dari kebiasaan seorang perokok,pengusaha UMKM seperti warung kelontongan ataupun kios sembako juga ikut diuntungkan. Terlebih lagi karena semakin mahalnya harga perbungkus rokok mengakibatkan seorang perokok harus membeli rokok eceran.

Penutup

Mengingat tingginya jumlah perokok aktif di Indonesia khususnya pada usia remaja, maka kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang larangan penjualan rokok eceran sudah selayaknya kita sambut dengan baik. Larangan penjualan rokok eceran ini memiliki tujuan jangka panjang yaitu menurunkan prevalensi jumlah perokok yang ada di Indonesia, khususnya pada usia remaja. Secara umum pembatasan dan pengendalian rokok pada usia remaja telah dilakukan namun belum memberikan dampak yang optimal. Hal ini karena keterjangkauan dan kemudahan aksesibilitas di lingkungan mereka yang menyebabkan meningkatnya jumlah perokok khususnya pada usia remaja.

Maka kebijakan mengenai larangan penjualan rokok eceran adalah salah satu upaya pemerintah yang baik untuk mengurangi risiko kesehatan yang merugikan. Meskipun kekhawatiran akan dampak terhadap UMKM tidak dapat dihindari, namun kita perlu menyadari bahwa larangan penjualan rokok secara eceran merupakan langkah yang tepat untuk membatasi konsumsi rokok dan merupakan langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan masyarakat. Kemajuan pada sektor kesehatan tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang baik. Hal ini karena selaras dengan tingkatproduktivitas daya manusia itu sendiri dan generasi muda kita diharapkan dapat membawa dampak yang baik pada perekonomian saat mampu menjaga kesehatan sejak dini.

Di sisi lain pemerintah juga harus mencari solusi lain untuk menekan angka pengguna rokok untuk mendapatkan hasil yang seimbang antara kepentingan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi pedagang kecil atau kelontong dengan memperbanyak sosisaliasasi yang lebih menyeluruh dan ampuh supaya tidak hanya berfokus pada larangan-larangan tersebut, tetapi juga kepada pemberian pemahaman yang baik, sehingga kesadaran masyarakat sejak dini tersentuh.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum USU.

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi