Mayoritas Warga Sadar Ada Pihak yang Diuntungkan dari Boikot (Analisadaily/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Survei Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara (PKAEN) mendapati kalau mayoritas masyarakat sadar bahwa ada pihak yang diuntungkan dalam gerakan boikot.
Direktur PKAEN, Edo Segara Gustanto mengatakan bahwa hal ini tak lepas dari belum ada kejelasan terkait produk yang diduga terafiliasi Israel.
"Sebesar 73,1 persen masyarakat setuju atau sangat setuju bahwa ada pihak yang diuntungkan oleh boikot," kata Edo Segara Gustanto saat membahas hasil survei belum lama ini yang disampaikan melalui keterangan per, Senin (19/5/2025).
Edo menjelaskan, kemungkinan itu terbuka lantaran pemerintah atau lembaga otoritas lainnya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan daftar resmi produk yang harus diboikot hingga saat ini. Dia melanjutkan, masyarakat hanya bergantung pada daftar liar yang bisa saja disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Edo mengatakan, sebaran daftar yang dapat saja bersifat liar tersebut dilakukan atas dasar persaingan usaha dan bukan kemanusiaan atas apa yang menimpa warga Palestina. Dia melanjutkan, kondisi ini memperburuk situasi ekonomi dan sosial Indonesia apabila dibiarkan menggantung.
Dia mengatakan, boikot yang dilakukan masyarakat akan semakin tidak terarah sehingga menyebabkan kerugian pada perusahaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agresi militer Israel ke Palestina. Alih-alih menguntungkan Palestina, boikot tersebut malah berujung pada PHK terhadap tenaga kerja di dalam negeri.
"Artinya, ketika kita memboikot itu yang kita lakukan apakah sudah tepat atau belum? Apakah produk yang kita boikot itu terafiliasi Israel? Apakah kita pernah melakukan klarifikasi bahwa produk betul-betul terafiliasi? atau jangan-jangan ini cuma persaingan bisnis saja," katanya.
Edo mencontohkan produk air minum "A" yang memiliki saingan bisnis "L". Kemudian ada sebuah organisasi yang mengatasnamakan Islam merilis daftar produk boikot dan memasukan produk "A". Dia melanjutkan, artinya siapapun dapat membentuk daftar produk dengan leluasa agar masyarakat percaya.
"Tapi pernahkah kita mengkaji siapa yang buat ini? Apakah kalau dia menyebutkan organisasi Islam kemudian mewakili umat Islam? Apakah daftar produk yang dia buat itu kredibel? Itu perlu ditelusuri lebih detail," katanya.
Dia menegaskan, artinya bisa jadi organisasi yang mengatasnamakan Islam itu merupakan entitas "siluman" yang yang dibiayai perusahaan untuk merilis dan membuat daftar produk yang harus diboikot. Edo mengimbau agar jangan sampai niat baik publik untuk menghentikan kebiadaban Israel malah dimanfaatkan pihak atau perusahaan tertentu untuk mencari keuntungan.
"Kalau seperti itu maka ini sangat jahat. orang berdarah-darah akibat perang dia mengambil keuntungan dalam situasi tersebut. Makanya masyarakat harus cermat dalam melihat gerakan boikot," katanya.
Edo mengatakan, pemerintah dan masyarakat bisa mencontoh Dewan HAM PBB (UNHRC) yang melakukan verifikasi kepada semua perusahaan sebelum mengeluarkan daftar boikot. Dia melanjutkan, langkah tersebut memberikan kepastian bahwa gerakan kemanusiaan yang dilakukan tidak ditunggangi pihak-pihak tertentu.
Dewan Pakar Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Muslich KS menyatakan bahwa publikasi hasil survei ini sangat penting sebagai dasar pertimbangan masyarakat dalam mengambil sikap terhadap boikot. Namun, dia menekankan perlunya kejelasan tentang daftar produk yang benar-benar memiliki keterkaitan dengan Israel agar masyarakat tidak salah sasaran.
"Butuh kajian lanjutan dan tindakan dari ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah untuk memberikan pemahaman yang tepat," katanya.
Dia berpendapat bahwa lembaga fatwa selain MUI, seperti Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) atau Majelis Tarjih Muhammadiyah bisa ikut mencerahkan masyarakat dalam isu boikot. Dia mengatakan bahwa kedua lembaga itu juga memiliki kewenangan untuk mengedukasi atau meliterasi warganya akan produk-produk mana saja yang harus dimasukan dalam daftar.
Sebelumnya, survei yang dilakukan bekerja sama dengan PS2PM Yogyakarta ini mewawancarai 810 responden. Survei dilakukan di kota-kota yang dianggap memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu boikot di tanah air, seperti Yogyakarta, Lombok, Pekanbaru, Aceh dan Bandung.
(NAI/NAI)