
Analisadaily.com Medan-Desakan terhadap penataan ulang skema kemitraan plasma di atas lahan eks- Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan di wilayah kabupaten Padanglawas (Palas) dan Kabupaten Padanglawas Utara (Paluta) Provinsi Sumut yang saat ini dikelola PT Agrinas Palma Nusantara terus menguat.
Sejak mencuatnya laporan awal media pada 02 Juli 2025 lalu, berbagai kalangan mulai menyuarakan pentingnya pendekatan hukum dan partisipatif dalam menata kembali kemitraan antara masyarakat dan badan usaha milik negara. Sorotan datang tidak hanya dari masyarakat dan tokoh lokal, tetapi juga dari kalangan akademisi yang menilai pengelolaan lahan tanpa legalitas dapat menimbulkan risiko hukum serius.
Assoc. Prof. Dr. Onny Medaline, S.H., M.Kn., pakar Hukum Agraria dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menegaskan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.47/Menlhk-Setjen/2015 tentang Alih Manajemen Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas Provinsi Sumatera Utara Seluas ± 47.000 (Empat Puluh Tujuh Ribu) Hektar Beserta Seluruh bangunan yang ada di atasnya.
Memberikan implikasi terhadap, (1) pengalihan kepada BUMN untuk mengelolaan lahan sebagai upaya pemanfaatan barang bukti dan pemulihan Kawasan hutan sebagaimana UU nomor 18 Tahun 2013.
(2) Status Kawasan hutan, dimana lahan ini tetap menjadi lahan Kawasan hutan dan pengelolaan BUMN tidak mengubah status hukum secara formal.
(3) Perlindungan masyarakat, dengan mengikutsertakan masyarakat yang ada di dalam kebun saat ini dan/atau masyarakat sekitar dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagaimana yang terjadi sebelum pengambilalihan.
Harapannya hal ini akan memperkecil potensi konflik agrarian secara turun temurun jika terhadap plasma tidak diakomodir secara jelas.
Kebun plasma dicanangkan sejak awal tahun akhir tahun 70an yang kemudian disusul dengan mulai dikembangkannya perkebunan inti rakyat (PIR).
Sampai dengan saat ini sudah ada 9 (sembilan) model plasma yang dikembangkan di Indonesia.
Program plasma pada perkebunan kepala sawit bertujuan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pengelolaan sumber daya alam, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar perkebunan.
Persoalan legalitas Kawasan Perkebunan menjadi kunci utama. Pemerintah dan PT Agrinas Palma Nusantara harus dapat segera melakukan pemulihan hak masyarakat plasma, melalui konsep kemintraan dan kemanfaatan ekonomi bagi masyarakat.
Menjadi catatan penting bahwa legalitas masyarakat plasma yang terhimpun dalam Koperasi plasma pun harus terverifikasi dengan tepat.
Pengambilalihan menajemen pengelolaan lahan sawit 47.000 hektar kepada PT Agrinas Palma Nusantara yang merupakan sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang perkebunan, diharapkan menjadi entitas negara yang memungkinkan melakukan pengembangan pola kemintraan lainnya untuk memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan yang dapat dilaksanakan dengan cara kombinasi dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Onny Medaline juga menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam membuat Kerjasama kemitraan, “Instrumen legal tidak boleh disepelekan” legalitas Kawasan dan status tanah yang saat ini pada menjadi asset negara, juga menjadi fondasi utama dalam penentuan model pola kemintraan dengan masyarakat plasma.
Pernyataan ini memperkuat analisis hukum yang sebelumnya disampaikan oleh Madayan Hasibuan, praktisi hukum dari Padang Lawas Utara, yang menyoroti risiko administratif dan pidana apabila pengelolaan plasma tetap dilaksanakan tanpa dasar hukum kehutanan yang sah. Kedua pakar tersebut sepakat bahwa pendekatan partisipatif berbasis hukum harus menjadi prioritas.
Sejak pemberitaan awal pada 2 Juli lalu, ketegangan sosial di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Huristak, Kecamatan Simangambat, Kecamatan Ujung Batu dan Kecamatan Barumun Tengah belum juga mereda. Masyarakat mulai mempertanyakan mekanisme kerja pengumpulan data verifikasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu tanpa melibatkan tokoh masyarakat,aparat desa atau struktur kelembagaan koperasi.
Ketidaklibatan tokoh adat, tokoh masyarakat, serta lembaga-lembaga lokal yang selama ini menjadi penyangga harmoni sosial dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap norma dan struktur sosial yang berlaku. Proses verifikasi yang semestinya dilakukan secara terbuka dan inklusif justru terkesan eksklusif dan tertutup, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik.
“Di luar kami, peran tokoh adat dan masyarakat sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan memastikan proses berjalan adil. Kalau mereka tidak dilibatkan, masyarakat jadi curiga dan tidak percaya,” ucap Zamhuri Hasibuan, seorang tokoh adat dan Keturunan Raja Hasibuan dari Luat Simangambat.
Ia menambahkan bahwa pengabaian terhadap sistem sosial lokal bukan hanya mencederai nilai-nilai kultural masyarakat, tetapi juga berpotensi memperuncing konflik horizontal antarwarga.
Karena itu, berbagai elemen masyarakat kini menuntut agar seluruh proses verifikasi dikembalikan ke jalur hukum dan sosial yang sah, dengan melibatkan secara aktif struktur kelembagaan desa, tokoh adat, dan perwakilan koperasi yang legitimate, agar skema kemitraan yang dibangun benar-benar mencerminkan asas keadilan, partisipasi, dan keabsahan hukum.
Masyarakat pada prinsipnya siap tunduk dan patuh pada proses pendataan yang dipimpin oleh para tokoh adat, tokoh masyarakat, dan kelembagaan koperasi dari nagari atau desa masing-masing, namun menolak keras jika pendataan dilakukan kelompok dari luar Kecamatan Simangambat yang tidak dikenal dan tidak memiliki legitimasi sosial.
Transparansi dan keadilan hanya bisa terwujud jika proses ini dilakukan oleh putra daerah yang dipilih dan dipercaya warga sendiri.
“Kalau terus seperti ini, kami khawatir konflik sosial antarwarga akan makin dalam. Kami ingin verifikasi yang resmi dan terbuka, jangan ada kelompok tertentu yang mengambil alih proses seolah-olah ditunjuk oleh BUMN,” ujar Tongku Raja Dilangit, tokoh masyarakat Simangambat.
Assoc. Prof. Dr. Onny Medaline, S.H., M.Kn., juga mengingatkan transparansi dan pelibatan masyarakat adalah prinsip dasar dalam tata kelola tanah negara. “Musyawarah desa atau forum representatif lokal harus dilibatkan sebagai bagian dari pemenuhan asas partisipatif dalam penyusunan kebijakan,” ujarnya.
Dalam konteks ini, pelibatan desa bukan hanya bersifat administratif, tetapi merupakan representasi kedaulatan rakyat di tingkat lokal. “Tanpa keterlibatan desa, maka proses kemitraan kehilangan legitimasi sosialnya. Akibatnya, setiap program plasma berisiko ditolak masyarakat, walaupun telah disahkan secara sepihak oleh BUMN,” lanjutnya.
Di sisi lain, beberapa koperasi lokal seperti Koperasi Dalihan Natolu, Koperasi Sasanggar Saria- Ria, Koperasi Adat Rakyat Huristak, Koperasi Unte Rudang Raya, Koperasi Mitra Maju Bersama, Koperasi Amanah Simangambat dan Koperasi Ujung Batu Bersatu menyatakan kesiapan mereka menjadi mitra resmi verifikasi, asalkan prosesnya sesuai hukum dan mengacu pada data sah.
Mereka juga mendorong agar dilakukan audit sosial dan cleansing data plasma lama untuk menyingkirkan nama ganda, identitas palsu, serta subjek hukum yang tidak lagi relevan.
Upaya cleansing data ini, menurut Mukti Hasibuan, harus menjadi bagian dari reformasi kelembagaan yang lebih luas. “Sudah saatnya seluruh struktur kemitraan diperiksa ulang— dari kontrak lama, pihak pengelola, hingga distribusi hasil. Kita tidak bisa membangun masa depan kemitraan di atas jejak masa lalu yang bermasalah,” ujarnya.
Sebagai penutup, Madayan Hasibuan menegaskan bahwa momen ini harus dijadikan sebagai titik balik untuk membenahi tata kelola kemitraan perkebunan secara menyeluruh. “Jika tata kelola lama telah gagal melindungi hak masyarakat dan justru menimbulkan celah
penyalahgunaan, maka sudah waktunya kita beralih pada skema legal seperti perhutanan sosial. Pemerintah, BUMN, dan masyarakat harus duduk bersama dengan kerangka hukum yang jelas,” pungkasnya. (ARU/NAI)